Kisah Ibu Musa menghanyutkan bayinya di Sungai Nil disebut juga dalam Surat Thaha ayat 36-40. Allah SwT berfirman:
“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa. Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain. Yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan. Yaitu: “Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti. Kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir’aun): “Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?” Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan; maka kamu tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan. Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan Musa” (Qs. Thaha [20]: 36-40)
Keluarga istana sudah mencoba beberapa ibu susuan untuk bayi Musa tapi tidak ada yang cocok. Bayi itu selalu menolak. Sampai kemudian kakak perempuan Musa datang menawarkan ibunya untuk menyusui Musa dengan menerima upah. Tatkala dicoba, bayi Musa mau menyusu, keluarga istana sangat gembira. Akhirnya ibu Musa mendapat dua hal sekaligus, dapat menyusui anak kandung sendiri dan mendapat pula upah untuk pekerjaan yang disenangi tersebut. Keadaan Ibu Musa mendapat dua hal sekaligus itu menjadi perumpamaan bagi orang yang beruntung dapat dua hal sekaligus: “Seperti Ibu Musa yang menyusui bayinya sendiri dan mendapatkan upah untuk pekerjaan itu.” (Lihat Tafsir Ibn Katsir IX: 326)
Dalam ayat 39 juga dinyatakan oleh Allah SwT: “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku.” Maksudnya setiap orang yang memandang bayi Musa akan merasa kasih sayang kepadanya. Allah SwT menyayangi bayi tersebut, dan siapapun yang melihat akan langsung menyayanginya. Itulah sebabnya, tatkala Asiah, isteri Fir’aun melihat bayi itu dalam peti, langsung jatuh hati dan meminta Fir’aun jangan membunuhnya, seperti yang dikisahkan dalam Surat Al-Qashash ayat 9 yang sudah dikutip sebelumnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Ibu Musa tinggal di istana menyusui Musa atau Musa dibawa tinggal di rumah ibunya. Kalau kita menggunakan logika kekuasaan, tentu Asiah tidak akan mengizinkan bayi yang disayanginya itu dibawa ke rumah ibu susuannya. Pastilah Ibu Musa lah yang akan diminta tinggal di istana. Tetapi apakah Ibu Musa bersedia?
Menurut penuturan Ibn Abbas kepada Sa’id ibn Jabir, sebagaimana dikutip Ibn Katsir dalam Tafsirnya (IX: 329), Ibu Musa tidak bersedia tinggal di istana karena dia tidak bisa meninggalkan rumah dan anak laki-lakinya (Harun) yang baru berumur satu tahun. Ibu Musa berusaha meyakinkan isteri Fir’aun bahwa dia akan menyusui dan merawat bayi itu sebaik-baiknya sampai datang masa menyapihnya. Asiah, isteri Fir’aun setuju, karena memang tidak ada pilihan lain demi kesehatan bayi tersebut. Hari itu juga Ibu Musa berhasil membawa kembali bayinya ke rumah. Dia teringat janji Allah dalam ilhamnya yang akan mengembalikan bayi itu kepadanya.
Kecuali Ibu Musa dan puterinya Maryam, tentu tidak ada yang mengetahui bahwa yang menyusui Musa itu adalah ibu kandungnya sendiri. Demikianlah skenario Allah SwT sungguh luar biasa. Musa yang sebenarnya sedang dicari-cari oleh Fir’aun untuk dibunuh, justru diantar kepada Fira’un sejak bayi untuk diasuh dan dibesarkan. Allah SwT menyatakan dalam ayat: “Maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya.”
Disebutkan juga dalam riwayat yang panjang dari Ibn ‘Abbas bahwa setelah masa penyusuan selesai, Isteri Fir’aun minta kepada Ibu Musa untuk membawa kembali Musa ke istana Fir’aun. Dia perintahkan kepada para pegawai dan dayang-dayang istana untuk menyambut kedatangan Musa dengan segala penghormatan dan dijejali dengan hadiah beragam rupa. Asiah sangat bahagia menyambut kedatangan anak angkat yang sangat disayanginya tersebut. Diperkirakan umur Musa waktu itu sudah dua tahun sesuai dengan lamanya masa penyusuan.
Musa dibawa oleh Asiah kehadapan Fir’aun di dalam kamar. Waktu itu Fir’aun lagi duduk-duduk santai di atas sofa. Tiba-tiba Musa kecil menarik jenggot Fir’aun. Raja yang terkenal sangat dzalim itu marah besar dan memanggil tukang sembelih anak-anak Bani Israil untuk membunuh Musa kecil. Fir’aun menyatakan kepada isterinya, anak kecil inilah yang akan meruntuhkan kekuasaannya. Asiah segera mencegahnya dan menyatakan bahwa Musa hanyalah anak kecil yang belum tahu apa-apa. Kita bisa melakukan sesuatu untuk mengujinya.
Kepada Musa kecil ditawarkan dua bara api dan dua permata. Jika dia memilih dua permata, berarti dia sudah berakal dan silahkan dibunuh. Tapi apabila yang dipilihnya dua bara api dan memasukkan ke mulutnya, berarti dia belum tahu apa-apa, maka Musa harus dibebaskan dan dibiarkan hidup. Setelah ujian itu dilakukan, ternyata memang Musa memilih dua bara api, bukan permata. Maka selamatlah Musa dari kematian di tangan algojo Fir’aun.
Demikianlah Musa tumbuh berkembang di istana Fir’aun di bawah pengawasan Allah SwT. Dalam ayat yang dikutip di atas Allah SwT menyatakan: “dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”. Musa tinggal di istana raja, diberi pakaian standar anak raja, diberikan makan dan minuman anak-anak raja, dibesarkan dengan kasih sayang di tengah-tengah musuh yang akan dihancurkannya nanti. Demikianlah kehendak Allah SwT.
Musa Membunuh Pemuda Qibthi
Al-Qur’an tidak menceritakan lagi lebih lanjut apa yang dialami oleh Musa selanjutnya dalam masa kanak-kanak dan remaja awal. Barangkali tidak ada yang penting yang akan diceritakan. Al-Qur’an bukanlah kitab roman atau novel atau biografi yang menceritakan segalanya tentang kehidupan sang tokoh. Al-Qur’an adalah kitab hidayah, kitab petunjuk yang berisi kisah-kisah yang relevan dengan pesan yang ingin disampaikan.
Kisah Musa langsung beranjak kepada peristiwa terbunuhnya seorang pemuda Qibti. Secara singkat di sebut dalam Surat Thaha ayat 40: “dan kamu pernah membunuh seorang manusia”.
Lebih lengkap kisah pembunuhan itu disebutkan dalam Surat Al-Qashash ayat 15. Allah SwT berfirman:
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).“ (Qs. Al-Qashash [28]: 15)
Pemuda Musa berjalan-jalan di kota Memphis atau ‘Ain Syams pada saat penduduk kota sedang istirahat, sehingga jalan-jalan sepi. Tiba-tiba Musa menyaksikan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Yang satu disebutkan oleh Al-Qur’an dari golongannya yaitu Bani Israil dan yang seorang lagi dari kaum Fir’aun yaitu bangsa Mesir. Laki-laki Bani Israil itu meminta pertolongan Musa. Tanpa pikir panjang Musa meninju pemuda Mesir itu dan mati. Rupanya pemuda Musa mempunyai kekuatan fisik yang luar biasa. Musa menyesal karena sama sekali tidak berniat membunuh, hanya semata-mata ingin menolong kaumnya.• (bersambung)