Dalam sebuah kursus mubaligh, Pak AR mengingatkan supaya seorang mubaligh atau kyahi atau ulama dalam berfatwa jangan hanya mengikuti kehendak audiens atau peserta pengajian, tetapi harus berpegang kuat-kuat pada Al Aqur’an dan Sunnah. Karena kalau hanya ingin memuaskan audiens, maka yang terjadi adalah fatwa itu dapat menyimpang dari agama.
Kemudian Pak AR bercerita tentang seorang mubaligh yang berfatwa, yang fatwanya mengikuti permintaan audiens sebagai berikut. Dalam suatu pengajian, seorang jamaah bertanya ; “Kyahi, bagaimana hukumnya bulus itu?” Jawab Kyahi; “Bulus itu hukumnya haram”.
Jamaah itu bertanya lagi setengah protes : “Tapi daging bulus itu enak kyahi. Kalau Kyahi sudah mencoba bisa ketagihan”. Kyahi itu kemudian menjawab ; “Itu tadi keterangan dari kitab merah. Coba saya carinya dalam kitab hijau”. Kemudian Kyahi masuk ke kamar dan tidak lama kemudian keluar.
Setelah itu Kyahi itu berkata ; “Betul, dalam kitab hijau dinyatakan bahwa Al bulu-su hara-mun illa lahmuha. Jadi bulus itu haram kecuali dagingnya.” Maka mantuk-mantuklah jamaah itu.
Tapi kemudian si penanya itu angkat tangan dan bertanya lagi ; “Tapi bukan hanya dagingnya kyahi, kuahnya juga enak sekali” “Oo, begitu, coba saya lihatnya dalam kitab biru”, kata kyahi itu.
Kemudian Kyahi itu masuk lagi ke kamar dan setelah itu menemui jamaahnya sambil berkata : “Betul, dalam kitab biru ada keterangan sebagai berikut. Wa amma duduhuha au quwahuha hala-lun: Artinya ; adapun duduhnya (duduhuha) atau kuwahnya (quwahuha) halal. Tentu saja peserta kursus ger-geran.