Beberapa waktu yang lalu, pemerintah sempat merilis 84-95 negara yang diberi fasilitas bebas visa ke Indonesia. Di antara daftar negara yang dibersi fasilitas itu ada Negara Israel.
Sudah barang tentu, kebijakan pemerintah ini menimbulkan reaksi yang cukup ramai.
Seperti biasanya, pemerintah kembali “ngeles”, Israel kemudian dimasukkan dalam 11 negara yang dicoret dari daftar usulan.
Kalau kita buka arsip yang ada, gaya politik mencoba kedalaman air, kasus seperti “nyelonongnya” Israel dalam daftar negara bebas visa ini bukan hal yang pertama dilakukan rezim Jokowi-JK.
Pada masa awal pembentukan kabinet, rezim Jokowi-JK sempat melempar isu “pembubaran” kementerian agama. Setelah mengetahui reaksi umat Islam yang ternyata cukup keras menentang, wacana itu dibantah secara resmi oleh rezim. Gaya itu berlanjut pada wacana pengosongan kolom agama di KTP yang kemudian juga direvisi. Diulang lagi dengan ide pencabutan UU 1/PNPS/1965 tentang penistaan agama.
Kalau umat Islam diam atau tidak bereaksi maka rencana itu akan dilanjutkan. Seperti kasus pemilihan lima pimpinan KPK. Oleh karena umat Islam relatif kurang peduli dan parpol-parpol Islam di parlemen juga memble serta sibuk mengamankan diri masing-masing, terjadilah apa yang sekarang ada. Pimpinan KPK didominasi orang yang beragama nasrani. Sejarah baru terukir di Indonesia.
Alasan profesionalisme dijadikan pembenar. Semua dihadapkan secara diametral. Mau pilih Islam tapi tidak bermutu dan tidak jujur ataukah non Islam tapi hebat dan jujur? Pilih Atut atau Ahok? Pilih Aceng Fikri atau FX Rudyatmoko?
Seakan tidak ada pilihan Muslim yang baik, hebat, dan jujur. Mengapa Hery Zudianto (mantan walikota Yogyakarta), Suyoto (bupati Bojonegoro), Risma Tri Harini (walikota Surabaya), Siti Badingah (Bupati Gunungkidul), dan masih banyak figur muslim lain yang berprestasi luar biasa ditutup hanya oleh Ratu Atut, Gatot Pujo, dan Aceng Fikri?
Kalau kita cermati, kebijakan rezim yang sekarang memang ada kecenderungan untuk mementalkan atau paling tidak meminggirkan Islam secara bertahap. Beberapa program yang dirancang dan disusun terasa dibuat berjarak dengan ajaran Islam. Semuanya terlihat disusun berlandaskan pertimbangan rasional semata. Sepi dari pendekatan agama.
Beberapa tata nilai barat yang semuanya serba rasional dan terkesan “melawan” agama terasa hendak dicangkokkan dalam masyarakat Indonesia secara apa adanya.
Oleh karena itu, umat Islam harus senantiasa waspada dan tidak boleh kecolongan dalam era perang proxi seperti ini.
Umat Islam juga harus selalu mawas diri dan tidak mudah dimanfaatkan sebagai pasukan pihak lain untuk menyerang sesamanya. Selama umat Islam kokoh tidak akan ada yang bisa mencabik Indonesia. Namun bila umat Islam mudah diperalat dan mengandalkan emosi serta selalu berpikir pendek maka Indonesia pasti akan terbelah.
Pada masa kolonial, Kompeni VOC tercatat sukses mengusai Nusantara dengan politik devidet et impera. Namun VOC jelas tidak akan sukses dan bisa masuk dalam pusaran kekuasan Nusantara apabila elite kerajaan Banten, Mataram, Bone, Tidore dan lainnya tidak bertikai dengan sesama saudaranya yang seagama.• [isma]