SEMARANG, Suara Muhammadiyah – Jamak diketahui bahwa Muhammadiyah sebagai ormas yang bergerak di berbagai ranah sosial selain keagamaan, sejauh ini telah memiliki banyak perguruan tinggi di berbagai kota. Bahkan, Muhamamdiyah menjadi ormas yang mengelola perguruan tinggi terbanyak tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Ekspansi yang fenomenal ini membuahkan hasil berupa meningkatnya APK (Angka Perkiraan Kasar) mahasiswa Indonesia menjadi 30% dan diharapkan naik menjadi 34% di 2016. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Azyumardi Azra ketika menyampaikan ceramahnya dalam sesi Dialog di forum Rakornas Majelis Dikti PP Muhammadiyah yang berlangsung di Hotel Santika, Semarang (12/3).
Meskipun ukuran kuantitas dianggap perlu, namun kadar kualitas juga tidak kalah penting untuk ditingkatkan. Terlebih lagi, tuntutan dan tantangan kondisi sosial hari ini yang semakin pelik dengan masuknya masyarakat ke era ASEAN Community. Hal tersebut membuat wacana internasionalisasi PTM semakin kencang di dengungkan.
Menurut Prof. Azyumardi Azra, internasionalisasi sendiri harusnya diterjemahkan sebagai keunggulan, dimana keunggulan berarti menjadi center of excellent. Dengan menjadi center of excellent, PTM bisa diakui di tingkat dunia sesuai dengan kualifikasi internasional. Sementara dalam mencapai center of excellent sendiri dibutuhkan beberapa rumusan yang dijadikan langkah strategis. Ada beberapa aspek penting yang harus ditekankan dalam rumusan yang nantinya dijadikan program PTM tersebut, menurut Pro Azymardi Azra.
Pertama, aspek tridarma perguruan tinggi yang terdiri dari pengajaran, penelitian dan pengabdian. Dalam hal pengajran, sudah seharusnya PTM meningkatkan kualifikasi dosen. Sementara dalam ranah penelitian, Ilmu-ilmu aqliyah dan naqliyah menjadi prioritas dalam rangka misi membangun peradaban islam, selain mengarahkan penelitian untuk inovasi masyarakat dan pengembangan pemikiran melalui lembaga-lembaga otonom sebagai wadah penampungnya. Perlu disadari bahwa hingga hari ini, PTM sebagai transmisi pengetahuan belum sampai pada knowledge reproduction. Untuk menjadikan hal tersebut terwujud, maka PTM harus meningkatkan kualitas riset jadi bukan sekedar pengajaran. Terakhir, di ranah pengabdian, PTM seharusnya lebih mudah dalam mengakomodir pengabdian kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga sosial yang terstruktur di persyarikatan.
Kedua, aspek kelembagaan. Selain menambah jaringan di dalam dan luar negeri harus diperkuat, PTM harus menerapkan prinsip good corporate governance yang kredibel dan akuntabel. Manajemen kelembagaan yang tidak sehat, seperti adanya konflik internal di pimpinan PTM akan berdampak pada penurunan kualitas, karena bagaimanapun kebutuhan administrasi harus dipenuhi dengan baik.
Aspek yang terakhir dan tak kalah penting yakni distingsi. Bahwa, diharapkan masing-masing PTM memiliki distingsi, apa yang membedakan PTM satu dan yang lainnya. PTM harus mengembangkan satu spesialisasi atau ciri khasnya, dengan demikian masyarakat sendiri yang akan mencari. Universitas sekelas Harvard pun memiliki distingsi yang membuatnya didatangi banyak kalangan. Setelah distingsi, kolaborasi antara PTM satu dan yang lainnya penting untuk dikembangkan, karena tidak mungkin internasionalisasi tanpa berelasi.
Jika melihat struktur kelembagaan yang ada di persyarikatan, Muhammadiyah memiliki kapasitas untuk mengakomodir kebutuhan-kebutuhan diatas. Maka, tidak heran jika Prof Malik Fajar mengatakan bahwa PTM dapat menjadi bagian terdepan dalam pergerakan di persyarikatan. (Dewi Setya)