Waktu itu di Mina. Nabi menunaikan ibadah haji yang pertama kali, sekaligus yang terakhir. Baginda Rasul memang hanya sekali menunaikan rukun Islam yang kelima itu dalam sejarah hidup beliau. Pada saat itu Nabi bersama kaum Muslimun sedang melakukan prosesi jamarat.
Nabi kala itu berada di atas unta, kendaraan sehari-hari beliau. Nabi meminta Abdullah Ibn Abbas untuk mengambilkan kerikil untuk melempar jamarat, “ambillah beberapa buah batu untukku.” Abdullah segera mengambil tujuh buah batu kecil untuk beliau. Lalu, beliau memberi contoh bagaimana melempar jamarat yang benar dan baik.
Saat lempar jamarat itulah Nabi bersabda, “Ya ayyuha al-nasu iyakum wa al-ghuluwwa fi al-din, fa-innahu ahlaka man kana qablakum al-ghuluwwu fi al-din”. Artinya, “wahai sekalian manusia, jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam agama, sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap berlebihan dalam agama.” (HR An-Nasai, Ahmad, dan Ibn Majah).
Jika lihat konteksnya, boleh jadi Nabi mengajari para sahabat dan umat Islam agar melempar jamarat dengan tidak berlebihan dan tidak disertai nafsu. Dari kasus jamarat itulah baginda Nabi memberi pesan agar umat Islam tidak boleh ghuluw atau ekstrem dalam beragama.
Ghuluw ialah sikap ekstrem dalam beragama melebihi apa yang dikehendaki oleh ajaran Islam. Baik ekstrem dalam hal beraqidah dan beribadah maupun dalam bersikap dan bermuamalah. Dalam beragama saja dilarang berlebih-lebihan atau melampaui batas, tentu saja dalam sikap dan tindakan sehari-hari setiap Muslim atau orang beragama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang umat beriman bersikap ghuluw, katakanlah: “Katakanlah hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus” (Qs Al-Maidah: 77). Pada ayat lain, Allah berfirman yang artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs Al-Baqarah: 190).
Bukan hanya dalam beragama, tetapi dalam berbuat kebaikan sekalipun tidak boleh melampaui yang semestinya. Seperti dalam memberi, tidak boleh boros tetapi juga jangan kikir, harus berada di antaranya (Qs Furqan: 67). Inilah yang disebut sikap tengahan atau tawasuth, sebagai lawan dari ghuluw atau ekstrem. Orang diajari untuk moderat, dengan tetap yakin atas agamanya, tetapi menghargai dan toleran terhadap orang lain yang berbeda.
Kini banyak orang terjebak sikap ekstrem. Mereka yang beragama, karena fanatiknya yang berlebihan, memusuhi yang lain. Terjadi perebutan paham, yang berujung perebutan kepentingan hidup. Ada yang merasa paling berislam atau paling suci dalam beragama, yang lain dianggap tidak Islami. Lalu, terjadilah konflik atau persengketaan atasnama agama. Ada yang saling kafir mengkafirkan atau tafkiri, hingga terlibat bentrokan fisik dan kekerasan.
Kalangan sekuler juga sering tak kalah ekstrem. Donald Trump, salah satu calon Presiden Amerika Serikat, beberapa kali meniupkan trompet permusuhan dan sikap ekstrem terhadap umat Islam. Trump melarang Muslim masuk di negeri Amerika Serikat. Dia mengidap Islamofobia, ketakutan yang berlebihan terhadap Islam dan umat Islam. Dia tampak arogan. Di sejumlah negara Eropa masih tumbuh sikap ekstrem yang memusuhi Islam seperti itu.
Sikap ekstrem memang bertumbuh di mana saja, bukan milik satu golongan. Maka, umat Muslim semestinya menjadi penyebar risalah Islam yang damai dan tengahan!• A. Nuha