Oleh ; Ratna Oktavian
Kurang lebih 4 tahun yang lalu. Hari itu sangat terik, saat aku meninggalkan rumah yang kondisinya bisa dibilang jauh dari kata mewah. Meninggalkan ibu dan adikku satu-satunya adalah suatu pilihan yang berat. Aku harus pergi ke kota yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku. Aku pergi ke kota ini karena ibu yang menyuruhku. Beliau bilang aku harus menuntut ilmu tinggi agar nanti hidupku bisa enak.
“Di kota itu enak loh nduk. Sekolahnya juga bagus. Nanti kamu bisa punya banyak uang kalau kamu pintar.” Ibu menegaskan untuk yang kesekian kalinya. Aku masih tak bisa mengerti mengapa ibu begitu memaksa. Bukankah di desa aku juga bisa membantu ibu di sawah, atau menjual hasil kebun milik keluarga ke pasar. Lagian jika aku lanjut kuliah, uang mana yang akan dipakai untuk membiayai. Untuk makan sehari-hari saja uangnya tak cukup.
Aku membantah setiap kali ibu menyinggung masalah kuliah. Ibu memang sangat menginginkan anaknya bisa menjadi sarjana meski kondisi beliau hanya tamatan SD. Melalui perdebatan panjang akhirnya aku mengalah. Mungkin saja jalan ini bisa mengubah nasib keluargaku yang sering mendapat caci maki dari orang-orang sekitar karena ibu sering berhutang. Padahal mereka tidak pernah tahu bahwa ibu berhutang untuk menghidupi kedua anaknya agar tidak kelaparan. Terlebih lagi setelah kepergian ayah yang menghadap Sang Pencipta saat aku masih duduk di bangku SMP, ibu semakin banting tulang untuk menghidupi kami.
Tahun 2009 aku menginjakkan kaki di kota ini, semua terasa asing. Bangunan-bangunan tinggi, rumah-rumah mewah, suara bising, asap polusi dan udara yang sangat panas, semua berbeda sekali dengan desaku. Namun lambat laun aku hidup di sini, semua menjadi hal yang biasa.
Tahun-tahun pertama aku menjadi warga kota, setiap sebulan sekali aku menyempatkan pulang tuk mengunjungi ibu dan adikku yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar. Sekalian memberikan separuh gajiku untuk tambahan biaya hidup mereka. Meski gajiku pas-pasan karena aku hanya bekerja sebagai pelayan toko, namun masih bisa jika aku gunakan untuk biaya kuliah. Nilai kuliahku yang dibilang cukup memuaskan, tak menjamin aku terpilih menjadi mahasiswa tetap yang layak untuk menerima beasiswa. Aku harus bersaing ketat dengan teman sejurusan tiap semesternya.
Tahun-tahun berikutnya, aku mulai jarang pulang. Tugas kuliahku menumpuk dan aku harus bekerja lembur untuk mencari gaji tambahan yang nanti aku gunakan untuk biaya penelitian skripsi dan pendaftaran wisuda. Terlebih adikku sudah masuk SMP dan harus membayar uang gedung. Rasanya tak cukup jika aku hanya mengandalkan gaji bulanan. Aku harus mencari tambahan uang.
“Kalung itu bagus ya nduk, seperti kalung pemberian almarhum ayahmu.” Ibu menunjuk salah satu kalung yang dipajang di toko emas samping pasar. Mata ibu mulai menerawang jauh. Memang dulu ibu memiliki kalung bermata biru seperti itu. Ayah yang membelikan setelah panen padi. Namun kalung itu kini sudah dijual untuk menyambung hidup kami sekeluarga.
“Nanti ya bu, kalau Ningsih dapat beasiswa dan uang lembur, kita beli kalung itu.”
“Tidak usah, kita bisa makan setiap hari saja sudah untung. Uangnya kau simpan saja untuk keperluan lain. Ibu hanya rindu ayahmu saja.”
Ah, pikiranku kacau seketika. Ibu memang menolak untuk aku belikan, tapi nampak jelas dari sorot matanya jika beliau sangat menginginkan kalung itu untuk mengobati rindunya pada ayah. Namun sayang kondisi sekarang ini seperti tak mendukung. Semua gajiku habis untuk kuliah dan biaya hidup keluargaku. Adikku kini juga sudah duduk dibangku SMP, semakin banyak biaya yang kami butuhkan.
Kalung bermata biru mulai mengganggu pikiranku. Aku mencoba menyisihkan uang dari gaji bulanan, namun uangnya tak cukup juga. Uang lemburku habis untuk cicilan uang gedung adikku. Lalu aku harus mencari tambahan ke mana lagi. Aku memutar otak untuk mencari tambahan biaya.
Sudah tiga bulan aku bekerja di sebuah rumah makan. Tugasku hanya berbelanja ke pasar saat subuh. Setidaknya pekerjaan itu tidak mengganggu kuliah pagiku dan pekerjaanku sebagai pelayan toko saat siang hari. Gajinya memang tak besar, tapi setidaknya cukup untuk menabung. Terlebih kemarin aku sempat melihat namaku terpampang sebagai mahasiswa yang menerima beasiswa semester ini.
Aku akan segera pulang setelah mengurusi pencairan dana beasiswa. Hampir setengah tahun aku tak mengunjungi kampungku. Aku sudah sangat rindu pada ibu dan adikku satu-satunya. Jika sampai rumah, aku akan mengabari ibu bahwa tabunganku sudah cukup untuk membeli kalung. Pasti ibu sangat senang dan rindunya pada ayah akan terobati.
Jam tanganku menunjukkan pukul 11 siang. Sudah 3 jam perjalanan, namun tak kunjung sampai. Aku sudah tidak sabar melihat senyum di wajah ibu yang semakin terlihat tua, pasti ibu bahagia sekali melihat kedatanganku membawa kabar gembira. Aku juga sudah tak sabar mendengar cerita-cerita adikku yang sudah beranjak remaja, mungkin ada banyak cerita di sekolah barunya yang akan diceritakan padaku.
Gapura desaku telah tampak, hatiku sedikit tenang karena tak lama lagi aku akan sampai rumah. Tampak beberapa orang ibu berkerudung menuju rumahku. Mungkin ibu sedang mengadakan pengajian di rumah atau mungkin ada selamatan tasyakuran.
Becak yang aku tumpangi berjalan melambat saat hampir sampai. Pikiranku tidak karuan, kalau memang pengajian mengapa orang-orang menangis. Aku panik seketika melihat kedaan itu. Bulik berlari ke arahku dan memelukku erat.
“Sabar ya Sih. Masih ada bulik yang sayang kamu dan Izan.”
Aku tercekat mendengar perkataan bulik. Dituntunnya aku ke dalam rumah. Ibu sudah terbujur kaku di pembaringan untuk menghadap Sang Pencipta. Aku terisak. Belum sempat aku melihat senyum yang biasanya diberikan ibu untuk menyambut kedatanganku. Belum sempat aku merasakan kembali belaian rindu yang selalu diusapkan pada rambutku setiap aku bermanja di pangkuannya, dan kini ibu telah pergi meninggalkanku. Ibu sudah bertemu ayah di sana, beliau tak membutuhkan kalung bermata biru untuk mengobati rindunya.
Adikku yang dari tadi menahan air mata, memandangku lekat-lekat, ada kesedihan luar biasa yang ia simpan dalam diam. Tubuhnya yang semakin kurus dan pakaiannya yang terlihat lusuh, membuatku semakin tak tega manatap mata sayunya. Aku peluk ia erat-erat dan menumpahkan tangisku padanya, Hanya dia harta paling berharga yang kini aku miliki.•
Penulis tinggal di Jember.