Jamaah sidang Jum’ah yang dimuliakan Allah.
Pada awal Agustus 2015 ini, dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang dikenal moderat sedang menggelar perhelatan besar dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu didahului Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur (1-5 Agustus 2015) dan disusul kemudian Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan (3-7 Agustus 2015).
Sebagaimana lazimnya sebuah persyarikatan atau organisasi, agenda pokok muktamar adalah musyawarah untuk memilih pemimpin baru di tingkat pusat dan menetapkan program kerja periode berikutnya yang disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan zaman.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Organisasi adalah cara orang bersyarikat, yaitu bersekutu, berkawan, atau bersahabat dengan orang lain yang memiliki kesamaan ideologi, karakter, dan orientasi atau kecenderungan, kemudian bersama-sama bermufakat untuk bergabung mendirikan perkumpulan.
Dalam perkembangannya, muncullah tiga motivasi orang bersyarikat dan berorganisasi, yaitu (1) karena murni ingin memperjuangkan nilai-nilai; (2) karena kedekatan dengan seseorang yang memiliki kemasyhuran dan kelebihan (harta, ilmu, atau pangkat/jabatan) serta prestasi yang sedang “naik daun”; dan (3) karena ingin mendapatkan keuntungan materi duniawi.
Sesungguhnya organisasi adalah miniatur umat. Umat Islam Indonesia adalah turunan dari umat Islam dunia, sedang Muhammadiyah dan NU adalah salah satu turunan dari umat Islam Indonesia. Allah SwT berfirman:
Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang batas waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Qs Al-A’raaf [7]: 34)
Zumratal mukminin a’azzakumullah.
Jika merujuk pendapat Dr Majid Arsan al-Kailani tentang faktor-faktor sehat dan sakitnya suatu umat, maka eksistensi sebuah organisasi sangat ditentukan oleh motivasi para pimpinan dan anggotanya dalam berorganisasi. Organisasi dinyatakan “sehat” kalau ia digerakkan atas dasar nilai-nilai positif yang universal, atau nilai-nilai positif yang khas organisasi.
Organisasi dikatakan “sakit” bilamana ia dikelola karena kedekatan dengan orang atau individu di dalam organisasi yang sedang memiliki pengaruh di tengah masyarakat, apalagi dalam skala nasional. Jika tokoh berpengaruh tersebut tidak lagi dalam pusaran organisasi, maka orang-orang yang mengelilinginya pun menghilang.
Dampaknya, roda organisasi berjalan tersendat-sendat dengan kondisi “hidup segan mati tak mau”. Organisasi dinyatakan mendekati “kematian” jika para pengurusnya mengendalikan organisasi atas dasar materi duniawi. Motif inilah yang menimbulkan rentetan kekacauan, pertikaian, konflik, dan intrik yang melemahkan organisasi.
Kalau dalam kenyataannya, Muhammadiyah dan NU masih tegak berdiri dalam usia relatif panjang sampai sekarang, maka faktor penyebabnya adalah karena masih banyaknya individu pimpinan dan anggota yang ikhlas dalam bersyarikat dan menjunjung nilai-nilai yang dimaksud. Namun demikian, pada level kepemimpinan tertentu di beberapa daerah, kondisi organisasi yang tidak sehat bahkan mengalami kematian, membutuhkan kesigapan untuk menyehatkan atau menghidupkannya kembali.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Terkait dengan kematian umat atau organisasi, Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya..” (Qs Al-Israa’ [17]: 16)
Rasulullah saw juga mengingatkan:
Artinya: “Setiap umat mempunyai fitnah (ujian/cobaan), sedang ujian/cobaan yang akan menimpa umatku adalah (berupa) harta benda (materi).” (HR Thabrani)
Artinya: “Celakalah penghamba dinar, penghamba dirham, penghamba sutra, dan penghamba rasa lapar. Ia berlenggak-lenggok dan berjungkir balik. Apabila tubuhnya kemasukan duri, ia tidak mengeluarkannya. Jika diberi upah karena kedua perbuatannya itu, maka ia pun ridha, namun jika ditolak, maka ia pun marah,” (HR Bukhari).
KHUTBAH II
Jamaah sidang Jum’ah yang dimuliakan Allah.
Marilah kita akhiri renungan Jum’at ini dengan berdoa ke hadirat Allah Swt,
semoga Allah SwT berkenan mengabulkan doa kita, antara lain, menjadikan kita sebagai hamba-hamba Allah Swt yang mampu bersyarikat dengan siapa pun atau dalam tubuh organisasi apa pun dengan berpijak kepada nilai-nilai, dan bukan kepada orang atau materi duniawi.•
——-——————————–
Drs Setyadi Rahman, MPI.
Guru Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan Dosen STAIT Jogjakarta.