Oleh; Mustofa W Hasyim
Kenyataan yang Makin Terasa Pahit
Sekarang ini terasa bahwa sungguh banyak yang tidak berfungsi di sekitar kita. Jalan raya yang seharusnya berfungsi melancarkan orang bepergian malah menjadi pusat kemacetan. Angkutan umum nyaris lumpuh, yang bergerak di jalan-jalan adalah angkutan tidak umum. Angkutan umum (di Yogya) yang dulu melewati 17 jalur kini tersisa 5 jalur. Jalur yang lain menghilang,
Lampu lalu lintas disepakati sebagai alat mengatur orang berlalu lintas, tetapi banyak yang kemudian menjadikan lampu lalu lintas tidak berfungsi. Lampu hijau menyala kendaraan dikebut, lampu kuning makin ngebut, lapu merah ngebut banget.
Trotoar dibangun di dua pinggir jalan raya dipruntukkan untuk pejalan kaki, menjadi ruang publik. Tetapi di trotoar pula, halte Trans Jogja didirikan, motor pakir melintang, barang dagangan diperdagangkan, warung didirikan, mobil diparkir, dan trotoar diubah menjadi bagian dari gedung, jadi lahan parkir untuk mobil para tamu gedung itu.
Alangkah susah berjalan di trotoar, terpaksa harus mengalah dengan orang yang mengubah ruang publik ini menjadi ruang komersial. Karena mereka yang aktif di trotoar ini ditarik karcis atau retribusi, maka mereka pun merasa aman dan sah melakukan aktivitas komersial disitu. Kepentingan umum dikalahkan oleh kepentingan khusus.
Sementara itu kalau kita keliling kota maka setiap hari kita bisa pangling. Sudut kota yang dulu rimbun sekarang sudah panas, berdirilah jajaran ruko demi ruko. Rumah hunian yang semula rapi, teduh dan di berjajar di pinggir jalan menjadi pemandangan elok, sekarang hilang, menjadi potongan-potongan gedung, hotel, rumah makan, bank-bank, di sana-sini toko swalayan berjejaring menghimpit warung di kampung.
Padahal kehiudpan yang hakiki dan denyut hidup yang asli sebuah kota ada di dalam kampung. Kalau warga kampung terlayani dan tercukupi kebutuhanya, maka jiwa kampung dan jiwa kota pun akan terjaga. Akan tetapi kalau kampung ditindas oleh jalan raya dan gedung-gidung di pinggirnya, warga kampung sesak nafas dan sesak jiwa.
Membaca Kembali Kosmologi Kekuasaan Jawa-Islam
Yang saya sampaikan di atas adalah catatan tentang perilaku aparat negara yang bertindak ora apik sehingga jadinya juga ora apik.Ini mengingatkan saya pada filsafat hidup atau pandangan hidup orang Jawa bahwa dalam hidup itu kudu apik karepe, apik carane sehingga akan muncul apa yang disebut sebagai apik dadine. Kita akan mencoba melacak kenapa di negara kita sekarang banyak hal yang dapat dikategorikan sebagai ora apik karepe, ora apik carane sehingga yang muncul adalah ora apik dadine.
Marilah kita mencari rujukan awal dari semua itu. Yaitu aturan hidup yang mengatur kehidupan. Orang Jawa bilang desa maca cara, negara mawa tata. Maksudnya, orang desa mengatur hidupnya berdasar siklus upacara adat dan semacamnya. Sedang orang kota atau wong negara mengatur hidupnya dengan tata laksana, dengan manajemen, dengan sistem, dengan aturan baku. Sehingga maksud baik (apik karepe) dapat dirancang, cara bekerja yang baik (apik carane) dan akhirnya target yang baik (apik dadine) dapat dicapai.
Lantas bagaimana orang kota atau wong negara mengatur hidupnya? Kita ingat kalau Kraton Yogyakarta sebagai pewaris kerajaan Mataram Islam mewariskan kosmologi kekuasan yang unik, lengkap dan bisa menjadi identitas keistimewaan. Kraton Yogyakarta mengatur kehidupan bernegara, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan berkeluarga sampai dengan kehidupan individu dengan menggunakan konsep catur sagatra tunggal, bukan konsep trias politika.
Dalam konsep catur sagatra tunggal ini negara memang harus ada. Ini dilambangkan dengan bangunan Kraton. Tetapi dalam kosmologi kekuasan Jawa-Islam, kekuasaan Kraton (negara/state) tidak tunggal, tetapi bersinergi dengan kekuasaan rakyat (people, public, soceaty) dan ini dilambangkan dengan Alun-alun. Juga kraton bersinergi dengan kekuasanTuhan yang dilambangkan dengan Masjid Gede. Kekuasaan politik Kraton pun dalam kosnep kosmologi kekuasaan Jawa sudah mmengandaikan perlunya bersinergi dengan pasar yang dilambangkan dengan Pasar Beringharjo. Jadi ada segiempat relasi kekuasaan yang indah yang bisa mengatur kehidupan ini. Kekuasaan Tuhan menjadi sumber nilai, spirit atau rujukan dari apik karepe, kekuasaan kraton menjadi sumber nilai, nilai dan rujukan bagaimana mengatur kehidupan lewat kebijakan politik (menjdi rujukan apik carane), sedang kekuasaan sosial dan ekonomi menjadi sumber nilai, spirit dan rujukan dari apik dadine. jadi rukun dan damai lewat pemahaman pergaualan yang terbuka sebagaimana dilambangkan Alun-alun, dan dadi makmur dan sejahtera harus mempergnakan pasar atau mekanisme ekonomi dan perdagangan.
Melawan Kecenderungan Disfungsi Negara
Dalam konteks di atas pasar memang diakui harus ada, tetapi harus tunduk dengan maksud Tuhan (ada moralitas dan keadilan ekonomi), harus tunduk kepada kekuasaan Kraton sebagai pusat munculnya kebijakan atau aturan. Dan semua itu harus mengandaikan dan ditujukan kepada kedamaian, kemakmuran dan kesejateraan rakyat. Ini semua dapat kita bayangkan kalau kita mau dan mampu menafsirkan konsep kosmologi kekuadaan Jawa_Islam secara baru dan fungsional. Sesuingguhnya para pendiri republik Indonesia juga telah mengambil spirit itu, buktinya, tujuan dari dibentuknya Negara Republik Indoensia ada empat.
Menurut Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, tujuan Negara Republik Indoensia ada empat. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keeempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan ssoaial.
Semua konsep yang mengatur kekuasaan di atas terasa indah. Demikian juga tujuan dari negara kita. Akan tetapi dalam kenyataan sekarang telah terjadi reduksi yang luar bniasa penting. Pertama hilangnya atau pudarnya spiritualitas, yang ini artinya menghilangksn jejakl kekuasaan Tuhan dalam cara kita sekarang mengatur negara. Negara sekarang cenderung diatur tanpa moralitas, nilai dan spirit yang diajarkan Tuhan. Kemudian tinggallah tiga hal yang hadir dalam dinamika politik kekuasan itu. Pertama negara, kedua masyarakat, ketiga pasar.
Segitiga kekuasaan tanpa kehadiran Tuhan ini kemudian berjalan timpang. Relasinya tidak seimbang. Sekarang muncul kecenreungan dimana pasar menjadi dominan. Negara menjadi sekadar instrumen untuk mengesahkan kehendak pasar. Kemudian masyarakat atau rakyat atau publik diposisikan hanya sebagai konsumen dari pasar.
Jadi yang terjadi sekarang adalah, pasar menindas negara dan menindas rakyat sekaligus. Pasar menjadi panglima kekuasaan dalam negara kita. Oleh karena itu negara mengarah pada kecenderungan disfungsi. Artinya negara tidak tampak hadir sebagai negara yang sungguh-sungguh. Demikian juga rakyat. Rakyat pun mengalami disfungsi, tidak hadir sebagai rakyat tenanan, atau hadir sebagai masyarakat yang sesungguhnya.
Saya ingat, menjelang pemilihan Presiden ada suara yang santer dimediakan, bahwa yang perlu kita pilih adalah Presdien yang pro pasar, presiden yang disetujui dan menghasilkan sentimen positif bagi pasar. Jadi bukan presiden yang pro rakyat atau pro negara. Itulah masalahnya. Padahal kalau dilihat secara hakekat, pasar, lebih-lebih pasar bebas itu tidak membebaskan rakyat dari kemiskinan dan keterbelakangan dan kebodohan. Pasar bebas itu justru menjajah negara dan rakyat kita sehingga kondisinya menjadi seperti sekarang ini.
Kalau kia ingin dalam benegeraa, berbangsa dan bermasyarakat dapat diwarnai oleh apik karepe, apik carane dan apik dadine, maka kecenderungan disfungsi negara dan disfungi rakyat harus dilawan. Caranya kita harus memperkuat negara dan memperkuat rakyat dan memanggil Tuhan kembali dengan cara memfungsikan ajaranNya. Spirit ketuhanan sebagaimana tercantum dalam sila pertama Pancasila perlu kita fungsikan untuk memberi arah,visi, moralitas bertindak dan merumuskan kembali orientasi kebangsaan, orientasi kenegaraan dan orientasi kemasyarakatan kita.
Kita tentu tidak mau terus menerus berada di hilir dan di muara sejarah. Kita akan capek kalau setiap hari menerima pengaduan akan ketidakberesan negeri ini. Kita letih dan sering frustrasi kalau setiap hari melihat dan teracuni oleh sampah-sampah politik, sampah ekonomi, sampah kebudayaan dan sampah sosial. Mari, kita mulai bergerak menuju ke arah hulu kehidupan , menuju ke arah akar masalah dan menuju ke sumber yang jernih dari kesadaran kita. 2016.