Bung Tomo (Sutomo) satu di antara tokoh-tokoh lokal dari kalangan kaum muda yang populer karena memainkan peran penting dalam revolusi di Surabaya pasca Proklamasi Kemerdekaan.
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta, gejolak perlawanan di daerah-daerah menghadapi pendudukan Jepang dan upaya kembalinya tentara Belanda tak dapat dibendung lagi.
Revolusi fisik terjadi serentak di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Surabaya. Lahirlah tokoh-tokoh muda di daerah-daerah tersebut yang bergabung dalam Komite Nasional Indonesia (KNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan lain-lain. Selain KNI dan BKR, organisasi-organisasi aksi berskala lokal berhasil dibentuk pasca Proklamasi Kemerdekaan untuk mengawal jalannya revolusi di Surabaya. Di antaranya adalah organisasi aksi Angkatan Muda dan Pemuda Republik Indonesia (PRI). Lewat organisasi yang disebutkan terakhir inilah nama Bung Tomo kian bersinar meskipun ia bukan sebagai pucuk pimpinan.
Revolusi di Surabaya
Membaca sejarah revolusi di Surabaya jelas harus melihat perkembangan politik nasional pasca Proklamasi Kemerdekaan yang telah memicu gerakan revolusioner di daerah-daerah (Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta). Revolusi di Surabaya hanyalah sepenggal dari narasi besar “Kebangkitan Pemuda”—meminjam istilah Ben Anderson (1988)—yang bertekad mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Sejarawan MC. Riklefs (2005) menyebut Surabaya sebagai ajang revolusi paling hebat dalam sejarah nasional Indonesia.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, pekik “merdeka!” laksana mukjizat yang mampu menyatukan semangat kaum muda untuk bersatu mengusir penjajah dari muka bumi Nusantara. Jepang belum sepenuhnya menyerah. Rapat raksasa yang digelar kaum muda di lapangan Ikada, Jakarta, pada 11 September masih di bawah pengawasan ketat tentara Jepang. Di Bandung, antara Mayor Jenderal Mabuchi (panglima Jepang di Jawa Barat) dengan R. Puradiredja (Residen Priangan), telah terjadi perjanjian proses penyerahan kekuasaan secara bertahap tanpa melalui pertumpahan darah. Akan tetapi, perjanjian Puradiredja-Mabuchi ini malah dilanggar. Mabuchi mengelabuhi petinggi KNI Jawa Barat (Oto Iskandardinata), BKR (R. Soehari), dan Kepolisian Karesidenan (R. Jusuf), sehingga pada tanggal 9 Oktober, Jepang telah melakukan kudeta di Kota Kembang. Insiden kup oleh Jepang di Bandung dan kehadiran tentara Inggris (Sekutu) di Jawa Barat turut mempengaruhi gerakan kaum muda di sekitar Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Hal yang sama juga terjadi di Surabaya ketika pasukan Sekutu yang datang pertama kali ke kota ini justru dari kerajaan Belanda.
Sebenarnya, pasukan Jepang di Surabaya di bawah Laksamana Shibata Yaichiro sudah sepenuhnya menyerah. Tetapi kedatangan Pasukan Sekutu (Belanda) di Surabaya di bawah komando Kapten Huijer menjadi pemicu revolusi fisik yang jauh lebih besar. Huijer sendiri membawa misi tersembunyi ingin mengembalikan dominasi pasukan Belanda atas kota Surabaya dengan mengatasnamakan Pasukan Sekutu. Kapten Huijer telah berhasil memaksa Shibata untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pasukan Sekutu (Belanda). Huijer sendiri melihat Doel Arnowo, ketua KNI Jawa Timur, dan R. Soedirman, Residen Surabaya, dianggap sebagai sosok-sosok yang amat mudah dipengaruhi untuk kerjasama memuluskan kepentingan pasukan Sekutu (Belanda?). Akhirnya, seluruh senjata rampasan dari pasukan Jepang diserahkan kepada Doel Arnowo atas nama KNI. Tetapi dalam praktiknya, KNI Jawa Timur bukanlah organisasi yang solid. Terbukti, sebagian besar senjata rampasan dari pasukan Jepang justru jatuh ke tangan para anggota BKR, kelompok-kelompok muda revolusioner, dan gerombolan-gerombolan yang tidak terorganisir.
Tampaknya, dalam tubuh KNI sendiri tidak memiliki sosok yang cukup populer di kalangan masyarakat luas. Mereka hanya kaum elit moderat yang dianggap cakap dan mudah diajak kerjasama oleh Pasukan Sekutu. Terbukti, senjata rampasan dari pasukan Jepang justru dengan mudah diterima oleh kelompok BKR dan organisasi/perkumpulan revolusioner yang tidak terorganisasi. Tetapi inilah sebenarnya yang menjadi cikal bakal revolusi fisik yang sangat hebat nantinya.
Dalam kondisi seperti inilah, sosok Bung Tomo berhasil tampil dominan. Ia memang termasuk anggota PRI. Tetapi ketika tampil dominan dalam revolusi di Surabaya, Bung Tomo adalah seorang wartawan dalam Kantor Berita Domei. Pada tanggal 12 Oktober, setelah pulang dari Jakarta, Bung Tomo mendirikan stasiun pemancar radio yang disebut “Radio Pemberontakan.” Selang sehari kemudian, Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), yang secara struktural terpisah dari PRI. BPRI inilah yang kebanyakan diisi oleh gerombolan pemuda revolusioner, para jawara, dan kelompok BKR yang kurang solid.
Stasiun pemancar “Radio Pemberontakan” adalah salah satu infrastruktur peninggalan Jepang. Bung Tomo berhasil memanfaatkan stasiun pemancar radio tersebut untuk mengobarkan semangat perlawanan lewat pidato-pidato agitatifnya. Pada zaman pendudukan Jepang, ratusan radio telah dibagi-bagikan kepada beberapa elemen dalam masyarakat di Surabaya, dari kota hingga pelosok desa. Para pejabat pemerintah, priyayi, tokoh organisasi/perkumpulan, dan kyai mendapat jatah gratis masing-masing satu buah radio transistor. Dengan memanfaatkan stasiun radio yang siarannya dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat di Surabaya, Bung Tomo berhasil memanfaatkan alat komunikasi satu-satunya pada waktu itu yang mampu menjangkau masyarakat luas. Ia mengobarkan semangat perlawanan dengan pekik, “merdeka!” Mengawali pidato, Bung Tomo selalu menyeru, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” sehingga mampu menggugah semangat dari kalangan Muslim, baik di perkotaan maupun di pelosok desa.
Ben Anderson (1988: 182-183) mencatat, pidato agitatif Bung Tomo berhasil menggetarkan hati para pemimpin-pemimpin “merah” dan masyarakat santri di Surabaya, di daerah-daerah daratan dan pantai Jawa Timur, dan di Pulau Madura. Para kiai dan santri yang terpengaruh oleh pidato agitatif Bung Tomo melakukan perjalanan jauh dari pelosok menuju pelabuhan.• Bersambung