Kampung Fauzan

surau

Foto Istimewa

Cerpen: Mustofa W Hasyim

 erkampungan itu dulu merupakan kebun kosong. Letaknya di dekat selokan. Tanahnya rendah. Pada zaman kerajaan dulu kabarnya, tempat itu merupakan parit pertahanan yang memanjang mengelilingi kota. Setelah ibukota kerajaan pindah, tanah yang semula parit itu kemudian berubah kebun kosong, tidak jelas siapa yang punya. Paritnya mengecil menjadi selokan. Karena tanahnya rendah, setiap musim penghujan di beberapa tempat muncul mata air jernih, yang mengalir ke selokan itu, dan ikan-ikan dari sungai atau sawah banyak yang berenang naik masuk ke selokan itu. Dulu banyak anak-anak yang suka memancing pada musim hujan, ketika air selokan penuh dan banyak ikan dari bawah yang tersesat ke tempat itu. Tempatnya rimbun karena banyak pohon besar, bahkan di sebelah selatan sangat rimbun karena ada kebun salak yang kabarnya sangat angker. Anak-anak tidak ada yang berani memancing ikan sampai ke dekat kebun salak itu. Meski pohon salaknya berbuah lebat, tidak ada seorang anak pun yang berani mencuri buah salak yang besar-besar itu.

Sekarang kebun kosong itu telah hilang, demikian juga kebun salaknya. Di tempat itu berderet rumah-rumah sederhana, karena penghuninya juga termasuk orang-orang sederhana. Mereka semula adalah orang boro atau para perantau dari Gunungkidul, dari Purworejo, dari Kulonprogo, atau dari Klaten. Lama kelamaan mereka menetap di situ. Membangun rumah di kebun kosong dan menjadikan selokan panjang itu sebagai tempat untuk membuang limbah, sekaligus kakus panjang. Maka berbeda dengan dulu, selokan itu sekarang berbau sampah dan kotoran. Air jernihnya lenyap, diganti air kotor buangan dari rumah-rumah.

Pekerjaan orang-orang yang tinggal di bekas parit kerajaan itu macam-macam. Mereka ada yang dikenal sebagai wong pasar, atau yang bekerja di pasar. Mulai dari kuli, penjual makanan kecil, penjual sayur dan kalau malam ada beberapa perempuan dari tempat itu yang membantu warung-warung di pinggir pasar dan kabarnya sering dibawa pergi para lelaki iseng naik motor ke sebuah penginapan di dekat sungai. Ada juga penghuni tempat itu yang dikenal sebagai wong tukang. Mereka terkenal sebagai tukang batu atau tukang kayu yang terampil. Jika tidak ada pekerjaan, mereka pun sanggup menjadi tukang cat, tukang patri atau tukang bersih-bersih halaman rumah dan kebun. Ada juga yang menjadi tukang becak. Anak-anakmereka sekarang banyak yang menjadi tukang parkir, ada juga yang menjadi tukang sapu atau tukang sampah yang pekerjaannya membersihkan jalan-jalan di kota kecamatan itu, dan membersihkan lorong-lorong di kampung, mengangkut sampah yang sidah disiapkan oleh orang-orang kampung di dekat pintu rumahnya.

Ada kelompok lain yang tinggal di tempat itu yang dikenal sebagai wong buruh Kalau di tempat asalnya mereka bekerja sebagai buruh tani, maka di kota itu mereka bekerja sebagai buruh apa saja. Banyak yang bekerja sebagai buruh kerajinan. Kerajinan logam misalnya, yang terdiri dari kerajinan tembaga, kuningan, perak, emas, dan perunggu. Paling banyak mereka bekerja pada perusahaan kerajinan perak dan tembaga. Mereka yang bekerja pada kerajinan bukan logam juga banyak. Misalnya kerajinan kulit, kayu dan bamboo. Selain itu buruh yang bekerja di luar kerajinan, seperti di perusahaan konveksi, bordir, sablon, juga bekerja sebagai penjaga toko.

Terakhir, kelompok keempat yang membuat nama kampung itu menjadi kurang sedap adalah karena di kampung tersebut juga berdiam orang-orang yang disebut sebagai wong nakal. Sebagai kampung yang menempati tanah tidak jelas pemiliknya, dulu merupakan parit dan tempat buangan limbah dan tempat buangan sampah dan rumah-rumahnya cenderung kumuh maka hadirnya kelompok wong nakal ini seperti merupakan pelengkap atau bumbu penyedap saja. Selain wong nakal yang terdiri dari para perempuan muda yang merasa memiliki hak yang penuh, bebas dan otonom atas tubuhnya sendiri dan merasa berhak menjualnya kepada orang yang mau membelinya ketika mereka bekerja di warung-warung malam, kampung itu juga dikenal sebagai kampung yang sering dihuni oleh para maling, pencopet, pengutil, penjambret, pengedar obat bius, pengedar pil koplo, tukang ramal nomor, penjual totor gelap, juga pemeras alias gali yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membuat kericuhan dalam setiap pemilu dengan tujuan untuk mencoreng nama buruk bagi partai yang bukan milik pemerintah. Para wong nakal ini ada yang menetap, ada yang sementara saja tinggal di tempat itu. Biasanya mereka bersembunyi atau menghindar dari kejaran polisi, dan anehnya jika ada petugas yang menyusup ke tempat itu sering tidak dapat menemukan mereka. Karena ini sering terjadi maka di kota itu muncul rumor, bahwa kalau ada petugas yang masuk ke kampung itu, bukan untuk menangkap penjahat, tetapi mereka justru bernegosiasi atau berembug dengan baik-baik dengan wong nakal itu. Sebab kata orang Jawa, kalau ana rembug kan harus dirembug. Wong nakalnya aman, tidak ditangkap dan sang petugas pun mendapat uang yang biasanya masuk kantung pribadi atau dibagi-bagi dengan temannya. Lebih-lebih jika yang dikejar oleh petugas itu adalah pengedar obat bius, pil koplo atau pengedar totor gelap. Hampir dipastikan akan berakhir dengan aman dan damai karena petugas dan penjahat konon memang termasuk makhluk yang cinta damai sedamai-damainya.

Yang membuat kampung itu bertambah heboh dan legendaris bagi kota kecamatan itu adalah kehadiran beberapa orang yang berasal dari sebuah desa yang memiliki tradisi membuat mercon, ke kampung itu. Mereka pada bulan puasa kemudian mengembangkan kemampuannya. Mengajak para tetangga dan anak muda untuk membuat mercon. Bukan untuk dijual. Tetapi untuk diledakkan pada malam hari, di pinggir sawah atau di tengah lapangan. Mercon yang mereka buat tidak main-main. Mercon-mercon raksasa sebesar kaleng cat. Ketika disulut dan meledak maka suaranya pun berdebum seperti suara bom. Petugas yang menggrebek kampung itu tidak menemukan apa-apa sebagai barang bukti. Karena semua bahan mercon dan mercon yang sudah terlanjur dibuat kemudian disembunyikan di sebuah desa di luar kota itu.

Hidup di tengah-tengah wong pasar, wong tukang, wong buruh dan wong nakal tentunya tidak nyaman. Tetapi karena mereka telah terbiasa, akhirnya merasa tidak ada masalah. Meski mereka hidup keras, tetapi dalam melangsungkan hubungan antarsesama mereka justru mampu menunjukkan kekompakan. Juga kelembutan. Terbukti, di kampung itu telah lahir kelompok keroncong dan kelompok campursari. Penyanyi perempuannya mampu berdandan cantik, dan suaranya sering membuat gemas pendengarnya. Dua kelompok musik ini setelah muncul pertama kali dalam sebuah festival kesenian, kemudian menjadi terkenal dan banyak menerima pesanan untuk tampil di berbagai tempat. Tentunya, karena anggotanya terdiri dari jenis manusia yang cenderung bebas maka hadirnya dua kelompok musik itu tak urung juga dibumbui dengan berbagai kasus atau skandal yang asyik-asyik, menyangkut para perempuan yang menjadi penyanyi, dengan para pemain musik, atau antara penyanyinya dengan pihak yang memesannya untuk tampil. Yang biasanya dari kalangan pejabat atau pengusaha kelas atas. Sebab tak jarang yang dipesan bukan saja penampilan musiknya, tetapi juga tubuh para penyanyinya. Semua dipesan dalam satu paket, dengan harga yang tinggi. Ini yang sering merepotkan kelompok musik itu. Sebab kalau mereka menolak adanya pemesanan tubuh, berarti pemesanan untuk tampil juga otomatis akan dibatalkan. Akhirnya mereka terpaksa kompromi.

Adanya kasus dan skandal seperti itu tentu saja membuat nama kampung itu bertambah buram. “Dasar kampung sampah, maka penghuninya pun manusia sampah,” demikian komentar seorang tokoh masyarakat yang dikenal sebagai orang yang bersih dari hal-hal yang berbau mesum.

“Tapi kita harus mengubahnya. Sebab kalau dibiarkan lama kelamaan akan semakin parah,” sahut tokoh lain yang di masa mudanya pernah aktif di sebuah LSM.

“Tapi bagaimana mengubahnya?”

“Kita pergunakan strategi penyusupan.”

“Maksudmu?”

“Kita cari seorang anak muda di kampung itu, yang masih bersih, kemudian kita bina dan kita persiapkan menjadi tokoh peruntis untuk mengubah kampung itu.”

“Tapi itu butuh biaya banyak”

“Itu nanti kita pikirkan. Sebab sebenarnya kalau kita mampu mengembangkan potensi ekonomi anak muda, dia sendiri pasti nantinya mampu untuk membiayai kegiatannya.”

Dua tokoh it uterus berembug sampai akhirnya diputuskan untuk memilih salah satu anak muda dari kampung itu. Dicari yang masih murni. Kalau bisa pendidikannya tidak teramat rendah. Dia kemudian dititipkan kepada salah seorang juragan yang terkenal alim, agar belajar berusaha. Nanti kalau berhasil pasti dia akan mampu mengubah kampungnya. Kalau perlu nanti dia dicarikan jodoh anak perempuan baik-baik yang lumayan cantiknya sehingga dapat mendampingi suaminya dalam bekerja untuk membersihkan nama kampung itu.

Ketemulah Fauzan. Ia anak abdi dalem secara rutin mendapat tugas menjaga makam milik kerajaan. Di waktu luangnya dari bertugas sebagai abdi dalem, ayah Fauzan menjadi buruh menjahit kathok klambi, kadang jika dalam sebuah kenduri Pak Kaum berhalangan hadir, dia yang menggantikan tugasnya memimpin doa. Kabarnya ayah Fauzan memang berasal dari sebuah desa di selatan sana yang terkenal sebagai desa santri.

Fauzan sendiri pernah masuk sekolah guru agama tetapi tidak sampai lulus. Sebab waktu ujian negara dimintai uang banyak dan orangtuanya menyatakan tidak sanggup membayar uang ujian itu. Setelah itu dia berpindah-pindah kerja. Kadang membantu ayahnya ikut menjadi buruh jahit, kadang membantu ibunya menjual wedang ronde di pasar pada waktu malam hari. Kadang ikut bekas teman sekolahnya mengawal dagangan berupa barang-barang kerajinan yang terbuat dari kuningan ke Jakarta atau Surabaya. Kemudian ia bekerja secara menetap sebagai buruh di perusahaan kerajinan kuningan.

Perusahaan itu cukup maju, sebab juragannya mampu menyerap dan mencuri ilmu mengembangkan kerajinan kuningan dari seorang juragan di Juwana. Di sana banyak perusahaan kuningan yang menggabungkan sistem cor dengan sistem ukir digabung lagi dengan sistem bubut. Penggabungan berbagai proses itulah yang kemudian ditiru oleh perusahaan tempat Fauzan bekerja.

Suatu malam Fauzan diundang oleh tokoh masyarakat yang dulu pernah lama mengabdi di LSM. Ia mendapat banyak wejangan dan nasihat. Kemudian mendapat tugas penting. Membersihkan nama kampungnya.

“Saya percaya padamu, Nak,” kata tokoh masyarakat itu.

Fauzan mengangguk. Medengar wejangan tokoh tadi barulah ia sadar kalau kampungnya memang banyak bermasalah. Termasuk masalah skandal yang akhir-akhir ini cenderung meningkat jumlahnya. Ia baru sadar kalau berjenis-jenis penghuni kampungnya itu hadir menambah rumitnya masalah. Sebab antara wong pasar, wong tukang, wong buruh dan wong nakal sering terjadi keributan. Pertengkaran dan ketegangan. Mulai yang berupa bisik-bisik, sampai sindir menyindir bahkan sampai dalam bentuk saling memaki dan adu fisik.

“Baik Pak, saya akan berusaha,” katanya.

Mulai hari itu selain bekerja Fauzan mulai memperhatikan kampungnya. Ia mulai memilih-milih orang, anak muda atau anak-anak yang dapat diajak bekerjasama untuk memperbaiki kampungnya. Ternyata hampir semua tetangga malah melecehkan maksudnya. Menyebut dia mengada-ada atau kurang gawean, kurang kerjaan, begitu gerutu mereka. Hidup memikir bebannya sendiri-sendiri sudah rumit dan berat, kok malah disuruh memikirkan nasib kampung segala. Hanya ada dua orang dan tiga anak-anak yang menyetujui maksudnya. Yang pertama adalah seorang tua, pensiunan pegawai kereta api, lalu ada anak muda yang masih kuliah di sebuah akademi, dan tiga anak-anak itu kebetulan anak Pakdenya dan adiknya sendiri. Lantas apa yang harus diperbuat dengan modal manusia sesedikit itu?

Fauzan memilih mendirikan pengajian anak-anak di emper rumahnya. Yang mau mengaji mula-mula tiga anak, tetapi seminggu kemudian bertambah menjadi tujuh anak dan seminggu berikutnya lagi bertambah menjadi dua belas anak. Empernya menjadi ramai, tikar yang biasa ia pakai untuk tidur terpaksa digelar di emper. Setelah gajian ia pun membeli tikar baru lagi. Juga bangku-bangku rendah dan beberapa set buku untuk mempelajari huruf kitab suci. Ayahnya setuju dengan langkah itu. Bahkan ketika keluarga di desa membagi warisan, uang hasil dari penjualan tanah warisan itu ia serahkan kepada Fauzan. Fauzan gembira bukan main. Ia pergi ke tokoh masyarakat yang dulu menyuruhnya memperbaiki kampung itu dan mengutarakan niatnya untuk membangun sebuah surau di halaman rumahnya. Ia mengatakan sudah punya uang. Gabungan dari tabungannya selama ini bekerja, ditambah dengan uang dari hasil penjualan tanah warisan di desa. Tokoh masyarakat itu setuju.

Diam-diam Fauzan pun membangun sebuah surau mungil di halaman rumahnya. Ia pun merencanakan membeli alat pengeras suara, karpet, kipas angin, dan almari serta rak untuk buku-buku. Kepala Fauzan berbunga-bunga oleh bayangan indah. Sebab selama sekolah guru dulu ia memang pernah bercita-cita untuk mengajar anak-anak. Tetapi karena tidak punya ijazah ia pun tidak dapat menjadi guru. Guru pengajian anak-anak tidak apalah, begitu pikirnya.

Surau telah berdiri di tengah kampung yang dulu dikenal sebagai kampung sampah. Diresmikan oleh tokoh masyarakat dengan sebuah pengajian yang dihibur dengan musik campursari tetapi khusus memainkan lagu-lagu kasidah campursari. Fauzan sangat berbahagia, ayahnya menangis, dan ibunya menciumi berkali-kali. Hanya sayang, malam itu Fauzan tidak dapat mengundang juragannya, sebab dia sedang pergi ke Jepang.

Pengajian anak-anak makin ramai, bahkan kemudian diikuti dengan pengajian remaja. Lalu para ibu-ibu dan bapak-bapak pun tidak mau kalah. Jadi hampir setiap malam dan sore surau itu selalu ramai dengan kegiatan. Dalam waktu dua minggu nama kampung itu langsung harum. Banyak warga kota yang terheran-heran melihat di kampung itu bisa didirikan sebuah surau, sebagaimana dulu di sebuah kampung seberang sungai yang dikenal sebagai kampung maling, kampung penjudi dan kampugn mesum pun kemudian ada masjidnya.

Juragan Fauzan pulang dari Jepang tiga minggu setelah surau itu diresmikan. Ia pun heran dan iri mendengar nama buruhnya disebut-sebut oleh hampir semua penduduk kota sebagai anak muda yang berhasil membersihkan nama kampungnya.

Fauzan ia panggil. Tanpa menduga apa-apa, Fauzan menghadap.

“Ada apa Pak?” tanyanya.

“Kau memang kurang ajar.”

“Lho?”

“Berani-beraninya kau sebagai buruh melangkahi juraganmu. Berani-beraninya kau sebagai buruh mendahului juraganmu untuk berbuat baik Ya. Apa kau sangka saya tidak punya rencana untuk membangun surau, bahkan masjid di kampungmu yang kumuh itu? Apa kau sangka saya tidak punya uang untuk membangun sepuluh surau yang lebih besar dan lebih baik dari suraumu?”

“Kalau begitu silakan membangun di tempat lain Pak. Saya kira masih banyak yang membutuhkannya,” sahut Fauzan keheranan.

“Yang saya mau kampungmu. Kampung buthek itu. Itu kan kampung paling dekat dengan rumahku ini. Tahu!”

“Lantas baiknya bagaimana Juragan?”

“Kau telah berbuat kesalahan. Dengan ,mendahului mendirikan surau, apalagi diam-diam tanpa bilang pada saya, berarti kau sebagai buruh telah menghina saya sebagai juraganmu. Kau harus kuhukum agar nama saya tidak tercemar.”

“Maksud juragan?”

“Kau kupecat. Kau harus keluar dari perusahaan ini. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Sebab kau telah sombong, merasa bisa menandingi juraganmu dalam berbuat baik di masyarakat. Saya tidak suka itu.”

Juragan itu menggebrak meja, Fauzan pun seperti terlonjak. Lalu pelan-pelan keluar dari rumah juragannya. Sepanjang jalan pulang ia pun masih belum mengerti kenapa juragannya marah besar bahkan sampai memecatnya, hanya gara-gara ia membuat surau di halaman rumahnya sendiri.

Sekarang Fauzan menggantikan ibunya berjualan ronde di pasar. Suraunya tetap ramai. Setiap disinggung atau ditanyakan tentang kelakuan juragan kerajinan kuningan yang iri hati sampai tega memecatnya, ia selalu tidak mau berkomentar.

“Silakan tanya yang lain saja mas. Atau silakan cicipi ronde saya, dan makanlah tahu bacem yang gemuk-gemuk ini, pakai lombok merah. Enak lho mas,” begitu katanya ketika suatu malam aku mencoba mengungkit-ungkit masalah itu.

 

Exit mobile version