Masih sekitar tahun 1960-an. Suatu hari Pak AR didatangi sejumlah mahasiswa yang tinggal (kost) di lembah sungai Code. Setelah bincang sana-sini Pak AR menanyakan maksud kedatangannya. “Apa maksud saudara?”. Tanya Pak AR. Kata salah seorang di antara mereka. “Wah susah Pak AR, setiap Minggu sore kampung kita kedatangan Pastur. Dia mengajarkan agama mereka, banyak anak-anak yang tertarik”
“Pastur itu pandai sekali menarik anak-anak, sehingga anak-anak senang berkumpul mendengarkan ceramahnya” kata mahasiswa yang lain. “Lalu saudara-saudara bagaimana?”. “Ya, harus bagaimana, karena Pastur itu sangat pinter menarik anak-anak, kadang-kadang bawa permen, kadang-kadang bawa buku tulis, dll.” Kata mahasiswa yang lain lagi. “Jadi sudara-saudara sudah melakukan apa?” tanya Pak AR lagi.
“Ya belum bisa melakukan apa-apa” kata salah seorang di antara mahasiswa itu.
“Kalau begitu saya ingin tanya” kata Pak AR.
“Ada yang bisa nyanyi?” tanya beliau lebih lanjut.
“Ya kalau nyanyi untuk sendiri bisa” jawab salah seorang mahasiswa.
“ Bisa main gitar? Punya gitar?” tanya Pak AR.
“Bisa, punya” jawab mahasiswa tadi.
Kemudian Pak AR meneruskan pertanyaaannya, “Ada yang bisa membuat mainan dari kertas?”. “Seperti burung kertas, pesawat terbang kertas, kupu-kupu kertas? “ tanya salah seorang diantara mahasiswa.
“Ya” jawab Pak AR. Ada yang bisa mengajar berhitung untuk SD, ada yang bisa ngaji?, ada yang bisa ndongeng?” tanya Pak AR lebih lanjut. “Ada” jawab beberapa mahasiswa itu. “Nah sekarang begini” kata Pak AR. “Setiap Minggu sore biar diisi oleh Romo Pastur.
Setiap Senin sore saudara yang bisa membuat mainan kertas mengajari bermain-main dengan kertas. Selasa sore yang bisa mengajar berhitung, mengajar berhitung. Rabu sore, saudara yang bisa mengajar menyanyi mengajar menyanyi sambil mengajari bermain gitar. Kamis sore, yang bisa ngajar mengaji, mengajari mengaji. Jum’at sore, yang bisa ndongeng, mendongeng. Sabtu sore, supaya diberi pelajaran bahasa Indonesia atau sejarah atau apa terserah saudara.
Saya nanti memberi permen dan mencarikan buku. Besuk salah seorang saudara kemari untuk ambil permen dan buku tulis, dan minggu depan mulai dilaksanakan” kata Pak AR.
Kemudian Pak AR mengajarkan dua buah nyanyian kepada mahasiswa yang akan mengajar menyanyi. Ke dua nyanyian itu adalah yang satu lagu ‘Topi Saya Bundar’ tapi syairnya diubah menjadi ‘Tuhan saya satu, Satu Tuhan saya. Kalau tidak satu. Bukan Tuhan saya”. Nyanyian yang satu lagi adalah ‘Tuhan Allah satu. Tak berbapak ibu. Tak beranak dan tak bersekutu. Tuhan Maha Esa. Tak ada bandingnya. Tak bercucu dari suatu apa. Seandainya Tuhan itu dua, dunia sungguh sudah binasa’.
Setelah berjalan sebulan, para mahasiswa itu datang lagi dan menyatakan kalau Romo Pastur sudah tidak datang lagi. “Ya, tapi kamu juga jangan terus berhenti. Pengajiannya, terus, dongengnya terus, pelajaran berhitung, bahasa Indonesia dan sejarah juga terus” kata Pak AR sambil tersenyum.