Netralitas Muhammadiyah Dalam Politik

Menangkap Makna Lambang Muhammadiyah

Warga Muhammadiyah Foto Istimewa/SM

Oleh : Imron Nasri

Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, tentu saja keberadaan Muhammadiyah ditengah kancah kehidupan berbangsa dan bernegara cukup diperhitungkan. Apalagi Muhammadiyah mempunyai anggota mencapai 30 juta orang. Secara politis, angka 30 juta itu sangat strategis. Apalagi kalau kita lihat, relasi Muhammadiyah dan politik memiliki akar sejarah yang panjang.

Dalam pandangan Syarifuddin Jurdi, akar geneologisnya dapat ditarik ke belakang yakni sejak kelahiran gerakan ini pada 1912 atau bahkan sebelumnya, apabila dikaitkan dengan aktivitas pendirinya KH Ahmad Dahlan dalam berbagai kegiatan sosial keagamaan sebelum tahun 1912. Dalam perkembangannya, relasinya dengan politik banyak ditentukan oleh konteks sosio-kultural dan politik yang dihadapinya, sehingga memberikan respons terhadap proses perubahan politik dan terlibat aktif di dalamnya. Dalam hal tertentu, Muhammadiyah telah menjadi bagian integral dari sejarah politik Indonesia, meski tidak seluruh aktivitasnya dihabiskan dalam politik.

Muhammadiyah menganut prinsip netral dalam politik dan para anggotanya diberi kebebasan untuk memilih gerakan politik yang sesuai dengan kecenderungannya. Prinsip ini telah diputuskan dalam Kongres di Surakarta pada 1929 bahwa “Muhammadiyah tidak mengutamakan salah satu partai politik Indonesia dan melebihkan partai lainnya; dalam hal ini, Muhammadiyah menghormati partai-partai itu secara sepadan, namun Muhammadiyah sendiri akan mengutamakan peran serta dalam melaksanakan kewajiban tertentu untuk mempertahankan keselamatan tanah air Indonesia.”

Sejak berdiri pada 1912, menurut Syarifuddin Jurdi,  Muhammadiyah telah menunjukkan partisipasi politiknya dalam kehidupan kenegaraan. Partisipasi politik tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk merebut kekuasaan, tetapi memiliki makna yang luas bagi upaya gerakan ini dalam menggarap bidang sosial kemasyarakatan. Dengan dasar tersebut, Muhammadiyah terlibat dalam dinamika politik. Keterlibatan itu memiliki kaitan langsung dengan orientasinya pada lapangan sosial yang digarapnya.

Ketika pemerintah Hindia Nederland mengambil kebijakan diskriminatif terhadap Islam, Muhammadiyah merespons secara kritis dengan tetap mengedepankan sikap moderat. Muhammadiyah memberikan reaksi keras terhadap kebijakan pemerintah yang membiarkan kegiatan misi Katholik dan zending Protestan melakukan kegiatan di hampir seluruh wilayah kekuasaan pemerintah dan juga terhadap kebijakan memberikan subsidi yang tidak proporsional antara sekolah Kristen dengan sekolah-sekolah yang dikelola pribumi dan muslim. Dalam sejarahnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan yang kontras dengan sikap umat Islam lain, terutama dalam soal menerima subsidi pemerintah untuk sekolah-sekolah yang dikelolanya. Ketika SI dan Taman Siswa menolak subsidi, sikap menerima subsidi disebut “a-nasionalis”.

Sikap kooperatif dan akomodatif terhadap pemerintah ditandai dengan kesediaan Muhammadiyah menerima subsidi untuk sekolah-sekolah yang dikelolanya. Atas sikap ini, Muhammadiyah dituduh oleh sesama gerakan Islam dan kebangsaan sebagai sikap yang a-nasionalis atau bahkan anti-nasionalis.

Muhammadiyah berkeyakinan bahwa misi besar untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya diperlukan aliansi dengan berbagai kalangan termasuk pemerintah. Hal ini penting, mengingat aktivisme sosialnya bergantung pada regulasi dan kebijakan pemerintah. Sikap ini berbeda dengan sikap umum kalangan SI yang anti-pemerintah dan menentang sikap kooperatif Muhammadiyah.

Sejak kemelut dan berakhir hubungannya dengan SI, Muhammadiyah mulai menerapkan sikap netral terhadap politik. Bagaimanapun, sikap netral ini dalam perkembangannya mengalami dialektika, terutama ketika iklim politik memungkinkan bagi keterlibatan gerakan Islam tentu peluang tersebut dimanfaatkan sebagai dakwah. Ketika mengambil sikap netral terhadap politik, gerakan ini memainkan peran-peran politiknya melalui lobi-lobi kepada pemerintah dan kekuatan politik. Aktivisme politik diperlukan untuk mempermudah kerja dakwahnya. Bagaimanapun, Muhammadiyah berhasil dalam menjalankan aktivitas sosial kemasyarakatan. Namun, apabila negara (pemerintah) membuat regulasi yang membatasi kiprah dan bahkan mengkooptasi aktivismenya, tentu hal ini tidak banyak memberikan manfaat bagi kepentingan Muhammadiyah.

Pendirian netral terhadap politik dengan tidak mengistimewakan atau melebihkan partai tertentu dan mengabaikan yang lain, sembari memberi kebebasan kepada setiap warganya untuk terlibat ataupun tidak dalam politik kepartaian merupakan sikap moderat Muhammadiyah. Gerakan ini menghormati partai-partai yang ada secara wajar dan sepadan. Muhammadiyah sendiri akan terus mengembangkan peran sertanya dalam melaksanakan kewajiban tertentu untuk mempertahankan keselamatan tanah air Indonesia.

Strategi sosio-kultural yang dipilih Muhammadiyah dianggap sudah tepat untuk menjaga organisasi dari pengaruh-pengaruh partai politik. Namun, orientasi sosio-kultural semata, dalam konteks perubahan politik dan relasi-relasi lembaga kenegaraan yang semakin baik, kurang strategis, sehingga partisipasi politik Muhammadiyah dalam memengaruhi proses politik tidak akan memadai. Prinsip netral partai yang dipilih Muhammadiyah, khususnya pada masa otoriter, dianggap tepat. Namun, sikap tersebut belum tentu strategis dalam periode politik yang lebih demokratis.

Sesuai kecenderungan perubahan, kelompok-kelompok kepentingan lebih mementingkan aspirasi kelompoknya daripada memikirkan dan mengakomodasi aspirasi kelompok lain, tidak sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat. Akibatnya, sikap netral terhadap politik menjadi kurang strategis. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa pada masa sistem demokrasi liberal-parlementer 1950-an sikap netral partai bagi ormas-ormas Islam tidak ditemukan, hampir semua ormas Islam berafiliasi ke salah satu partai (NU menjadi partai sendiri), sementara Muhammadiyah memperjuangkan aspirasinya melalui Masyumi.

Usaha Muhammadiyah tetap menjaga identitasnya sebagai gerakan sosio-kultural dan ingin menjadi tenda bangsa sudah tepat karena, dengan cara itu, organisasi ini dapat memperkuat identitasnya sebagai kekuatan civil society, mesti tetap perlu juga memikirkan alternatif partisipasi politik yang signifikan dalam proses politik Indonesia.***

Exit mobile version