Kab.Kupang–Pagi tadi, Bapak Mustain, Ketua PW Muhammadiyah Kupang telah membuka seminar tata kelola perbatasan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada pun temanya adalah “Mencari Format Pengelolaan Perbatasan dalam rangka Menciptakan Kondisi yang Aman dan Kondusif di Kabupaten Kupang”.
Ketua PWPM NTT Amin Tahir mengatakan bahwa daerah perbatasan RI-RDTL di Desa Nunuana, Netemnanu Selatan, Netemnanu Utara, serta kawasan Pulau Batek, Kecamatan Anfoang Timur, Kabupaten Kupang kondisinya masih sangat terisolir. Tingkat aksesibilitas, derajat pendidikan, kesehatan, dan tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di wilayah tersebut yang tergolong rendah.
Kajian PWPM yang dirangkai dalam seminar yang dihadiri lebih dari seratus peserta dari unsur Pemerintahan dan masyarakat ini dimaksudkan untuk mengajak lebih banyak pihak untuk mencari solusi penyelesaian permasalahan masyarakat perbatasan Kabupaten Kupang-RDTL itu.
Menurut Tahir, kurangnya akses Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah ke kawasan perbatasan tiga desa di Kecamatan Amfoang Timur dapat berdampak masuknya ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis yang mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kurangnya perhatian pemerintah tersebut juga, kata dia, akan menyebabkan ketergantungan masyarakat di wilayah perbatasan kepada perekonomian negara tetangga. Sehingga, akan menimbulkan kerawanan di bidang politik dan mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat. Selain itu, akan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan menurunnya rasa nasionalisme serta menurunkan harkat dan martabat bangsa.
“Untuk itu diharapkan hasil seminar nantinya dapat merekomendasikan solusi pemecahan permasalahan yang dihadapi masyarakat perbatasan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten,” katanya.
Sekretaris Umum PWPM NTT Sadikun Karabi mengatakan, pengambilan lokasi objek kajian berada di wilayah perbatasan di Kabupaten Kupang, karena wilayah perbatasan yang berada di Kabupaten Kupang ini sangat dekat dengan ibu kota Provinsi NTT, yang seharusnya perlu mendapat perhatian serius.
Ketua Bidang Bidang Hubungan Luar Negeri PWPM NTT Suahrdi Anas mengatakan, hasil kajian PWPM NTT di daerah perbatasan RI-RDTL di Kabupaten Kupang belum tersentuh secara maksimal.
Ia mencontohkan, ruas jalan provinsi sepanjang 201 kilometer menuju kawasan perbatasan di Amfoang Timur dari Oelmasi sebagai ibu kota Kabuapten Kupang ke Nikliu dan Oepoli dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain jalan, sepanjang ruas jalan tersebut terdapat 81 kali (anak sungai). Namun, baru sekitar 47 buah jembatan, sementara 34 kali belum ada jembatan. Dari 47 jembatan tersebut 35 di antaranya dalam keadaan rusak berat, sehingga akses ke wilayah perbatasan sangat sulit.
Ketua Panitia Seminar Bakri Abubakar menambahkan, kegiatan seminar ini diikuti peserta dari Kesbangpol Kabupten Kupang, Badan Perbatasan Kabupaten Kupang, Kodim 1604/Kupang, Polres Kupang, Lanud El Tari Kupang, Lantamal Kupang, tokoh masyarakat dan tokoh adat dari Amfoang Timur, Kupang Tengah, tokoh agama, serta pimpinan organisasi kemahasiswaan tingkat provinsi maupun kabupaten.
Peneliti perbatasan NTT asal UMY, Drs Suswanta, Msi yang juga berada di lokasi seminar di Kupang, memiliki pendapat menarik, mengomentari pemaparan beberapa narasumber. Menurutnya, ada pembiaran negara baik pusat, propinsi maupun Kabupaten Kupang terkait beragam situasi sulit yang menimpa warga Negara Indonesia di perbatasan.
“WNI yang punya sertifikat tanah tak boleh mengelola sawah sementara warga Timor Leste diperbolehkan karena WNI harus taat kesepakatan yang dibuat pusat dgn RDTL. Inikan menjadikan WNI menderita sementara akses sumber kesejahteraan tidak dibuka,” pungkas Suswanta.
David Efendi yang juga peneliti perbatasan menambahkan, “Situasi sulit yang menyebabkan rasa tidak percaya Kepada pemerintah Indonesia ini kalau dibiarkan bisa menimbulkan ketidakpuasan WNI. Ini bisa berujung pada hijrahnya WNI menjadi warga Timor Leste karena negara Indonesia abai akan hak-hak sipil rakyatnya sendiri.”
Keadaam ini sudah mendesak untuk diatasi mengingat tidak Adanya progress pembangunan daerah ini sejak Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia. (ed-Th)