Pada sekitar tahun 1911, seorang murid Kweekschool Jetis bernama Mas Radji menyampaikan usul kepada KH. Ahmad Dahlan tentang lembaga pendidikan Islam hasil rintisanya (Deliar Noer, 1996: 86). “Sebagaimana pondok-pondok miliki kyai, bila kyainya wafat lalu santrinya bubar. Kami usul hendaknya sekolah ini dipegang oleh suatu organisasi hingga dapat berlangsung selama-lamanya.” KH. Ahmad Dahlan yang terperangah dengan usulan murid Kweekschool tersebut lalu bertanya, “organisasi itu apa?” Lalu dijelaskan bahwa organisasi adalah sekumpulan manusia dengan tujuan bersama yang memiliki badan hukum yang sah atas izin pemerintah seperti halnya organisasi Boedi Oetomo (Syuja’, tt: 66). Inilah gagasan yang melatarbelakangi pendirian Muhammadiyah dan juga berlaku bagi Aisyiyah. Kedua organisasi tersebut harus dibangun dan dikelola secara modern dan profesional, tidak menganut sistem tradisional yang cenderung nepotisme.
Ketika rapat Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah tahun 1917, nama Nyai Ahmad Dahlan tidak ditetapkan sebagai president pertama Aisyiyah. Padahal, dialah yang berjuang bersama suaminya merintis perkumpulan-perkumpulan pengajian perempuan yang menjadi embrio Aisyiyah. Justru, salah satu murid KH. Ahmad Dahlan lulusan sekolah Belanda yang ditetapkan sebagai president pertama Aisyiyah. Sosok Nyai Ahmad Dahlan juga hanya berada di belakang layar karena dalam struktur Aisyiyah pertama justru namanya tidak tercantum. Tampaknya, KH. Ahmad Dahlan menghendaki organisasi Aisyiyah dibangun dan dikelola secara modern dan profesional seperti halnya Muhammadiyah yang tidak mengikuti perkumpulan tradisional dengan sistem nepotisme.
Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan pada waktu itu memang sangat berjasa dalam merintis grup-grup pengajian perempuan, khususnya sebagai pembina Sopo Tresno. Akan tetapi, wawasan dan pengetahuan seputar manajemen organisasi modern belum ia kuasai. Perlu dicatat di sini bahwa Nyai Ahmad Dahlan baru menguasai Bahasa Melayu (cikal bakal Bahasa Indonesia) dan mampu menulis huruf Latin setelah beberapa tahun Aisyiyah berdiri. Ia belajar membaca dan menulis Latin dari Nyonya S. Tjitrosoebono (Suratmin, 2005: 42). Padahal, untuk keperluan administrasi sebuah organisasi modern dibutuhkan keahlian membaca dan menulis serta wawasan yang luas. Dengan demikian, cukup masuk akal apabila pada masa pembentukan Aisyiyah justru bukan Nyai Ahmad Dahlan yang terpilih sebagai president pertama. Tetapi posisi struktur puncak Aisyiyah justru diamanatkan kepada salah satu murid atau santrinya yang bernama Siti Bariyah yang memiliki kapasitas intelektual melebihi kawan-kawan seangkatannya.
Nyai Ahmad Dahlan lahir di Kauman pada 1872 M dengan nama Siti Walidah. Ia salah satu dari putra-putri Kyai Penghulu Muhammad Fadhil. Bersaudara kandung dengan Kyai Lurah Nur, Haji Ja’far, Nyai Wardanah, Haji Dawud, KH. Ibrahim, dan KH. Zaini. Pendidikan Walidah semasa kecil ditangani langsung oleh ayahnya sendiri. Setelah memasuki usia cukup dewasa, ia dinikahkan dengan Muhammad Darwis (KH. Ahmad Dahlan), yang tidak lain adalah kerabatnya sendiri (saudara sepupu). Model pernikahan endogami memang sudah jamak dilakukan oleh orang-orang Kauman dan ini menjadi salah satu ciri khas masyarakat Kampung Santri ini.
Sejak masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan, peran Siti Walidah dalam menggerakkan pengajian-pengajian maupun cursus-cursus Al-Quran sangat besar. Ia secara khusus mengorganisasi kaum perempuan di Kauman, Karangkajen, dan Pakualaman mulai dari remaja putri, ibu-ibu, maupun para buruh batik. Para remaja putri dihimpun dalam sebuah perkumpulan bernama Wal ‘Ashri, yaitu kelompok pengajian putri yang diselenggarakan setelah waktu ‘Ashar. Para buruh batik dihimpun dalam sebuah kelompok Maghribi School, yaitu pengajian untuk para buruh perempuan yang diselenggarakan setelah waktu Maghrib (setelah pekerjaan selesai). Pada tahun 1914, dibentuklah perkumpulan Sopo Tresno yang menghimpun kaum perempuan, baik tua maupun muda, untuk mendapatkan pengajaran agama Islam. Perkumpulan cursus-cursus Al-Quran, kelompok pengajian Wal ‘Ashri, Maghribi School, dan Sopo Tresno inilah embrio dari organisasi Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan berperan aktif sebagai pembina kelompok-kelompok pengajian perempuan tersebut.
Setelah pondasi organisasi Aisyiyah terbentuk, Nyai Ahmad Dahlan mulai berkiprah di jajaran struktural. Ia berperan aktif melakukan kunjungan ke daerah-daerah, seperti di Semarang, Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan Surabaya. Bahkan kunjungannya ke Dieng harus melewati medan yang amat sulit sehingga ia harus naik kuda untuk sampai ke tujuan. Tidak hanya aktif merintis dan membina Aisyiyah di pulau Jawa, Nyai Dahlan juga giat membina Aisyiyah di Minangkabau.
Nyai Dahlan mengalami langsung kehidupan di bawah penjajahan Belanda dan Jepang hingga bangsa ini memasuki alam kemerdekaan. Ia wafat pada 31 Mei 1946 meninggalkan jasa yang amat besar bagi kemajuan kaum perempuan di negeri ini. Atas jasa-jasa Nyai Ahmad Dahlan yang turut andil dalam membina dan memajukan pendidikan kaum perempuan, Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 042/TK/Tahun 1971). (Mu’arif)