Cerpen: Mustofa W Hasyim
PANUT betul-betul heran ketika sore hari pulang kerja, Ibunya memberikan sebuah kartu lebaran yang masih terbungkus amplop. Harum. Ia membolak balik amplop itu, tetapi tidak ada nama dan alamat pengirim. Amplop ia buka. Kartu lebaran dikeluarkan. Ia buka lembarannya. Kartu bergambar masjid, pohon kurma dan ada sepasang ketupat. Berwarna cerah. Ada tulisan permintaan maaf atas segala kesalahan. Ketika dicermati, di dalam kartu tidak ada nama dan alamat pengirim.
“Dari siapa Bu?” tanya Panut.
Ibu Panut menggeleng.
Panut memperhatikan cap pos yang ada di perangko. Tetapi kurang jelas. Sebab tinta hitam dari cap pos itu kabur. Hanya ada huruf-huruf yang sulit dibaca.
Lantas siapa yang mengirim kartu Lebaran ini? Panut mencoba membayangkan teman di kampung, teman sekolah, atau kenalan di tempat lain. Tetapi tetap tidak ada satu pun yang dapat dibayangkan telah mau mengirim kartu lebaran kepada dirinya. Ya, siapa yang mau mengirim kartu lebaran kepada buruh nyikat*) seperti dirinya. Buruh yang paling rendah derajatnya di kota kerajinan ini. Buruh yang diupah paling murah sehingga hidupnya selalu pas-pasan.
Teman sekolah? Jelas tidak mungkin. Sebab ia hanya lulus Sekolah Dasar, dan kebanyakan temannya juga menjadi buruh rendahan. Mereka tentu merasa berat kalau harus membeli kartu lebaran, memberi perangko lalu bersusah payah mengirimnya ke kantor pos. Lebih baik uang sebanyak itu dipakai untuk membeli makanan, atau untuk membeli nomor, yang kalau beruntung dapat membuat kaya mendadak dalam semalam.
Panut mencium kartu lebaran itu. Ia senang dengan bau harum kertas itu. Ini pasti kartu yang mahal, pikirnya. Sebab kalau kartu lebaran biasa, tidak berbau harum. Tulisan tangan pada alamat tujuan bagus, ditulis dengan mengguakan sejenis vulpen yang mahal. Jelas bukan ballpoint murah yang banyak dijual di warung, kios atau took-toko kecil. Demikian juga tulisan di dalam kartu. Panut memperhatikan, tulisan seperti itu hanya dapat dibuat oleh seorang perempuan cantik, oleh seorang guru tamatan sekolah guru model lama, atau oleh seorang lelaki yang tertib hidupnya. Penghuni kampung Panut tidak ada yang mampu menulis sehalus itu. Demikian juga saudara Panut. Baik saudara dekat atau saudara jauh. Lagi pula, mereka tidak membutuhkan kartu kalau hanya untuk saling meminta maaf di Hari Lebaran. Sebab di kampung Panut, tempat para saudara dekatnya bermukim, setiap tanggal 1 Syawal pagi, sehabis dari tanah lapang untuk shalat Idul Fitri, seluruh penghuni kampung berkumpul di surau tua yang telah diperluas.
Di surau yang konon didirikan oleh cikal-bakal penghuni kampung, Mbah Haji Idris, semua penduduk, tua muda, lelaki perempuan medengarkan pengajian singkat, ikrar saling memaafkan yang diwakili, lalu saling bermaafan secara langsung, lalu makan lontong opor dengan sambal kerecek, makan kue-kue, dan minum es sirup. Setelah itu bubar. Ada yang kemudian pergi ke sanak saudara di luar kampung, ada yang memilih mencari hiburan di kebun binatang, ke Alun-alun, ke pantai atau jajan ke warung gule dan sate untuk mengisi perut sekenyangnya. Itulah cara orang kampung Panut merayakan Idul Fitri. Mereka semua saling mengenal, mudah ketemu, dengan demikian untuk mengucapkan selamat hari Raya Idul Fitri tidak memerlukan sebuah kartu lebaran.
Saudara jauh Panut biasanya berkumpul di tanggal 2 Syawal, dalam sebuah pertemuan Bani dari garis keturunan ibu, dan pada tanggal 3 Syawal ada pertemuan Trah, dari garis keturunan ayah Panut. Mereka datang dari berbagai kota. Kota dekat maupun jauh. Bertemu setahun sekali, kangen-kangenan, lalu makan-makan enak, minum es sirup. Banyak di antara mereka, sebelum hari raya, sudah mengirim kartu lebaran. Tetapi selama hidup keluarga Panut belum pernah mendapat kiriman kartu lebaran. Sebab biasanya kartu lebaran itu hanya beredar dari kalangan keluarga kaya, sesama anggota satu Bani atau satu Trah. Karena miskin, keluarga Panut tidak dikirimi kartu lebaran.
Inilah yang menyebabkan ketika ada kartu lebaran berbau karum masuk ke rumah Panut, ibu, saudara dan Panut sendiri terkejut. Apalagi kartu lebaran itu misterius sekali. Tanpa nama dan alamat pengirim. Mungkinkah yang mengirim kartu lebaran itu juragan dan bekas juragan Panut? Mereka mungkin terbuka hatinya dan merasa bersalah karena bertahun-tahun memeras tenaga dan keringat Panut, kadang disertai bentakan dan makian. Panut menggeleng. Sebab mustahil para juragan dan bekas juragannya seperti itu. Menurut pengalaman, para juragan itu selalu merasa tidak bersalah. Kalau ada kesalahan dalam pekerjaan, atau ada kesalahan dalam mengurusi perusahaan, maka yang bersalah pasti buruhnya. Baik buruh yang berada di belakang maupun yang berada di toko imitasi tempat Panut bekerja. Kalau para juragan tidak pernah merasa bersalah, mengapa mereka harus minta maaf. Yang selalu terjadi adalah, para buruh itu yang selalu minta maaf. Hampir setiap hari pasti ada saja buruh yang mengucapkan, “Maaf, Den. Maafkan saya, Den.”
Ataukah yang mengirim kartu lebaran itu adalah Pak RT, atau Pak RW, atau Pak Lurah? Atau mungkin Pak Camat, atau Pak Bupati? Atau anggota DPRD dan DPR? Atau barangkali Pak Gubernur, Pak Menteri, atau mungkin Pak Presiden? Mungkin Pak RT merasa bersalah karena Panut pernah dimaki-maki ketika suatu hari jalan di depan rumahnya kotor karena ada sampah berceceran. Pak RT itu menuduh Panut yang membuang sampah seenaknya. Tentu saja Panut membantah. Tetapi setelah Pak RT melotot dan tangannya mengepal keras, cepat-cepat Panut mengaku memang dia yang membuang sampah itu sambil dengan terbungkuk ia berkata, “Maafkah saya Pak RT, saya kurang hati-hati.”
Untung saja Pak RT yang pensiunan tentara itu tidak menampar mulut Panut.
Atau mungkin yang mengirim kartu lebaran itu Pak RW yang merasa bersalah karena waktu ngebut ingin nonton balapan merpati tempo hari sempat menyerempat Panut sampai kakinya terluka. Waktu itu Pak RW membentak Panut, “Matamu! Kalau jalan mbok minggir dan jangan seenaknya!”
Kaki Panut berdarah. Tetapi ia tidak berani marah.
“Maaf Pak RW, saya sembrono tidak cepat-cepat minggir ketika motor Pak RW menyambar ke arah saya,” begitu katanya sambil terpincang-pincang.
Mungkin juga yang mengirim kartu lebaran untuk minta maaf itu Pak Lurah. Sebab selama beberapa tahun menjadi Lurah, dia telah melupakan janji-janjinya yang dilontarkan saat kampanye pencalonan lurah. Jalan-jalan di kampung tetap buruk, selokan sering mampet, lampu listrik tidak nyala, dan masih sering terjadi pencurian di sana-sini setiap malam. Pak Lurah lebih bersemangat untuk menyelenggarakan rapat membahas bagaimana menjual tanah bondo desa**), dan sisanya dibangun pasar, dibangun kios sebanyak duapuluh, tetapi yang tujuh kios diborong oleh sanak keluarga Pak Lurah sendiri. Pada hari raya ini barangkali Pak Lurah insyaf lalu meminta maaf kepada rakyatnya dengan mengirim kartu lebaran. Panut, salah seorang yang menerima kartu lebaran itu.
Atau mungkin yang mengirim kartu lebaran itu Pak Camat, atau Pak Bupati? Sebab sepanjang pengetahuan Panut, Pak Camat dan Pak Bupati lebih banyak omong besar ketimbang bertindak nyata. Katanya dia selalu membangun dan memajukan daerahnya. Tetapi kampung tempat Panut hidup, selama ratusan tahun belum pernah mendapat kunjungan pejabat, belum pernah diberi bantuan atau dibangun langsung oleh pemerintah. Kalau lorong-lorong kampung kemudian menjadi rapi dan dikeraskan dengan semen, itu berasal dari patungan penduduk sendiri. Itu saja Pak Camat dan Pak Bupati tidak mau datang ketika ada peresmian. Hanya mengirim wakilnya. Bah, Camat dan Bupati macam apa ini? Rakyat membangun dirinya sendiri malah tidak diperhatikan. Tetapi siapa tahu, di bulan puasa ada petunjuk datang dari langit, kemudian keangkuhan dan kedegilan Camat dan Bupati meleleh. Mereka menjadi orang baik-baik dan sadar harus minta maaf. Maka ditulislah kartu lebaran untuk meminta maaf. Karena berdasar penyelidikan mereka Panut merupakan satu-satnnya warga yang selama hidup belum pernah mendapat kartu lebaran, maka kartu itu diberi alamat Panut.
Atau, kartu lebaran itu dikirim oleh wakil rakyat yang insaf dan sadar bahwa selama ini hanya menipu rakyat. Bukannya memikirkan rakyat, mengontrol pemerintah dan mengajukan usul cerdas agar rakyat bisa sejahtera, mereka bahkan memikirkan perutnya sendiri, membiarkan pemerintahan berjalan asal berjalan dan asal ada amplopnya. Mereka juga bukannya membuat usul yang cerdas tetapi hampir selalu memajukan usul yang konyol, karena usul itu hanya merupakan rekayasa bagaimana agar mereka sendiri selalu dapat memperbesar jatah dalam anggaran pemerintah. Memang ada satu dua yang jujur, juga pemurah. Tetapi kebanyakan dari mereka adalah pemain akrobat dan pelitnya minta ampun. Panut ingat betul ada anggota parlemen yang ketika dimintai sokongan oleh warga yang sedang bekerja bakti, dia hanya memberi sumbangan sepuluh ribu rupiah. Tentu ini menjadi bahan tertawaan warga kampung. Uang itu menjadi bahan mainan dan dijadikan bahan lelucon sampai berhari-hari. Nah, anggota dewan yang brengsek ini, siapa tahu terbuka hatinya, kemudian berubah menjadi makhluk suci menjadi semacam malaikat, sehingga memiliki keberanian untuk meminta maaf kepada rakyat dengan mengirim kartu lebaran. Sebagai rakyat, Panut beruntung mendapat kiriman kartu lebaran itu.
Ah, mungkin sekali kartu lebaran ini dikirim oleh Pak Gubernur yang kabarnya lebih suka rapat di ibukota, suka bepergian ke luar negeri, dan lebih suka bertemu dengan para pengusaha ketimbang dengan rakyat ini memang sudah seharusnya minta maaf kepada rakyatnya. Sebab sepertinya kegiatan beliau hanya memperkaya saudara, kerabat, anaknya sendiri, juga keluarga isterinya, ketimbang meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.Banyak terobosan telah dibuat, dan koran-koran memujinya sebagai langkah terobosan untuk memajukan daerah. Tetapi siapa yang diuntungkan dengan langkah terobosan itu? Bukan rakyat.
Seandainya saja memang Pak Gubernur yang mengirim kartu lebaran, karena suatu malam yang hening beliau terketuk hatinya lalu memohon maaf kepada rakyat, maka Panut sebagai orang yang menerima secara langsung permintaan maaf itu tentu sangat bahagia. Kartu lebaran itu akan ia pigura lalu ia pasang di kamar tamu. Kepada sanak saudara, tetangga dan para tamu yang datang ke rumah, Panut dengan bangga akan mengisahkan bagaimana ia mendapat anugerah besar itu suatu pagi, waktu ia tidak ada di rumah, dan ibunya sendiri yang menerima kartu lebaran itu dari tangan Pak Pos.
Tetapi mungkin pula kartu lebaran itu dikirimkan oleh seorang menteri, khususnya menteri yang mengurusi tenaga kerja atau menteri yang mengurusi masalah buruh. Menteri yang membiarkan tenaga kerja dan buruh menderita karena upahnya selalu tidak mencukupi kebutuhan hidup, dan menteri yang selalu membuat laporan baik-baik kepada atasannya, sehingga ketika ada tenaga kerja yang mati satu persatu di tanah rantau atasannya tidak peduli, memang patut minta maaf kepada para buruh dan tenaga kerja. Panut sebagai buruh kecil memang pernah mendengar kalau di negaranya ada menteri yang mengurusi buruh dan tenaga kerja, tetapi ia belum pernah merasakan adanya manfaat dari adanya menteri tersebut. Jadi kalau dia minta maaf, boleh-boleh saja.
Masih ada satu kemungkinan lagi. Kartu lebaran itu dikirim oleh Pak Presiden, mirip kartu lebaaan yang dikirim oleh Sultan Harun Al Rasyid kepada Abu Nawas. Mungkin Pak Presiden menyadari kekhilafannya selama memerintah, yang menyebabkan harga BBM dan aneka macam tarif mengalami kenaikan luar biasa, yang menyebabkan harga kebutuhan lain juga ikut-ikutan naik. Mungkin beliau menyadari kesalahannya mengangkat para menteri ekonomi yang hanya bisa menunduk-nunduk pada kehendak pemodal asing, dan mereka hanya bisa menghajar rakyat dengan berbagai kebijakan yang memberatkan, tetapi sepertinya menguntungkan para pejabat. Mungkin beliau Pak Presiden ini juga menyadari kesalahannya menangkapi orang-orang yang berani kritis dan berani mengoreksi kesalahan langkahnya, yang ternyata ini semua menyebabkan rakyat diam-diam antipati kemudian berniat tidak memilihnya lagi dalam pemilihan presiden mendatang. Karena panik dalam pemilihan mendatang tidak terpilih maka beliau lalu membuat kejutan kepada rakyatnya. Yaitu diam-diam minta maaf, dengan mengirim kartu lebaran. Panut sungguh mendapat anugerah dan hadiah yang paling bernilai dalam hidupnya jika kartu lebaran yang ia terima itu betul-betul berasal dari Pak Presiden.
Ketika semua dugaan ini Panut kemukakan kepada ibunya, sang ibu menggelengkan kepala. Bahkan ketika Panut mengatakan cukup yakin kalau kartu lebaran itu betul-betul dari Pak Presiden, ibunya justru menangis.
“Nut, Panut, eling le, awake dhewe ki sapa? Eling, aja nglangi sajroning langit. Nek tiba malah rekasa,”**) begitu kata ibunya.
“Kalau semua yang saya sebutkan tadi tidak mungkin mengirim kartu lebaran ini, lantas siapa Bu pengirimnya?”
“Tidak tahu.”
“Apa mungkin malaikat Bu?”
Ibu Panut makin menangis. Ia pegangi tangan anaknya erat-erat.
“Jangan gila Nut. Eling, Nut,” kata ibu itu sedih bukan main, campur marah karena ada orang yang tega mempermainkan anaknya.
“Benar, Bu, mungkin malaikat. Malaikat! Betul Malaikat. Horee aku mendapat kiriman kartu lebaran dari Malaikat!” teriak Panut sambil mengibarkan kartu lebaran itu keluar rumah.
Ia berlari keliling kampung. Kepada setiap orang yang ia jumpai dengan mata penuh semangat Panut mengatakan bahwa ia mendapat kartu lebaran dari malaikat. Malaikat itu minta maaf kepadanya karena selama ini lupa memperbaiki nasibnya sebagai buruh kecil. Tentu saja orang yang berjumpa dengan dia segera mengangguk-anggukkan kepala dan membenarkan ucapannya.
Kotagede, 2002-2016
*) Buruh nyikat, buruh kecil yang pekerjaannya menyikat perhiasan/imitasi disepuh atau dicelup dengan warna emas atau perak.
**) Bondo desa, kas desa
***) Nut, Panut sadar Nut, kita ini siapa. Sadarlah, jangan berenang di angkasa. Kalau jatuh nanti malah sengsara.