Oleh; Imron Nasri
Sejarah kelahiran Muhammadiyah paling tidak didasari oleh dua faktor. Faktor subyektif dan faktor obyektif. Faktor subyektif yang sangat kuat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalam KH Ahmad Dahlan terhadap Al-Qur’an baik dalam hal gemar membaca maupun menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Ia telaah sedemikian teliti, dipertanyakan kalau ada sebab-sebab yang menjadikan sesuatu ayat diturunkan, ditanyakan apakah yang mesti dilakukan. Sikap KH Ahmad Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah, sebagaimana yang tersimpul dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24, yaitu melakukan tadabbur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat.
Sikap seperti itu pula yang dilakukan KH Ahmad Dahlan, ketika menatap surat Ali Imran ayat 104: “Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Memahami seruan ayat di atas, KH Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berhidmat melaksanakan misi dakwah Islam amar makruf nahi munkar, di tengah-tengah masyarakat luas.
Dalam usianya yang sudah satu abad ini, sejauhmana peran Muhammadiyah dalam menciptakan dan melahirkan ulul albab-ulul albab, sebagaimana yang dicita-citakan pendirinya. Apakah peran yang bisa dimainkan umat Islam (baca: Muhammadiyah) di milenium baru, atau minimal di abad baru ini? Apakah masih memiliki tempat di bawah matahari bumi ini. Ataukah masih bercokol di “buritan kafilah” sebagaimana sekarang ini. Di mana kita hanya mengkonsumsi tanpa pernah bisa memproduksi, mengimpor tanpa pernah membuat sendiri, menerima tanpa pernah mengirim, dan meniru tanpa pernah berinovasi? Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa peradaban adalah siklus, dan waktu akan terus bergulir. Perubahan merupakan keniscayaan dan tetapnya keadaan adalah sesuatu yang mustahil. Itulah hukum perputaran kosmos yang permanen, sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Obor peradaban pernah dipegang oleh Timur pada masa Mesir Kuno, Venessia, Babilonia, dan Persia. Kemudian obor itu berpindah ke Barat pada masa Yunani dan Romawi. Lalu kembali lagi ke Timur pada masa peradaban Islam Arab. Namun ketika kaum Muslimin mengalami stagnasi dan keterbelakangan yang disebabkan oleh kesalahannya dalam memahami agama dan aplikasinya, obor peradaban pun dengan cepat berpindah ke Barat dan mereka langsung menguasai kendali dunia hingga sekarang. Sekarang ini, Barat hampir-hampir dipersonifikasi oleh Amerika, sebagai adikuasa terbesar, bahkan satu-satunya di dunia. Amerika ingin memaksakan kehendaknya untuk menguasai peradaba, ekonomi, dan politik dunia dengan kemasan “globalisasi”, padahal yang sebenarnya adalah “Amerikanisasi”.
Sunnatullah (hukum alam) dan logika historis menyatakan bahwa siklus peradaban pada masa datang akan berada di tangan kita, kaum Muslimin. Sebagai konsekuensi “benturan peradaban” yang sering dibicarakan oleh Samuel Huntington, yang disandarkan pada teori “yang bertahan adalah yang berkualitas” bukan yang paling kuat. Teori “yang bertahan adalah yang paling kuat” merupakan hukum rimba, sedangkan teori “yang bertahan adalah yang paling berkualitas” merupakan hukum manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa Uni Soviet pernah menjadi adi kuasa dunia yang amat dahsyat. Mereka mempunyai pangkalan militer raksasa yang menyimpan senjata-senjata atom dan penghancur, di samping pasukan perang yang besar, terlatih, dan siap tempur. Meskipun demikian, kekuatan angkatan bersenjata ini tidak berguna sama sekali. Bangunan besar inipun akhirnya hancur luluh. Hal ini disebabkan karena bangunannya ditegakkan di tepi jurang yang rapuh. Sehingga, ia pun longsor bersama penghuninya. Sebuah bangsa adikuasa tidak bisa abadi hanya dengan kekuatan senjata. Ia hanya akan abadi jika dibarengi dengan kekuatan spiritual.
Tantangan besar yang kita hadapi adalah tantangan globalisasi, yang kini tengah bergulir dan gencar-gencarnya dipromosikan oleh Amerika. Di Timur dan Barat, semua orang memperbincangkan segala hal yang berasal dari Amerika, baik berupa produk teknologi maupun pemikiran. Banyak orang bertanya, “Bagaimana sikap kita menghadapi globalisasi yang kini tengah bergulir di seluruh dunia?” Realitasnya, memang kita tidak bisa lari dari globalisasi ini. Tampaknya, ia telah menjadi takdir yang mengikat kita di tahap ini. Kita tidak mungkin bisa menolak atau lari dari kepungan dan tekanannya. Namun demikian, kita juga tidak bisa menerimanya begitu saja dengan apa adanya, menyerah dengan mengangguk-anggukan kepala sembari berucap, “sami’na wa atha’na.”
Sikap yang paling tepat buat kita adalah sikap moderat, yakni sikap yang berusaha untuk mengambil manfaat hal-hal positif dari globalisasi dan inklusivitasnya, sekaligus berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi hal-hal negatifnya —baik material maupun spiritual, dengan membentengi iman kita. Percaya kepada diri sendiri, bekerja sekuat tenaga untuk mengembangkan kemampuan kita, dan senantiasa memperbaiki kinerja kita. Sehingga menjadikan hari ini lebih baik daripada kemarin. Dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Artinya, kita harus mengembangkan ilmu pengetahuan, kinerja, sumber daya alam, pertanian, perindustrian, dan manajemen kita.
Dinamika sejarah dan peradaban baru pada era globalisasi dewasa ini membawa beberapa tantangan bagi Muhammadiyah dan gerakan sosial-keagamaan lain di Indonesia. Pertama, proses sekulerisasi yang masih berlangsung dan menjadi salah satu arus utama peradaban manusia. Proses ini membawa tantangan terhadap kehidupan keagamaan melalui penetrasi nilai-nilai sekuler. Sebagai akibatnya, terjadi pendangkalan spiritualitas dan sebaliknya menyuburkan benih materialisme, individualisme dan hedonisme. Dalam hal ini dakwah keagamaan akan terlibat dalam pertarungan sengit dengan propaganda sekulerisme. Kedua, proses modernisasi yang juga masih terus berlangsung dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dengan penerapan manajemen modern dan bahkan ultramodern dalam pengorganisasian kegiatan.
Ketidakmampun organisasi sosial-keagamaan untuk mengadaptasi keunggulan dari manajemen modern akan berakibat tidak hanya pada ketertinggalan dalam kualitas kegiatan, tetapi juga pada kehilangan efektivitas kegiatan yang pada muaranya akan menyurutkan dukungan manusia terhadap organisasi. Ketiga, corak arus informasi antar manusia yang berkembang semakin canggih dengan mengandalkan teknologi informatika baru. Perkembangan ini menantang pendekatan komunikasi dan informasi organisasi sosial-keagamaan yang cenderung masih tradisional. Sehingga tidak mampu bersaing dalam arena cyberspace.
Tantangan-tantangan di atas adalah juga tantangan bagi Muhammadiyah. Sebagai organisasi sosial-keagamaan, Muhammadiyah dituntut untuk melakukan penyesuaian diri (self adjusment) terhadap dinamika sejarah dan peradaban. Hal ini merupakan suatu agenda besar yang harus direncanakan dan dilaksanakan oleh Muhammadiyah secara konsepsional dan sistematis.***