Oleh; Ahmad Najib Burhani
Tulisan Ahmad Norma Permata di Suara Muhammadiyah dengan judul “Muhammadiyah Sebagai Pilar Civil Islam di Indonesia” mencoba memisahkan peran sipil dari peran politik Muhammadiyah, dengan penekanan bahwa Muhammadiyah harus lebih fokus pada peran sipil dan menghindari sejauh mungkin peran politik praktis. Peran sipil itulah, menurut Norma Permata, yang merupakan DNA atau gen Muhammadiyah sejak kelahirannya hingga sekarang ini.
Paparan dalam tulisan itu menarik untuk dicermati karena ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan perkembangan wacana tentang negara dan agama belakangan ini. Ketika wilayah agama dan negara sering berbenturan, ketika negara berupaya mengontrol agama dan sebaliknya ketika agama ingin mempengaruhi negara, pertanyaan yang perlu diajukan adalah peran seperti apakah yang mesti diambil oleh Muhammadiyah? Apakah Muhammadiyah mampu untuk hanya konsentrasi pada persoalan sipil? Ketika negara dan agama saling berebut untuk mendefinisikan ruang privat (private sphere) dan ruang publik (public sphere), harus berdiri dimanakah Muhammadiyah?
Di Indonesia beberapa waktu belakangan ini terjadi banyak kasus yang menjadi rebutan antara agama dan negara. UU Pornografi dan Pornoaksi serta peraturan pemerintah tentang poligami adalah diantaranya contohnya. Di wilayah manakah persoalan seperti pornografi, pornoaksi, dan poligami itu mestinya berada? Apakah mereka semua menjadi bagian dari wilayah negara atau agama? Isu seperti itu juga terjadi di Amerika Serikat yang oleh Norma Permata disebut sebagai negara paling demokratis. Kelompok agama menjadi sangat aktif dalam negara dengan mendukung Proposition 8 tentang larangan perkawinan sesama jenis, sementara kelompok gay / lesbian dan sebagian pendukung HAM menganggap Prop 8 sebagai aturan yang menyalahi hak-hak asasi manusia.
Dalam praktiknya, Muhammadiyah tidak pernah bisa diam atau acuh tak acuh dengan persoalan-persoalan seperti itu. Bahkan, seperti dituturkan Permata, ketika Muhammadiyah berusaha untuk hanya fokus mengurus sekolah dan rumah sakit, ia tidak bisa tutup mata atau lepas dari negara. Mengapa itu terjadi? Adalah karena wilayah urusan negara dan agama adalah sama. Bahkan, menurut Carl Schmitt, teoritisi politik dari Jerman, negara dan konsep-konsep yang dipakai oleh negara tak lebih dari “secularised theological concepts” atau konsep-konsep keagamaan yang disekulerkan (dalam arti dihilangkan aspek ketuhanannya). Pendeknya, negara bisa dianggap sebagai bentuk paling modern dari evolusi “agama”.
Meski teori di atas banyak ditentang, misalnya oleh Talal Asad, namun paling tidak ada banyak kemiripan antara sistem yang berlaku pada agama dan sistem kenegaraan. Makanya tak heran bila Robert Bellah kemudian menyebut sistem negara yang berlaku di Amerika Serikat sebagai bentuk civil religion. Hampir tidak ada satu hal pun yang menjadi urusan agama yang tidak serta merta menjadi urusan negara, dan begitu pun sebaliknya. Puasa dan sholat yang mungkin dianggap sangat privat pun akhirnya melibatkan negara untuk mengatur tentang hari libur dan jam kerja. Perkawinan yang bagi sebagian orang dianggap urusan privat, dirambah oleh negara. Negara juga mengadopsi segala bentuk simbol-simbol keagamaan seperti kitab suci (konstitusi), tempat suci, ritual dan sebagainya.
Antara Din dan Daulah
Dalam kaitannya dengan negara, pertanyaan mendesak yang harus dijawab Muhammadiyah sekarang ini barangkali bukanlah bagaimana Muhammadiyah harus secara sempurna keluar dari politik praktis, tapi bagaimana Muhammadiyah menempatkan negara dalam paradigma keagamaannya? Bagaimana Muhammadiyah melihat kemungkinan adanya pertemuan antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia? Selama persoalan teologi ini belum terjawab secara jernih, saya kira posisi Muhammadiyah sebagai civil Islam hanya menjadi pilihan yang terpaksa seperti yang seringkali terjadi. Muhammadiyah akan dengan mudah akan kembali terseret dalam politik praktis ketika kesempatan ada.
Seringnya Muhammadiyah kembali masuk ke dunia politik –meski menurut Norma Permata hal itu tak pernah berhasil memobilisasi massa Muhammadiyah— adalah karena selalu ada anggota organisasi ini yang menganggap din dan daulah sebagai satu kesatuan dalam Islam; state adalah alat untuk menegakkan din dan sebaliknya din merupakan telos dari state. Dimensi politik dari Islam seperti itulah yang membuat beberapa aktivis Muhammadiyah berulang-ulang tertarik pada orientasi politik praktis. Dan karena ideology itu pula, saya tidak bisa melemparkan tuduhan bahwa semua aktivis Muhammadiyah yang berjuang di politik praktis hanya semata-mata untuk kepentingan politik dan ekonomi yang bersifat pribadi. Sangat mungkin bahwa landasan mereka adalah pada kesatuan din-daulah di atas.
Kesatuan antara din dan daulah itu dalam kehidupan sebagian umat Islam sudah merupakan sebuah discourse, sebagai kebenaran yang terinternalisasi dalam diri. Sulit sekali memisahkan Islam dari politik. Sejarah kehidupan Muhammad yang lekat dengan politik seperti sudah mendarah daging pada umat Islam. Hal ini juga berlaku di Muhammadiyah. Kadangkala, kedekatan Islam dengan politik atau negara ini mirip dengan kedekatan Marxisme dengan negara. Dalam pandangan Vladimir Lenin, negara dan Marxisme itu tak terpisahkan, negara menjadi perangkat wajib untuk mewujudkan Marxisme. Ini tentu berbeda dari Leon Trotsky yang tidak mewajibkan negara dalam pengembangan Marxisme.
Meskipun sejarah hubungan antara Muhammadiyah dan politik praktis, seperti dijelaskan Norma Permata, tidak pernah komplet, namun pandangan bahwa negara merupakan satu kesatuan dengan agama banyak dipegangi oleh aktivis organisasi ini. Banyak warga Muhammadiyah yang pemikirannya tentang ideologi simetris dengan Lenin. Kalaulah mereka menjauh dari politik praktis, alasannya lebih karena pilihannya pragmatis kemuhammadiyahan, bukan ideologis. Dan sebaliknya, pandangan yang sealur dengan Trotsky memang selalu ada di Muhammadiyah. Saya sering membayangkan Din Syamsuddin dan Haedar Nashir itu sebagai dua sosok yang bisa mengilustrasikan dua pandangan itu, yang pertama mengikuti gaya Lenin sementara yang kedua seperti Trotsky.
Muhammadiyah sebagai Civil Islam
Sekarang bagaimana dengan pandangan tentang Muhammadiyah sebagai civil Islam? Gagasan tentang “civil” agak susah ditemukan perbandingannya yang pas dalam dunia Islam. Seperti saya tulis dimuka, bagi sebagian umat Islam, nation-state itu merupakan secondary dan din merupakan primary. Ini diantaranya yang membedakan konsep “civil” di Amerika Serikat dari dunia Islam. Bagaimana bisa umat Islam menghilangkan din dari kehidupannya? Atau, bisakah warga Muhammadiyah menempatkan din sebagai secondary dan ke-Indonesiaan sebagai primary?
Civil Islam yang saya baca dalam tulisan Norma Permata adalah dengan menghilangkan aspek teologi itu. Bahwa Muhammadiyah berkontribusi sebanyak mungkin bagi negara tanpa ikut campur dalam politik praktis dan meletakkan teologi tentang negara dalam bracket. Selama ini Muhammadiyah berhasil melaksanakan peran civil Islam seperti ini. Namun demikian, selama persoalan teologis itu tak terjawab secara jernih, maka selalu ada ganjalan di dalam hati tentang peran ini. Saya berharap ada gerakan di Muhammadiyah untuk menjawab dan memberikan landasan teologis tentang konsep civil ini, sehingga pilihannya tidak sekadar bersifat pragmatis.