Cerpen: Muhammad Ibnu Wazir
Setiap akan datang Muktamar hatiku selalu berdebar-debar. Ini berlangsung sudah sejak tujuh muktamar yang lalu. Yaitu ketika ada Muktamar di Surabaya tahun tujuh puluh delapan. Waktu itu aku masih sendiri, dan sudah kenyang patah hati.
Ketika merantau ke Jakarta aku bergabung dengan sebuah teater yang beralamatkan di Jalan Menteng Raya Enam Dua. Di situ ada teaternya anak-anak Muhammadiyah. Latihannya di lingkungan gedung persyarikatan tingkat pusat itu. Waktu itu masih banyak kebunnya. Di depan ada sepasang pohon belimbing dan mangga yang rimbun kami sering latihan di sana.
“Pengumuman penting, teman-teman,” kata Mas Parjo, pelatih dan ketua grup teater ini. Kami semua duduk beralas koran. Menyimak.
“Tadi saya ketemu Pak Projo. Kita diminta tampil di Muktamar Muhammadiyah di Surabaya. Apakah teman-teman bersedia?”
“Bersedia,” teriak kami spontan.
Aku mengamati anggota teater yang jumlahnya duabelas orang. Perempuannya ada empat. Wajah mereka sebenarnya manis-manis, tetapi aku tidak berani menatap mereka lama-lama. Takut terjadi kehebohan. Tiga diantara perempuan itu pacar teman laki-laki di teater ini. Yang satu masih sendirian, tetapi aku sungguh tidak berani membayangkan dia dekat denganku, setelah kemarin lusa dia berterus terang bagaimana keluarganya semua memiliki bakat penyakit jantung.
”Hei, Mas Ibnu, sadar, jangan melamun,” tiba-tiba isteriku menyentuh pundakku.
Aku tersenyum.
”Hei, ngapain tersenyum setelah ngelamun. Ngelamunin dia ya?”
Punya isteri galak membuat hidup terasa dinamis. Hidup bisa dijalani dengan sedikit disiplin. Kulihat dia sudah berdandan rapi. Mengenakan seragam ‘Aisyiyah, kelihatan cantik meski mendekati setengah abad umurnya. Harum, segera kucium tangannya.
”Lho, apa-apaan nih? Ayo anterin aku ke kantor PDA. Di sana ada pengajian akbar menyambut Muktamar.”
Mendengar kata Muktamar aku langsung bersemangat. Segera kukenakan baju dan kuambil kunci mobil. Mengantar isteri ke acara penting ‘Aisyiyah adalah tugas mulia.
Sementara acara di Muhammadiyah menyambut Muktamar akan berlangsung dua hari lagi. Berupa hari Bermuhammadiyah di daerah tempatku tinggal sekarang. Malam ini ada rapat di PDM, juga membahas persiapan acara menyongsong Muktamar itu.
Menyusuri jalan kota kabupaten yang padat dan sempit aku kembali membayangkan kejadian waktu di Surabaya. Kami rombongan teater Jakarta harus pentas di Gelora 10 Nopember dan di Balai Pemuda. Karena lakon yang kami mainkan adalah perjalanan Persyarikatan selama lebih setengah abad, harus diikuti lebih dari empat puluh pemain, kami berkolaborasi dengan anak-anak sekolah di Surabaya.
Pilihan kami jatuh pada anak-anak sekolah SMA dan SMP di Pucang. Kami latihan bersama selama seminggu. Aku kebetulan mendapat peran muballigh Muhammadiyah yang tampil bersama muballighat ‘Aisyiyah. Terjadi heboh selama dua hari menjelang pentas. Masalahnya ada anak SMP dan SMA yang berebut peran menjadi muballighat menenami aku. Rupanya mereka berebut untuk mendampingiku.
Akhirnya Mas Parjo dengan bijaksana menambah peran Qari’ perempuan menemani mubaligh dan mubalilighat itu. Kejadian ini membuat aku disindir teman-teman ketika kembali ke penginapan, sebuah ruang kelas sekolah dasar di Pucangan.
”Wah, Ibnu beruntung diperebutkan dua bidadari,” kata Salim yang aslinya anak Cirebon.
Yang lain bertepuk tangan. Aku diam saja. Sebab aku tahu mereka pun mengincar anak-anak perempuan SMA atau kelas tiga SMP itu untuk dijadikan pacar. Padahal saya tahu, ketika kami akan berangkat ke Surabaya, ada bapak Muhammadiyah yang memberi pesan agar kami di Surabaya tidak pacaran.
Menjelang tidur, aku membayangan dua anak itu, mengenakan kebaya dan kerudung. Wah alangkah indah hidup ini. Tapi, sialan, aku justru bermimpi berkelahi dengan Salim memperebutkan salah satu dari keduanya.
”Mas, kok melamun terus sih, awas lampu merah,” tegur isteriku mengandung nada cemburu.
Rupanya dia mengamati wajahku lewat kaca spion di atas kepalaku.
Gedung PDA sudah kelihatan. Segera aku mencari tempat parkir. Kubuka pintu mobil. Kulihat ada mobil lain juga membuka pintunya. Isteriku turun. Di pintu mobil itu turun perempuan berseragam ‘Aisyiyah
”Hei, Assalamu’alaikum, Jeng Nunik,” teriak istriku.
”Wa’alaikumussalam, Mbak Atik,” sahut perempuan yang dipanggil Nunik yang aslinya bernama Murni itu.
Keduanya bersalaman, berpelukan sebentar lalu ramailah dunia oleh percakapan mereka. Tiba-tiba kulihat isteriku berbisik, lalu mereka berdua tertawa.
”Sudah ya Mas, nanti saya dijemput di tempat ini,” kata isteriku berpamitan.
”Baiklah,” kataku sambil mendekati suami Murni.
”Gimana kabarmu, Lim?” kataku menyalami lelaki itu, Salim.
”Baik, Mas. Malam ini ada rapat di PDM kan? Saya mewakili PCM. Dan tadi isteriku mewakili PCA.”
”Ya, mobilku biar kutiggal disini, aku numpang mobilmu.”
”Oke,” katanya sambil membuka pintu samping kiri.
Aku duduk di samping Salim. Ia menyetir mobil sambil menyetel lagu mars Muktamar.
Kulihat dia tersenyum, aku juga tersenyum, kulihat dia tertawa, aku juga tertawa.
”Dulu kita memang konyol ya, Mas,” kata Salim.
”Ya, konyol, tapi kan ada hikmahnya. Semua patah hatiku terhapus, aku mendapatkan Atik atau Supriyati sedang kau mendapat Nunik atau Murni.”
”Ya, tapi kan prosesnya itu kan membuat kita sekarang malu, Mas.”
”Ya, aku berkelahi denganmu dan Atik berkelahi dengan Nunik.”
”Untung Mas Parjo turun tangan dengan membuat undian untuk pasangan masing-masing.”
”Ya, kita dulu kok mau-maunya mengikuti undian itu.”
”Tapi kan hasilnya kita berdua bahagia. Kita bisa saling mengolah cinta dengan pasangan masing-masing.”
”Di balik itu, yang paling bahagia kan mas Parjo, dia dapat pacar anak SMA yang paling cantik dan tidak ada satu pun anak buahnya yang berani merebutnya sampai kemudian anak itu menjadi Nyonya Parjo.”
Kalau teringat kejadian setelah pentas di Gedung 10 Nopember dan sehari sebelum pentas di Balai Pemuda aku kadang malu juga. Waktu itu aku lebih menaksir Murni dan Salim cenderung menaksir Supriyati. Aku dan Salim sudah memberi kode ke arah itu, lebih banyak ngobrol dengan pilihannya.
Ee, tidak tahunya, Atik sebenarnya lebih suka padaku dan Nunik lebih berat memilih Salim. Kami berempat salah paham dan terjadi perkelahian dua lingkaran. Kalau aku dan Salim memilih adegan adu jurus silat dengan diam tanpa suara, dua anak perempuan itu berantem sambil menjerit-jerit. Akibatnya teman-teman tahu dan Mas Parjo turun tangan.
Tiba-tiba hapeku berdering. Kulihat nomor Mas Parjo. Segera kutekan tombol menerima. ”Assalamu’alaikum Mas Parjo, apa kabar?”
”Wa’alaikumussalam. Baik, dan setiap menjelang Muktamar seperti ini aku teringat teman-teman,” katanya.
”He, betulan mas Parjo, ini saya sedang bersama Salim.”
”Hei, kalian sudah berdamai betulan?” katanya disambung tawa.
Segera hapeku kuberikan pada Salim.
”Mas Parjo, ini Salim. Kalau Mas Parjo melihat adegan tadi pasti tertawanya makin lama.”
”Lho, kenapa?”
”Sebab tadi Nunik ketemu Mbak Atik, mereka bersalaman. Mantan muballighot dan Qari’ itu sama-sama mengenakan seragam ‘Aisyiyah karena ada acara di gedung PDA.”
”Lho, katanya kau tinggal di Cirebon. Kok bisa ketemu Ibnu di Bantul, Yogya?”
“Ya, Mas, setelah pensiun saya pindah ke Bantul. Sebab isteriku ditugaskan di Bantul. Tak tahunya Mas Ibnu juga pindah di Bantul. Dia pindah ke Bantul dari Surabaya dua tahun lalu. Kami sama-sama aktif di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah hanya beda level.”
”Wah, kalau tahu begitu kapan-kapan aku ke Bantul untuk nengok kalian.”
”Baik, tapi jangan lupa mengajak Mbak Zulaikha lho Mas, biar ada reuni tiga pasangan hasil sampingan kita bermuktamar di Surabaya. Pasangan cinta, sampai tua.”
Suara tawa Mas Parjo makin keras dan panjang.
”Tentu-tentu,” katanya,” Tak ada pensiun untuk cinta.”•