Yogyakarta– Tidak salah jika ada statemen yang menyatakan bahwa jika 50 persen permasalahan perempuan selesai, maka permasalahan dunia juga akan selesai. Permasalahan yang dihadapi oleh perempuan sangat universal dan selalu ada di masa saja dan kapan saja. Hal ini dikatakan oleh aktivis Sana Ullaili aktivis Solidaritas Perempuan Kinasih dalam acara seminar perempuan bertema, “Perempuan Muda Muslim, Gerakan Responsif untuk Mencerahkan Bangsa”, pada Sabtu (24/02/2016), di teatrikal perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
“Pertama, persoalan perempuan itu tidak mengenal kelas. Menimpa siapa saja, mulai profesor hingga pekerja dan ibu rumah tangga. Kedua, persoalan perempuan sudah ada sejak dahulu hingga nanti. Namun perlawanan dari gerakan perempuan tidak pernah membawa pergolakan dan perumpahan darah. Prinsip gerakan perempuan adalah melawan dengan pola feminis,” kata aktivs yang malang melintang meakukan advokasi terhadap kasus-kasus yang menimpa perempuan di berbagai daerah.
Permasalahan perempuan merupakan permasalahan yang rumit dan panjang. Aktivis ini memisalkan kasus perlawanan perempuan terhadap pembangunan pabrik semen di Aceh Besar dan Kalimantan. Pihak korporasi bersikeras membangun pabrik semen di dekat pantai, sehingga oleh para perempuan menolaknya dan mengajukan gugatan. Meskipun pihak perempuan menang dalam gugatan di pengadilan, namun pemerintah tidak punya cukup power untuk melawan korporasi asing. Dari sini muncul permasalahan lingkungan, permasalahan air bersih, pangan.
Tidak berhenti di situ, permasalahan berlanjut pada pengabaian Hak Asasi Manusia (HAM) oleh negara. Terjadilan intimidasi, pelecehan, dan kekerasan terhadap perempuan. Negara juga abai dalam mengurusi perempuan pekerja, baik di dalam terlebih di luar negeri. “Minset berpikirnya adalah bahwa perempuan itu makhluk yang lemah, sehingga layak diperlakukan tidak adil,” ujarnya sambil menunjukkan data kekerasan terhadap perempuan yang terus terjadi di berbagai daerah.
Di bagian lain, dirinya juga menyinggung tentang sikap negara yang berlaku tidak adil dalam kebijakan-kebijakan, termasuk Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif. “Tubuh perempuan sebagai daya pikat iklan. Perempuan dikontrol sedemikian rupa oleh korporasi. Negara tidak punya cukup kebebasan untuk mengontrol hal-hal yang terkait dengan perempuan. Nalar korporasi ini tidak hanya dihadapi oleh perempuan, namun juga oleh semua, termasuk laki-laki dan perempuan.” (Ribas)