Ketika itu usai perang Uhud. Banyak sahabat dan pasukan Muslim yang gugur sebagai syuhada, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib paman tercinta Nabi. Tersebutlah seorang sahabat Nabi yang juga ikut berperang mencari saudaranya yang terluka berat untuk merawatnya. Dia menemukan saudaranya dicari, lalu berusaha untuk menolongnya.
Ketika hendak dirawat, sahabat yang terluka itu malah meminta saudaranya untuk merawat sahabat lain yang luka lebih berat dan memerlukan perawatan emergensi. Dia berlari ke sahabat yang terluka lebih parah, namun yang terluka itu malah menunjuk agar segera dirawat sahabat lain yang lebih parah.
Sahabat Nabi yang berusaha merawat itu segera beralih ke korban yang lebih parah, tetapi sayang dia sudah tak tertolong dan gugur menjadi syahid. Seketika dia segera berlari ke korban kedua untuk merawat, tetapi juga tak tertolong. Akhirnya, dia bergegas ke saudaranya yang pertama hendak ditolong, tetapi ajal telah menjemput saudaranya itu sebagai pejuang yang mati di jalan Allah.
Pelajaran berharga dari kisah Uhud itu ialah sikap tulus dalam aura hidup kemanusiaan yang luhur serta bersikap ihsan terhadap sesama yang membutuhkan. Para sahabat Nabi yang berhati emas itu menampilkan perangai mulia, yakni berhasil melumpuhkan egoisme untuk berbagi kepada sesama dengan jiwa nirpamrih yang total.
Mereka yang menolong dan yang ditolong sama-sama menunjukkan jiwa ihsan, berbuat kebajikan yang melampaui nalar kelaziman. Mereka berbuat tanpa kepentingan diri, sepenuhnya berjiwa altruis untuk sesama. Mereka menghayati betul sabda Nabi, “Sesungguhnya segala perbuatan tergantung niat, barang- siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka dia berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa berhijrah karena harta atau perempuan yang akan dinikahinya maka dia hanya dapatkan itu.”
Ketika siapapun berbuat kebaikan untuk kemanusiaan didorong oleh niat dan jiwa yang ikhlas tanpa pamrih, maka dia tidak pernah berpikir untuk memperoleh pengakuan, penghargaan, dan pujian orang lain. Ketika dihargai orang lain, dia bersyukur dengan mengembalikannya kepada Allah seraya mengucap alhamdulillah. Keyakinan imannya membawa dia pada sikap syukur dan tawakal, bahwa segala kebaikannya merupakan anugerah Allah, bukan karena kehebatan dirinya. Dia tetap rendah hati kalau dipuji dan dihargai orang lain.
Manakala luput dari penghargaan dan pujian orang dia akan berkata alhamdulillah, sebab dirinya terbebas dari riya. Dia tidak unjuk diri dengan membusungkan dada, inilah aku. Betapa digdayanya aku. Akulah si hebat, yang lain rendah tak punya apa-apa. Aku dilahirkan untuk menjadi yang terbaik. Akulah segala-galanya, yang lain “tidak ngaruh”. Kesuksesan tidak membawa dirinya takabur, merasa yang paling terbaik. Sebab sekali tatkala berhasil dia merasa jumawa, maka hilanglah rasa syukur, tawakal, dan tawadhu.
Umar Ibn Khattab ketika menjadi Khalifah sering blusukan di malam hari untuk mengetahui dan menyantuni rakyatnya yang masih miskin. Suatu kali dia menemukan seorang ibu yang tengah “memasak” batu, sebagai ikhtiar sang ibu untuk menenteramkan hati anaknya yang kelaparan. Umar masuk ke rumah sang ibu, usai dialog dan tahu keadaan, dia keluar lagi. Setelah itu beliau kembali lagi sambil memikul gandum dan diberikannya kepada si ibu, sehingga keluarga miskin itu bisa makan dengan cukup.
Keluarga miskin itu sungguh tidak tahu kalau yang datang dan membantunya adalah Khalifah. Umar pun tak pernah unjuk diri dalam kerja kemanusiaannya itu. Khalifah kedua itu bukan sekadar melakukan usaha kedermawanan, tetapi setelah itu melakukan kebijakan-kebijakan untuk mengentaskan kaum miskin dan menyejahterakan rakyatnya melalui Baitul Mal. Dia dikenal sebagai khalifah hebat dan cinta rakyat, tetapi sikap hidupnya bersahaja. Langkah dan kerja kemanusiaannya luput dari publikasi orang. Dia bahkan tak ingin disebut Khalifah, hanya minta dipanggil “Amirul Mukminin”: Orang yang mengurus urusan umat! • A. Nuha