YOGYAKARTA,- Radikalisme dalam gerakan biasanya merupkan pendekatan non-kompromis terhadap persoalan sosial dan politik. Karenanya bisa memunculkan radikalisme kiri maupun radikalisme kanan. “Bisa memunculkan ekstrim kiri dan ekstrim kanan,” kata Prof Dr H Achmad Jainuri, dosen pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, pada seminar moderasi yang diselenggarakan Suara Muhammadiyah 29/2/16 di Gedung PP Muhammadiyah Cik Di Tiro Yogyakarta..
Baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, menurut Jainuri, berkeinginan melakukan perubahan dalam masyarakat dan kepemimpinan, meskipun keduanya menggunakan cara yang berbeda. Dalam sejarah Islam, gerakan yang mewakili radikalis tradisonal atau radikalisme kiri adalah gerakan kaum Khawarij. Sedang radikalisme modern sekuler atau radikalisme kanan diwakili Turki dibawah kepemimpinan Kamal Attaturk.
Gerakan kaum Khawarij yang keluar dari barisan tentara Ali bin Abi Thalib dalam perang Siffin 657 Masehi adalah gerakan radikal yang dilandasi oleh semangat nilai dan pemahaman keagamaan yang ultra konservatif. Sedang radikalis modern sekuler Kamal Attaturk didasari semangat mengganti nilai-nilai lama Turki dan Islam dengan nilai-nilai baru yang berasal dari Barat.
Kaum Khawarij, dengan meminjam tangan Ibnu Muljam, akhirnya bisa membunuh Ali bin Abi Thalib meski tak dapat merebut kekuasaannya. Kamal Attaturk berhasil mengubah wajah Turki Islam menjadi sekuler Barat.
Dalam menghadapi kaum radikal ini, moderasi memang mempunyai potensi untuk menghilangkan kecenderungan radikalisme. Tetapi, menurut Jainuri, tentu tidak mudah, karena kaum radikal sulit berdialog dengan orang di luar kelompok mereka.
Karenanya, untuk mengubah sikap radikalisme, moderasi tidak mudah ditanamkan pada kaum radikal. Namun hendaknya moderasi ditanamkan kepada anak sejak awal atau kepada mereka yang belum terkena virus radikalisme. (le)