Cerpen: Sule Subaweh
Gumpal awan juga hujan yang tak kunjung reda. Sore itu, tidak hanya langit yang melepas kilatannya. Dari kamar juga terdengar suara berkilat-kilat dari istriku yang sejak beberapa hari yang lalu mendumel sendiri.
“Kata dokter kalau cek lagi. Mas harus ikut!” paparnya dengan sorotan mata bak asahan pisau yang siap menggores. Tak terlihat seperti biasanya. Dia yang lembut, terlihat sangat keras. Aku tertegun dibuatnya. Sebab tidak sekali ini dia meminta untuk ditemani. Tentu itu bukan semata-mata permintaan dokter saja. Ah, perempuan kadang sulit dipahami.
Dia memang tidak selalu minta untuk ditemani. Tapi, semenjak perut buncitnya masuk tujuh bulanan, dia mulai banyak permintaan. Suatu ketika dia minta ditemani ke pasar. Tentu permintaannya kutolak. Selain tempatnya jauh, awan menggumpal waktu itu. Dia tidak kuat berlama-lama di jalan. Pikiranku selalu dipenuhi waswas. Tentu kakinya geli jika hanya diam di rumah sendiri. Sebelum hamil, hobinya jalan-jalan.
Lalu dia lebih banyak diam, melepas pandangan ke arah yang jauh, sejauh angannya. Beberapa bulan terakhir kubatasi dia untuk tidak ke luar terlalu jauh. Dia lebih banyak di kamar, seperti menyusun angan-angannya yang terabaikan.
“Kata dokter. Kita harus kroscek setiap dua minggu sekali,” lanjutnya lagi, dengan nada sedikit kecewa, lalu bergegas masuk dalam kamar. “Lembur atau tidak, pokoknya harus ikut!” pintanya keras dari balik pintu kamar.
***
Pagi dan kokok ayam saling bersahutan. Perlahan cahaya ranum mulai menyapu ruang kamar dari kaca jendela yang terbuka. Di tempat tidur yang mengisahkan kekecewaan itu, sudah tak terlihat istriku di samping tempat tidur.
Sudah menjadi kebiasaannya sehabis shalat Shubuh jalan-jalan mengitari kampung sambil belanja sayur di warung bu Tutik. Katanya di sana lebih lengkap.
“Meskipun sedikit lebih jauh, enggak apa-apa. Sekalian melemaskan kaki,” kilahnya saat ditanya.
Masih kubayangkan wajahnya yang musam karena kesepian. Aku tiba-tiba resah. Hampir dua jam kutunggu kedatangannya. Sisa hujan semalam masih melekat di tanah. Tentu jalanan licin. Untuk kesekian kalinya, kuintip jalanan dari jendela. Tapi tak kutemukan jejaknya. Aku pun bergegas menyusul ke warung tempat biasa membeli sayur. Dari kejauhan kulepaskan pandangan ke segala penjuru. Tapi tak kutemukan bayangannya. Lalu aku bergegas ke jalan raya. Di pertigaan, kulihat kiri-kanan tak ada seorangpun yang lewat. Jalanan sepi. Hanya beberapa saja yang beraktivitas di pagi hari. Tapi biasanya warga di sini lebih banyak di dalam rumah. Apalagi musim hujan. Cuaca lebih dingin dari biasanya.
Ke mana dia pergi?
Duh…! Bagaimana kalau dia kedinginan, lalu tiba-tiba perutnya nyeri. Dia pasti kebingungan, meminta pertolongan atau berteriak. Tiba-tiba aku seperti mendengar teriakannya. Entah dari arah mana. Lalu segala keluh kesahnya dan permintaan-permintaannya mengitari pikiran.
“Pokoknya mas harus ada saat aku melahirkan. Kalau bisa juga ikut menyaksikan,” pintanya saat kali ketiga aku tidak menemaninya ke dokter. Dia terpaksa harus berangkat sendiri, karena banyak pekerjaan di kantor.
Sempat aku memintanya untuk pulang kampung, sebulan sebelum perkiraan melahirkan dari dokter. “Tidak,” jawabnya tegas.
“Di sini tidak ada yang merawatmu. Siapa yang akan mengurus nanti kalau sudah lahir?” pintaku lagi. Dia diam saja. Begitulah caranya untuk menolak permintaanku. Akhirnya kuputuskan untuk tetap di sini. Lalu dia memintaku untuk mulai belajar mencuci, memasak, dan mengerjakan pekerjaan rumah.
“Nanti kalau aku lahiran, Mas lah yang akan mengerjakan semuanya, hingga kondisiku membaik. Jadi, dari sekarang harus belajar.” Pintanya sambil mengajari cara memasak.
Tentu saja itu tidak sesederhana yang kubayangkan. Sebelum menikahinya, untuk makan sehari-hari saja biasanya beli. Paling banter masak mie instan, itu pun menggunakan pemanas dispenser. Jarang ada anak kos yang masak sendiri. Bahkan untuk mencuci baju sendiri menggunakan jasa laundry. Apalagi disuruh bangun pagi. Hal yang sangat sulit bagiku yang biasa berkeliaran di malam hari. Akhirnya ketika diminta untuk menemaninya jalan pagi. Selalu tidak keturutan. Sebenarnya niat untuk menemaninya sangat kuat. Tapi kebiasaan seperti kebo sangat sulit untuk dihilangkan. Sekarang dia menghilang. Duh ke mana dia pergi. Sepanjang jalan tak kutemukan jejaknya, pun tidak ada tanda-tanda di rumah tetangga.
Langit tiba-tiba mendung. Hati cemas semakin tak terbendung. Di jalan menuju kontrakan, kusempatkan sekali lagi ke warung penjual sayur. Barangkali dia mampir ke sana untuk membeli sayur, atau ngerumpi dengan tetangga. Pikirku.
Belum sampai ke warung. Angin kencang mengibas pohonan. Bambu di pinggir jalan bergoyang oleh embusan angin. Saling bergesekan kencang. Kulempar pandangan ke beberapa arah. Tak seorangpun yang kutemukan. Aku pun bergegas ke warung. Angin semakin mengamuk, seperti puting beliung. Tapi tak ada gulungan-gulungan yang beterbangan. Aku terus berlari, tiba-tiba hujan merejam seketika. Entahlah, tidak seperti biasanya tetesannya sangat besar. Hujan apa ini? Pikirku. Beruntung ada pos kamling di depan. Sambil berteduh, kupusatkan pandangan ke beberapa arah.
Ke mana dia?
Apakah dia masih di warung? Atau, dia terperangkap. Lalu ke mana? Tanpa pikir panjang kuterobos deras hujan menuju arah warung. Mungkin dia masih terjebak di sana. Pikirku meyakinkan langkah kaki. Dari kejauhan, warung terlihat samar. Hujan menutupi pandang. Tapi takku lihat seorang pun di sana. Benar saja sesampainya di sana, warung kosong. Hanya barang-barang jualan saja yang tersisa. Bu Tuti di dalam rumah menghindar dari derasnya hujan. Kuketok pintu rumahnya beberapa kali, tapi sama sekali tak ada jawaban. Setelah tiga kali kuketok, baru mereka membukakan pintu.
“Apakah istri saya tadi belanja di sini ibu?”
“Apa?!” teriak Bu Tuti beradu dengan derasnya hujan dan angin yang semakin kencang.
“Apakah istri saya tadi belanja di sini ibu?” kukencangkan.
“Tidak, dia tidak belanja ke sini.” Mendengar jawabnya tubuhku bergetar. Tidak, ini bukan karena kedinginan. Entahlah detak jantungku semakin kencang, beradu kencang dengan angin. Tiba-tiba dari kejauhan seorang perempuan dengan tergesa-gesa menerobos laju derasnya hujan. Kencangnya angin memperpendek jarak pandang. Perempuan itu lenyap di kelokan bersama dengan kilatan dan hujan yang semakin menebal. Jejaknya tergerus derasnya air yang menjelma menjadi sungai menghampar.
Tanpa pikir panjang aku berlari melawan angin dan hujan yang menusuk tajam. Berharap masih tercium aroma tubuhnya di jalanan kecil yang dilewati, agar bisa kudapatkan dia. “Akan kuantarkan ke mana saja dia mau.” Janjiku dalam hati. Tapi air yang menggenang memperlambat langkah kaki. Aku masih berlari sekuat tenaga, terus berlari. Kubidik ke segala arah. Ke mana dia pergi? Hujan semakin deras. Dan tiba-tiba. Tarr… tarr… tarr. Guntur dan kilatnya, lepas menggores langit. Tubuhku semakin bergetar. Denyut jantung semakin tak terkendali. Air menguap. Duh, jangan-jangan dia terbawa arus.
Genangan air di selokan terdengar kencang mengalir deras. Di depan pintu kulihat seorang perempuan. Berdiri seperti sedang menunggu. Tubuhnya basah. Wajahya resah. Dia melempar pandang ke arahku. Genangan air di matanya seperti derasnya hujan. Perlahan dia tersenyum. Tak berkata-kata. Akupun diam.•
***) Sule Subaweh (Suliman) karyanya dimuat di koran lokal dan nasional. Puisi “Rumah Ingatan” menjadi Puisi unggulan dalam lomba Seni dan Sastra FIB UGM 2014. Saat ini Berkerja di UAD dan Aktif Komunitas Jejak Imaji.