Generasi “Swalayan”

Generasi “Swalayan”

Ketika  saya meneliti perilaku seks anak kost (Sex ‘n the Kost) di Yogyakkarta awal abad ini, orang  cenderung resisten. Mereka mempertanyakan hasil penelitian tersebut, apakah metode penelitiannya sudah benar. Bukan inti dari penelitian tersebut yang meminta berwajib terkait dengan permasalahan kost memperhatikan hal ini.

Penelitian saya tersebut bukan yang pertama, sebelumnya sudah ada penelitian sama dalam sekala yang lebih kecil. Tetapi sama nasib, orang cenderung resisten dan mempertanyakan metode penelitiannya.  Padahal jika ditanggapi dengan baik, bisa dijadikan masukan bagi pemerintah bagaimana bisa mengatur regulasi kost-kostan.

Karena tidak ditanggapi dengan baik, kondisi kost-kostan saat ini semakin parah. Tidak hanya masalah seks yang muncul, masalah narkoba dan yang lain yang dulu belum terbayangkan sekarang menjadi permasalahan kost-kostan juga. Karena rumah kost dibiarkan liar tanpa regulasi. Kondisi yang demikian tak hanya terjadi pada satu kota saja, tetapi kota-kota yang lain yang ada kost-kostannya juga mengalami nasib serupa,

Kost-kostan hanya dipandang sebagai nilai ekonomi semata. Asalkan membayar kost dengan lancar, pemilik kost tidak peduli apa yang terjadi dalam kost-kostannya. Mereka takut jika ketat mengawasi kost-kostannya khawatir tidak laku. Demikian pula RW atau RT sebagai pengawas lingkungan juga melakukan hal sama, asal sudah membayar iuran dengan aktif  dan tidak mengganggu lingkungan dibiarkan begitu saja.

Padahal sebetulnya, mahasiswa yang kost di tempat tersebut, selain dapat  sebagai agent of change (agen perubahan) yang baik (positif) bagi lingkungannya juga bisa menjadi agent of change yang buruk  (negatif) bagi lingkungannya. Jika tak terkontrol dengan baik, maka yang terakhirlah yang terjadi. Mahasiswa yang kost dapat menularkan virus  negatif pada anak-anak muda yang ada di kampung tersebut.

Kondisi ini diperparah lagi oleh kemudahan mencari informasi, terutama tentang seks, melalu  internet, selain regulasi alat kontrasepsi yang semakin bebas dijual. Kalau kita lihat penggunaan internet, pencarian kondom dan pencegahan kehamilan termasuk yang paling tinggi. Kalau dahulu anak muda mencari tahu tentang seks lewat teman atau orangtua. Kini mereka cukup tanya pada Mbah Google (internet).

Akibatnya,  anak-anak muda Indonesia lebih bebas dalam hal seks ini ketimbang negeri-negeri Barat.  Kalau anak-anak di Amerika pada umur 17 dibekali kondom oleh orang tua, anak-anak Indonesia sudah membekali diri sendiri dengan kondom. Apalagi untuk mendapatkan kondom di Indonesia sangat mudah. Ibaratnya sebuah toko, remaja kita ini sudah “swalayan”. Melayani diri sendiri.

Kalau dahulu orang mendapatkan kondom harus membeli di apotek,  kini telah dijual secara bebas di toko waralaba. Ibaratnya suatu kebutuhan, kondom bukan hanya kebutuhan kesehatan semata  tetapi sudah kebutuhan sehari-hari. Dampaknya luar biasa. Kalau dahulu rekor pembelian kondom  pada saat perayaan valentin (14 Februari) dan saat malam tahun baru, kini tiap hari kondom tetap laris. Orang sudah tidak sungkan-sungkan lagi untuk membeli, karena tinggal ngambil dan bayar di kasir. Kalau dahulu mau beli kondom harus  berkata pada penjualnya.

Mestinya regulasi pembelian kondom dikembalikan lagi ke apotek. Kondom dikembalikan lagi sebagai alat kesehatan (alat kontrasepsi) dan bukan merupakan kebutuhan sehari-hari yang bebas dijualbelikan di toko-toko. Langkah ini tentu akan mengurangi kehidupan seks bebas, meski tidak dapat menghentikannya.

Tidak hanya masalah seks yang dulu tabu, remaja kita melayani diri sendiri, tetapi dalam pengetahuan agama juga mereka mencari pengetahuannya sendiri. Kalau dahulu soal agama bertanya kepada ustadz, kiai dan guru, sekarang mereka tanya kepada mbah google (internet). Jika situs yang dibuka merupakan situs yang standard akan menambah ketakwaan, tetapi jika yang dibuka yang mengajarkan radikalisme tentu hasilnya akan beda,

Orang yang belajar agama dengan situs-situs yang demikian, menganggap dirinya benar sendiri. Orang lain akan heran melihat sikap yang demikian, tidak terlihat kepada siapa belajar agamanya tetapi memiliki pengetahuan agama yang berbeda dengan pengetahuan agama yang standar.  Bahkan kadang mereka tidak sungkan-sungkan mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengan apa yang ia pahami.

Untuk mengurangi hal ini, meskinya orangtua jangan sampai melepas anaknya yang masih remaja untuk lepas dari orangtua. Karena sealim apapun jika dilepas begitu saja, ada kecenderungan untuk hidup bebas, termasuk dalam masalah seks. Sebaliknya juga bisa terjadi, anak yang nakal kemudian dilepas oleh orangtuanya, kemudian sadar dan belajar agama yang cenderung radikal kemudian berubah mengkafir-kafirkan orang seagama yang tidak sepaham.

Jika masih serumah, tentu akan mudah disapa jika ada gejala-gejala penyimpangan, baik penyimpangan dalam kemaksiatan maupun dalam memahami ilmu agama. Ketika anak terlambat pulang bisa disapa, sehingga tahu ia ke mana dan dengan siapa. Sehingga bisa mengecek betul atau tidaknya apa yang dilakukan anaknya.  Dalam hal pergaulan dapat diketahui sejauhmana gaya hidupnya, dalam hal agama dapat diketahui bagaimana paham agamanya.

Termasuk dalam hal pendidikan,  agar memilih tempat pendidikan yang dekat dengan rumah. Dengan demikian orangtua tidak perlu melepaskan anaknya, untuk tinggal di luar rumah. Sekarang ini, untuk ilmu-ilmu klasik, sudah banyak perguruan tinggi yang sampai ke kota-kota keciil dan ada pula doktor yang mengampunya.

Tetapi jika terpaksa harus melepaskan anaknya untuk belajar ke luar kota, harus mencari orang atau institusi yang dapat menggantikan orangtua untuk ikut mengawasi prilaku anaknya. Jika mencari kampus, pilih yang ada asramanya yang dikelola oleh kampus. Saat ini banyak rumah susun untuk mahasiswa (rusunawa) yang dikelola oleh kampus, meski kapasitasnya terbatas.

Selain mengelola asrama atau rusunawa, sebetulnya kampus juga dapat bekerjasama dengan pemilik rumah kost di sekitar kampusnya. Langkah ini akan dapat meningkatkan kualitas mahasiswanya, karena prilaku mahasiswanya dapat terpantau dengan baik. Prilaku belajar dan prilaku keseharian bisa dipantau sehingga hasil pendidikannya  akan lebih baik. Ini tentu akan menguntungkan perguruan tinggi yang bersangkutan, karena hasil didikannya bisa dipertanggungjawabkan.

Jika perguruan tinggi tidak dapat menampung anaknya untuk hidup di asrama atau kost sekitar kampus yang diawasi kampusnya, maka dapat dititipkan di pesantren-pesantren mahasiswa. Saat ini, banyak pesantren-pesantren mahasiswa yang dibuka di sekitar kampus. Dengan menitipkan anak di pesantren mahasiswa, pendidikan di kampus bisa terpantau demikian juga prilaku keseharaian dan pendidikan agamanya juga tepantau.

Namun demikian, langkah yang terbaik tentu tetap orangtua sendiri yang dapat memantau anaknya agar tidak menjadi generasi “swalayan”. Bagaimanapun kondisi anaknya, tentu orangtua yang harus bertanggungjawab. Tidak hanya tanggungjawab di dunia tetapi juga tanggung jawab di akhirat.• eff
—————-
(Iip Wijayanto adalah pemerhati remaja dan penulis buku Sex ‘n the Kost).

Exit mobile version