Namun boleh jadi ada orang-orang yang, karena satu dan lain hal, tidak mendapatkan hak waris. Mereka itulah yang dimaksud dalam ayat wasiat ini, yaitu hukum wasiat bagi mereka menjadi sunnah. (Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, II/263).
Jumlah Harta yang Diwasiatkan
Para ulama sepakat bahwa tidak boleh seseorang mewasiatkan semua harta bendanya. Mereka juga sepakat bahwa apabila seseorang mewasiatkan lebih dari sepertiga harta bendanya harus sepengetahuan dan persetujuan ahli warisnya. (Amir Abdul Aziz, Fiqh Al-Kitab wa As-Sunnah, I/124). Allah SwT telah memberikan kepada al-musi (pemberi wasiat) hak berwasiat sepertiga dari hartanya, demi menjaga hak ahli waris, seperti tercantum dalam hadits riwayat al-Jamaah dari Sa’d bin Abu Waqqashh:
Dari Sa’d bin Abu Waqqāsh, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: sepertiga dan sepertiga itupun telah besar atau banyak. Sesungguhnya, engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan mengharap belas kasih manusia.
Apabila pemberi wasiat ( /al-musi) mewasiatkan hartanya lebih dari sepertiga, baik kepada ahli warisnya atau kepada orang lain, maka wasiat itu harus mendapat persetujuan dari semua ahli warisnya. Jika mereka menyetujui, maka wasiat tersebut menjadi sah. Namun jika salah satu dari ahli waris tidak menyetujui, maka wasiat hanya dapat dilaksanakan sepertiga saja. Apabila yang diwasiati (penerima wasiat) adalah salah satu ahli waris, maka ketidaksetujuan ahli waris yang lain mengakibatkan batalnya wasiat. (Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh (terj), X/228, Ensiklopedi Hukum Islam, VI/1929).
Bagaimana jika al-musi memiliki hutang? Apabila al-musi mempunyai hutang kepada orang lain, maka kewajiban membayar hutangnya lebih utama dari pada melaksanakan wasiat, karena pihak yang mempunyai piutang punya hak terhadap harta yang berhutang. Kewajiban membayar hutang lebih didahulukan dari melaksanakan wasiat dan membagikan kepada ahli waris. (Hisyam Qiblan, Al-Wasiah Al-Wajibah fi Al-Islam, (Mansyurat Bahr Al-Mutawassith, Bairut) hlm. 110).
Wasiat Wajib (Al-Washiyyah Al-Wajibah)
Al-washiyyah al-wajibah (wasiat wajib) adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya halangan yang syar’i, seperti wasiat kepada orangtua yang tidak seagama (non muslim), karena beda agama menjadi penghalang untuk seseorang mendapat warisan, atau cucu yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum meninggalnya pewaris, sehingga terhalang oleh keberadaan pamannya. (Ensiklopedi Hukum Islam, VI/1930).
Mayoritas ulama berpendapat bahwa kedudukan hukum wasiat wajib adalah sunnah (dianjurkan) bukan wajib, sebagaimana hukum wasiat pada umumnya, yaitu dalam rangka untuk membantu meringankan mereka dari beban kehidupan yang dihadapi. Namun sebagian ulama lain, seperti Ibn Hazm dan al-Ashfahani menganggap bahwa wasiat wajib hukumnya wajib. Menurut mereka, ayat wasiat (Qs. Al-Baqarah [2]: 180) ini tidak dibatalkan hukumnya oleh ayat-ayat waris, sehingga perintah untuk berwasiat dalam ayat tersebut adalah untuk ahli waris yang karena satu dan lain hal terhalang untuk mendapatkan warisan. (Ibn Hazm, Al-Muahlla, IX/315, lihat juga: Hisyam Qiblan, Al-Wasiah Al-Wajibah fi Al-Islam, hlm. 48-50).
Adapun jumlah harta wasiat wajib tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an. Jumlah tersebut dijelaskan oleh hadits dari Sa’d bin Abu Waqqashh di atas, bahwa Rasulullah saw bersabda: sepertiga dan sepertiga itu pun telah besar atau banyak. Ketentuan hadits Sa’d di atas menjadi dasar besaran jumlah wasiat wajib, yaitu maksimal sepertiga. (Hisyam Qiblan, Al-Wasiah Al-Wajibah fi Al-Islam, hlm. 82). Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa jumlah wasiat wajib disesuaikan dengan pembagian warisan yang mesti mereka terima, apabila tidak ada penghalangnya, seperti ayah dan ibu memperoleh bagian seperenam apabila yang meninggal memiliki anak. Demikian halnya dengan cucu, ia akan mendapatkan wasiat sebesar bagian ayahnya yang telah wafat, karena statusnya seakan-akan sebagai ahli waris pengganti. (Ensiklopedi Hukum Islam, VI/1930. Menurut Ibn Hazm: semestinya tidak ada pembatasan jumlah wasiat wajib. Allah SwT mewajibkan kepada setiap muslim untuk berwasiat kepada kedua orangtua dan karib kerabatnya, yang tidak mendapat warisan karena adanya perbedaan keyakinan (agama); ada penghalang atau karena pada dasarnya memang tidak mendapat warisan. Jadi jumlah wasiat wajib tidak seharusnya dibatasi, akan tetapi diserahkan kepada al-musi untuk menentukan atau kepada para ahli warisnya jika al-musi belum menetapkan. Dan jika tidak, maka diberikan kewenangan kepada pihak terkait seperti hakim untuk menetapkan besaran jumlah wasiat wajib tersebut. (Al-Muhala, IX/314).
Ayat 181 memperingatkan dengan tegas supaya wasiat yang telah dibuat tidak boleh dilakukan perubahan, baik dengan cara menambah, mengurangi atau pun menyembunyikannya, setelah mengetahui isi yang sebenarnya. Apabila hal itu dilakukan, maka orang yang melakukan perubahan itulah yang akan memikul segala dosanya, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Larangan untuk merubah isi wasiat itu dinyatakan secara tegas dalam firman Allah swt pada Qs. Al-Baqarah [2]: 181:
Barang siapa mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya
Kelompok ayat-ayat ini ditutup oleh Allah SwT dengan firman-Nya:
… (Tetapi barang siapa khawatir bahwa pemberi wasiat itu berlaku berat sebelah …). Ayat 182 ini menjelaskan bahwa apabila wasiat yang dibuat dirasakan tidak adil, lalu dilakukan upaya perdamaian dengan orang-orang yang menerima wasiat tersebut, maka diberikan toleransi untuk melakukan perubahan-perubahan, jika wasiat yang telah dipesankan ternyata bertentangan dengan ketentuan syara’ sehingga perubahan yang dilakukan tidak dikategorikan sebagai perbuatan dosa. Demikian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.•