Cerpen: Purwati*
Suara pengeras suara di surau terdengar keras. Ada pengumuman penting. Mulai malam ini, pengajian anak-anak di desa itu dihidupkan lagi. Para kakak pengasuh yang baru sudah siap. Anak-anak yang mau mengaji diminta membawa buku tulis dan alat tulis. Untuk buku mengajinya, sudah disiapkan di surau. Gratis. Sumbangan Haji Surip.
Surau itu, dua tahun ini terasa sepi tanpa kegiatan pengajian anak-anak. Awalnya, lima pengasuhnya pergi ke kota untuk melanjutkan kuliah. Yang menggantikan hanya ada dua anak muda. Itu pun hanya berjalan dua bulan. Mereka pindah ke luar Jawa, ikut orangtuanya transmigrasi.
Selama tidak ada pengajian di surau, anak-anak mengajinya sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Itu kalau ada anggota keluarga yang bisa mengaji. Anggota keluarga yang bisa mengaji mengajari anak-anak di rumah itu. Malu rasanya sebagai anak desa Karangjambu kalau tidak bisa mengaji. Kalau kebetulan di rumah itu kakek dan nenek yang bisa mengaji sudah meninggal, kemudian paman mereka merantau dan ayah mereka berasal dari luar desa dan tidak bisa mengaji dengan baik, maka anak-anak itu tidak bisa belajar mengaji di rumah. Ibu mereka hanya bisa mengajarkan lagu-lagu lama yang berisi ajaran agama ditambah lagu-lagu penghibur hati.
Dan lagi, bagi anak-anak desa, mengaji di rumah dengan mengaji di surau ada bedanya. Kalau mereka mengaji di rumah, rasanya tegang sekali. Berbeda suasananya kalau mereka mengaji di surau yang menjadi pengajar atau pengasuh adalah orang yang lebih muda. Mereka suka mendongeng, suka menyanyi, suka membuat permainan. Mengaji di surau banyak selingannya. Segar dan senang.
Suasana gembira seperti itu sudah hilang ketika para guru mengaji anak-anak pergi keluar desa semua. Para orangtua tidak sabar kalau harus mengajar mengaji model anak-anak muda. Ini terbukti ketika pengajian di surau coba dihidupkan lagi dengan pengajar dari orangtua anak-anak desa itu. Hanya berlangsung tiga hari, pengajian bubar, anak-anak mogok tidak mau mengaji di surau kalau yang mengajar orang-orang tua yang mengajar mengaji persis kalau mereka mengajar di rumah.
Lik Sarwanto, kalau tubuhnya tidak capai, malam sehabis Maghrib ia mengajar Narto. Isterinya mendongeng. Dengan setengah hati Narto mengaji. Karena mengajinya setegah hati, maka tidak lancar jadinya.
Seminggu yang lalu Takmir atau pengurus jamaah surau menyebarkan pengumuman bahwa pengajian anak-anak akan dihidupkan lagi. Tiap sore akan datang tiga guru mengaji anak-anak dari Kota Kecamatan. Mereka masih punya hubungan saudara jauh dengan warga desa itu. Dan malam nanti adalah kegiatan mengaji pertama kali.
Narto sudah memberitahu ayahnya. Ia bersedia mengaji lagi di surau, asal dia diberi pakaian baru. Lik Sarwanto pusing juga mendengar permintaan anaknya. Tetapi untuk menjaga agar anaknya tidak kecewa, ia menyanggupi permintaan anaknya.
”Sore hari menjelang mengaji, pakaian barumu sudah jadi. Ayahmu kan pejahit satu-satunya di desa ini. Dikenal sebagai penjahit ulung. Jadi, jangan cemas. Besok sore kau datang saja ke kios menjahitku. Kau bisa langsung ke surau dengan mengenakan pakaian baru. Mau?”
”Mau, Yah. Tapi besok saya sudah berjanji mau ketemu Nenek.”
”Kau cepat-cepat pulang dari rumah Nenek. Bisa?”
”Bisa, Yah.”
Pakaian baru satu stel sudah jadi. Lik Sarwanto sempat menyetrika agar rapi. Dua minggu yang lalu, selama tiga hari ia melembur menjahit, mendapat pesanan untuk membuatkan tas sekolah dari pedagang tas sekolah dari Kota Kecamatan. Sisa-sisa kain untuk tas itu masih banyak. Ia potong menjadi baju, celana panjang, dan peci. Kainnya lurik berwarna biru, merah, dan kuning.
”Yah, aku datang. Mana pakaianku?” tanya Narto begitu tiba di kios.
”Ini, tapi mandi dulu di belakang.”
”Ya, Yah.”
Dengan sigap, Narto ke belakang. Mandi, lalu ganti pakaian. Ia mantap sekali mengenakan pakaian itu. Ia mencium tangan ayahnya sebelum menuju surau.
Anak-anak desa sudah datang ke surau. Kebanyakan mereka juga mengenakan pakaian baru dan peci baru.
Melihat Narto datang, tiba-tiba ada anak berteriak sambil berdiri, ”Lihat ada logrek datang.”
Yang lain ikut berdiri. Ikut meneriaki Narto dan mengolok-olok dia dengan kata-kata logrek yang artinya anak pencuri. Sebab di desa sebelah yang dikenal banyak pencurinya, anak-anak sana kalau berpakaian suka menggunakan kain lurik seperti itu.
”Logrek anak pencuri, logrek anak pencuri.”
Narto gemetar. Menangis. Lalu membalikkan tubuh, berlari sekencang-kencangnya meninggalkan surau. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Lik Sarwanto sendiri ketika berjamaah Maghrib tidak menemukan anaknya. Ia bertanya kepada orang yang ada di situ.
“Maaf, Lik Sarwanto, anak-anak sini memang nakal sekali. Tadi anakmu datang lalu disoraki logrek-logrek begitu. Anakmu lari meninggalkan surau ini.”
“Sekarang dia di mana?”
“Tidak ada yang tahu, Lik.”
“Waduh,” keluh Lik Sarwanto.
Ia segera pulang. Anaknya tidak ada. Isterinya berkata bahwa sejak pulang sekolah tadi dia belum ketemu dengan Narto. Lik Sarwanto menceritakan apa yang terjadi di surau. Isteriya menangis.
“Sabar. Tidak usah menangis. Saya akan mencari dia malam ini. Menuju arah larinya dia.
Lik Sarwanto cepat mencari anaknya. Ia menyusuri jalan desa satu-satunya yang menghubungkan desa itu dengan desa di pedalaman. Ia dapat menebak arah lari anaknya. Sebab jalan ini menuju rumah neneknya. Tetapi, jauh, dan tidak mudah. Ia harus mendaki dua bukit. Dan ini malam hari.
Setelah mendaki bukit kedua, perjalanan menurun ia melihat sesosok anak-anak duduk menangis di bawah pohon johar. Dengan bersijingkat ia mendekati sosok itu. Lik Sarwanto mengenali kalau sosok anak itu anaknya.
Dengan suara lembut ia memanggil anaknya. Mula-mula Narto kaget dan bersiap untuk lari. Cepat ayahnya berlari dan menangkap tubuhnya. Narto menangis keras-keras. Meledak-ledak.
Lik Sarwanto memeluk erat anaknya, membiarkan anak itu menangis sepuas-pausnya. Baru setelah anak itu berhenti menangis, tampak letih sekali, Lik Sarwanto bertanya lirih, ”Kau mau ke tempat Nenek ya?”
Anak itu mengangguk.
”Baiklah, saya antar ke sana,” kata Lik Sarwanto.
Sejak saat itu, Narto tidak mau pulang. Ia memilih tinggal bersama neneknya. Ia bersekolah di desa yang tidak jauh dari rumah neneknya. Lik Sarwanto dan isterinya maklum.
Teman-teman Narto di desa itu pelan-pelan melupakan Narto. Setelah setahun dua tahun, mereka melupakan peristiwa itu. Setelah lima tahun sampai sepuluh tahun dan tahun-tahun sesudahnya mereka tidak ingat kalau di desa itu pernah ada anak bernama Narto. Apalagi, di kawasan itu terjadi perubahan besar. Terjadi pemekaran daerah. Sebuah Kota Kabupaten pun ditetapkan menjadi ibukota Provinsi yang baru berdiri.
Tidak jauh dari rumah warga dibangun pasar, lalu kantor kecamatan. Kemudian ada kampus baru berdiri untuk menampung anak-anak seprovinsi baru itu. Kampus itu dibangun di kaki bukit. Yang elok, meski terjadi perubahan besar, jamaah surau tetap kompak. Kemudian masjid itu diperbesar dan diresmikan menjadi masjid jami’ untuk masyarakat sekecamatan. Kecamatan ini merupkan pemekaran dari kecamatan lama.
Suatu sore, menjelang Maghrib, ketika warga desa dan sekitarnya mau shalat berjamaah, mereka melihat ada orang asing sudah duduk di shaf pertama. Orang baru itu berpakaian seragam lurik, seragam pegawai se-provinsi. Ketika iqamat sudah dilantunkan, jamaah bingung, sebab pak imam yang bertugas tidak dapat datang, wakilnya juga tidak bisa. Jamaah sepakat menunjuk orang asing. Orang itu berdiri mengimami mereka.
Seluruh jamaah merasa tergetar. Bacaan imam itu sangat bagus, lembut, dan indah. Belum pernah mereka mendengar bacaan shalat seindah itu.
Waktu imam mengucapkan salam dua kali lalu duduk menyamping berdoa, jamaah kaget dan berbisik-bisik. Imam itu meneruskan doanya. Seorang pengurus takmir berdiri dan mengatakan bahwa seperti biasanya sehabis Maghrib ada kultum. Dipersilakan pak imam diminta untuk memberikan kultum.
Imam itu berdiri di podium. Jamaah masjid pun kaget. Mereka seperti mengenali imam itu. Benarkah? Pengurus takmir kembali berbicara, ”Kami persilakan, bapak siapa? Untuk memulai kultum.”
”Narto. Ya Narto nama saya. Saya tadi pagi diangkat menjadi Camat di tempat ini.”
Apa yang terjadi sehabis kultum? Imam yang memberi kultum itu disalami semua jamaah. Banyak yang memeluk dia. Ada yang berbisik, ”Mas Narto, maafkan kami.”
Narto tersenyum. Mengangguk.•
Yogyakarta 2016
*Purwati, penulis cerpen di Yogyakarta. Mulai menulis sejak masih belajar di sekolah menengah swasta di kotanya.