Fauzan tersentak dari lamunan ketika ada suara orang mengucapkan salam dari luar. Anak muda itu bangkit dari kursi melangkah ke pintu. Di depannya seorang lelaki tak dikenal tersenyum ramah. Laki-laki tak dikenal itu mengacungkan jari telunjuknya.
“Saudara Fauzan?”
“Ya, saya Fauzan. Tapi banyak orang memanggil saya Zan saja. Dan saya suka panggilan itu. Bapak?”
“Saya Wahab Wibisono. Tapi panggil saja Wahab. Saya suka panggilan itu.”
“Apa yang bisa saya bantu , Mas Wahab?”
“Begini saudara Zan, saya diminta ketua Takmir di masjid desa kami untuk meminta anda datang.”
“Untuk?”
“Saudara ikut saya saja. Nanti ketua takmir sendiri yang akan menjelaskannya. Demikian pesan beliau.” Fauzan masih bertanya-tanya di dalam hati ketika memasuki mobil yang menjemputnya. Setelah mobil melaju sekitar setengah jam mereka sampai di sebuah masjid yang tampaknya masih baru. Fauzan heran, sebab yang dikatakan masjid desa oleh penjemputnya itu ternyata sebuah masjid yang sangat besar dan megah. Di halaman masjid sudah menunggu beberapa orang yang tampak sedang bicara-bicara. Ada sekitar 5 orang yang ada di halaman itu. Mereka berebut membukakan pintu mobil bagi Fauzan. Laki-laki muda itu merasa tidak enak juga disambut demikian rupa. Menurutnya terlalu ramah. Fauzan merasa terlalu muda untuk diperlakukan seperti itu.
“Saudara Fauzan, silakan, silakan.”
Mereka berganti-ganti menjabat tangan Fauzan. Mereka kemudian masuk ke dalam kantor takmir di sebelah masjid yang tidak kalah bagusnya. Di dalam meja di kantor itu, sudah tersedia beberapa gelas minuman dan beberapa piring makanan kecil. Fauzan diminta duduk di antara tuan rumah. Mereka bicara ke sana ke mari. Seseorang yang mengenakan baju batik warna coklat cerah dan memakai pecis hitam yang rupanya ketua takmir membuka percakapan yang lebih serius.
“Begini saudara Fauzan. Masjid ini baru saja diserahkan kontraktornya kepada kami kemarin. Hari ini bakda Ashar nanti masjid ini akan diresmikan bapak Bupati. Bersama anggota takmir dan para jamaah bapak Bupati akan shalat jamaah Ashar. Kami membutuhkan seorang muadzin. Kami mendengar kabar suara saudara Fauzan seorang muadzin dengan suara emas.”
Fauzan memandang satu persatu orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Kami berharap saudara Fauzan mau menolong kami.”
“Lho apakah di sini tidak ada muadzin, bapak-bapak?”
“Muadzin banyak, tapi tidak seorangpun yang mempunyai suara seindah suara saudara. Kami anggota takmir ingin sebelum bapak Bupati shalat di masjid ini bisa mendengarkan suara adzan yang istimewa merdunya. Agar bapak Bupati punya kesan istimewa terhadap masjid kami ini saudara Fauzan. Setelah kami mengadakan survei lebih sebulan, kami berkesimpulan hanya suara anda yang bisa menggetarkan hati bapak Bupati.”
“Ah, suara saya biasa saja bapak-bapak. Jangan berlebihan memuji saya. Nanti bapak kecewa.”
“Saudara Fauzan, pilihan kami tidak salah.”
Dan Fauzan tidak bisa lagi menolak.
Maka siang itu sebelum shalat Ashar, Fauzan melantunkan Adzan. Semua yang mendengarkan termasuk bapak Bupati menggeleng, mengangguk atau mendesah kagum.
“Subhanallah.”
“Subhanallah.”
“Suara dari surga.”
“Suara malaikat Jibril.”
“Belum pernah aku mendengar suara adzan sesyahdu ini.”
Terdengar bisik pujian di sana-sini.
Bapak Bupati benar-benar terkesima. Para jamaah Ashar terpana, diam dan rasanya ingin mendengar lagi, ingin mendengar lagi. Setelah shalat Ashar dan setelah peresmian masjid oleh bapak Bupati, semua yang hadir saling bersalaman. Siang itu orang berebut berjabat tangan dengan bapak Bupati. Sementara jamaah yang lain terutama ibu-ibu berebut bersalaman dengan Fauzan. Fikir Fauzan, baru kali ini seorang muadzin jadi rebutan jabat tangan.
Di kampungnya siapa yang tidak kenal Fauzan yang dijuluki lelaki muda dengan suara emas. Fauzan, suara adzannya membuat para warga lebih rajin berjamaah. Fauzan, suara adzannya menggetarkan hati. Suara yang mampu membuat orang-orang yang lewat dekat masjid berhenti sejenak. Kalau suara adzan Fauzan sudah terdengar kehidupan seperti berhenti beberapa saat. Orang yang bermobil di dekat masjid menghentikan mobilnya. Ibu yang sedang ngegosip akan menghentikan bicara mereka.
Kalau adzan itu menjelang shalat Dzuhur, orang-orang bengkel menghentikan pekerjaannya. Tukang becak akan menghentikan becaknya dan mengambil air wudhu. Pengaspal jalan juga segera menghentikan pekerjaan sejenak memasang telinga untuk mendengar suara Fauzan. Sepertinya kehidupan daerah dekat masjid menjadi mati. Orang-orang terpaku di tempatnya dan tersihir suara emas Fauzan. Karena suara adzan Fauzan itulah masjid selalu penuh. Orang akan kecewa apabila pada suatu waktu bukan Fauzan yang mengumandangkan adzan.
Fauzan menolak ketika ketua takmir yang mengundangnya memberikan amplop. Tapi ketua takmir terus memaksanya agar ia menerima amplop itu. Fauzan melihat mata yang ikhlas dari ketua takmir. Dan akhirnya Fauzan tidak nenolak. Padahal, selama ini ia tidak pernah menerima apapun karena suara adzannya. Ia hanya menerima pujian dari setiap orang bahwa suaranya sangat bagus. Itupun dengan malu-malu. Namun uang sepeserpun tidak. Fauzan merasa berdosa. “Aku telah menjual suara adzanku,” katanya di dalam hati. Buru-buru Fauzan menemui ustadz yang ia kenal baik. Pak Ustadz mengatakan. “Uang itu halal, Zan, karena kamu tidak minta dan pemberi telah memberikannya dengan ikhlas.” Jawaban itu tidak memuaskannya. Barulah ia lega setelah tiga ustadz lain memberikan jawaban yang sama. “Sudahlah terima saja, Zan, uang itu memang rizki Allah yang datang kepadamu dengan cara-Nya sendiri.
Sejak saat itu nama Fauzan terkenal. Ia tetap sebagai muadzin di masjid desanya. Hanya saja kehidupan Fauzan kini menjadi lain. Ia menjadi sangat sibuk. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari orang datang memintanya untuk adzan. Ia tidak lagi adzan untuk memanggil orang shalat. Fauzan diminta untuk adzan di makam ketika jenazah akan ditimbuni tanah. Selesai adzan, orang memaksakan amplop agar ia terima. Selalu saja jika ada orang meninggal, keluarganya datang memintanya untuk adzan di kuburan.
Suatu hari datang beberapa orang.
“Nak Fauzan cucu saya lahir, tolong deh dibacakan adzan di telinganya.”
Suatu hari datang orang lain lagi, seorang ibu muda.
“Mas Fauzan kami merasa mantap kalau anda yang membacakan adzan di telinga bayi saya.”
Suatu hari seorang datang dengan mobil bagus. Orang itu tergopoh-gopoh menemui Fauzan yang sedang istiarahat di teras depan.
“Saudara Fauzan cucu bapak Bupati lahir beliau minta saudara datang untuk membacakan adzan di telinga cucu beliau.”
Hampir setiap hari Fauzan tidak pernah istirahat mengumandangkan adzan. Karena daerah operasinya semakin luas maka tidak pernah hari tanpa adzan. Ada saja orang mati atau bayi lahir yang minta dibacakan adzan. Bahkan ia pernah adzan di telinga bayi kembar tiga, keponakan seorang Jenderal. Manusia memang aneh dan sering tidak puas. Mulai ada pengundang yang memintanya tidak saja mengumandangkan adzan, tetapi juga iqamah.
“Saudara Fauzan, tolong bacakan adzan di telinga kanan cucu saya dan iqamah di telinga kirinya. Biar kalau besar nanti ia rajin shalat.”
Begitu tiap hari nyaris Fauzan tidak pernah berhenti adzan dan iqamah di telinga bayi-bayi yang baru lahir. Ada saja yang menjemputnya untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Orang datang dengan mobil, dengan sepeda motor, dengan becak, dengan sepeda. Kalau rumahnya dekat ada juga yang menjemputnya dengan jalan kaki.
Fauzan lelah. Jamaah masjid di desanya kehilangan Fauzan, karena Fauzan tidak pernah lagi adzan di masjid desa itu. Fauzan tidak lagi punya waktu untuk memanggil orang untuk shalat jamaah. Kehidupan materi Fauzan sekarang juga jauh berubah. Fauzan kaya sekarang. Fauzan mampu menikahi seorang gadis cantik. Sayang isteri Fauzan bukan perempuan sederhana. Ia seorang perempuan yang haus harta.
“Mas, kalau begini caranya kita tidak bisa lagi bilang terserah bapak, terserah ibu, terserah saudara.”
“Apa to maksudnya, Dik?”
“Kita harus pasang tarif, Mas. Lha wong yang mengundang sampeyan banyak orang kayanya kok. Mas Zan harus menjadi seorang profesional. Jangan amatiran lagi. Bukankah sekarang banyak ustadz profesional? Yang menerima jutaan sekali datang ke undangan?”
“Tidak bisa begitu, Dik. Aku kan hanya modal suara.”
“Mengapa tidak bisa, Mas. Apa bedanya? Kinilah saatnya lahir seorang muadzin profesional. Siapa yang melarang muadzin kaya, Mas Zan?”
Fauzan termangu.
“Saatnya kita pasang papan nama atau iklan di surat kabar.”
Sejak saat itu di depan rumah Fauzan dipasang papan namanya cukup besar: “Muadzin di Telinga Bayi”
Tarif adzan Fauzan juga semakin mahal. Sampai jutaan kalau yang mengundang kaya raya.
Tetapi baru satu bulan dipasang papan nama itu diturunkan lagi. Para tetangga tidak tahu mengapa papan nama itu dicopot. Mereka baru tahu sebabnya ketika membaca sebuah berita di surat kabar. Judulnya “Seorang muadzin profesional telah kehilangan suara”.
Dan kali ini Fauzan benar-benar merasa berdosa.•
___________________
Achmad Munif, sastrawan kelahiran Jombang Jawa Timur. Mengembangkan kemampuan nulisnya di kota Yogyakarta. Selain dikenal sebagai cerpenis, Achmad Munif juga dikenal sebagai novelis. Beberapa novelnya menjadi best seller ketika diterbitkan. Cerpen-cerpennya dikenal sederhana bentuknya, tetapi amat bernas isinya.