Oleh: Ruslan Fariadi, SAg, MSi
C. Ghibah (Menggunjing)
Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya, baik yang terkait dengan kekurangan pada fisik, akhlak, agama dan lainnya. Ghibah tidak hanya terbatas dengan lisan, namun bisa juga dengan tulisan. Sebab inti dari ghibah adalah menceritakan kekurangan seseorang kepada orang lain. Bahkan pada era sekarang ini, ghibah dengan tulisan tidak kalah berbahaya dan berdampak luas, karena dalam sekejap bisa tersebar ke banyak orang seperti lewat media sosial (facebook, WhatsApp, Twitter) dan lain sebagainya. Singkatnya, ghibah merupakan salah satu penyakit hati yang memakan kebaikan dan mendatangkan keburukan pada diri dan orang lain. Oleh sebab itu, wajar jika ghibah dilarang dalam banyak Hadits Nabi saw., antara lain:
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah saw bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘ Rasulullah saw bersabda: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan (memfitnah) terhadapnya.” (HR Muslim)
Hadits tersebut merupakan Hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab al-Jami’ shahih-nya pada bab Tahrim al-Ghibah nomor. 4690. Selain imam Muslim, matan Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh imam Abu dawud pada bab Fi al-Ghibah, nomor 4231, imam ad-Darimi dalam kitab sunan-nya pada bab Fi al-Ghibati nomor 2598, dan imam at-Tirmidzi dalam kitabnya pada bab Ma Ja’a fi al-Ghibati, nomor 1857.
Larangan ghibah juga terdapat dalam Hadits riwayat imam Ibnu Majah, sebagai berikut:
“Dari kakeknya Abu Bakrah berkata; Nabi saw melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Keduanya sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak menjaga kebersihan ketika kencing dan yang lain disiksa karena berbuat ghibah.” (HR Ibnu Majah)
Hadits ini terdapat dalam kitab Sunan Ibnu Majah, pada kitab Thaharah wa sunanuha, bab at-Tasydid fi al-Bauli (Kehati-hatian saat kencing) nomor 343. Seluruh rawi yang terdapat dalam sanad Hadits ini dinilai baik seperti, shaduq, tsiqah, hafiz, tsiqah ma’mun, tsiqah ahli ibadah, hanya saja terdapat seorang rawi yang bernama Bahar bin Marrar bin ‘Abdur Rahman bin Abi Bakrah dinilai oleh imam Hakim dengan penilaian laisa bi qawi (tidak kuat), ibnu Hajar menilainya dengan ungkapan Shaduq taghayyar fi akhir hayatihi (jujur, berubah pada akhir hayatnya), dan imam Nasa’i menilainya dengan ungkapan laisa bihi ba’sun (tidak ada persoalan dengannya), serta beliau tidak meriwayatkan Hadits ini secara langsung karena beliau tidak bertemu langsung dengan generasi sahabat. Dengan demikian, Hadits ini tergolong Hadits dha’if (lemah).
Matan Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal dari sumber yang sama yaitu dari sumber Abi Bakrah, sebagai berikut:
“Dari Abu Bakrah ia berkata; “Aku berjalan bersama Rasulullah saw. hingga melewati dua kuburan, lalu ia bersabda: “Siapakah yang dapat mengambilkan untukku pelepah kurma?” Aku pun dapat mendahului laki-laki lain dengan membawa pelepah tersebut, lalu kami memberikannya kepada beliau, beliau membelahnya menjadi dua, dan meletakkannya masing-masing kuburan tersebut satu-satu, sambil bersabda: ‘(semoga) ia diringankan (siksanya) selagi pelepah tersebut masih basah.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Sesungguhnya keduanya sedang disiksa lantaran ghibah dan (tidak bersuci dari) kencing.” (HR Ahmad)
Hadits ini terdapat dalam kitab Musnad imam Ahmad bin Hambal pada bab Hadits Abu Bakrah Nafi’ bin Al Harits bin Kaladah Radliyallahu ta’ala ‘anhu, nomor 19516, 19479. Hadits yang berbicara tentang siksaan ini juga terdapat dalam kitab al-Jami’ as-Shahih li al-Bukhari pada kitab: Adab, bab Ghibah, nomor 5592. Hadits ini juga terdapat dalam kitab wudhu’, bab Min al-Kaba’ir an laa yastatira min Baulihi nomor 209, bab ‘Adzab al-Qabri min al-Ghibah wa al-Baul (Adzab Qubur Akibat Dosa Ghibah dan Air Kencing nomor 1289. Imam Ahmad bin hambal mencaantumkan dalam kitab musnad-nya pada bab Awal Musnad Abdullah bin Al ‘Abbas nomor 1877, imam Abu Dawud mencantumkannya dalam bab al-Istibra’ min al-Baul (Menjaga kebersihan setelah kencing) nomor 19, dan imam ad-Darimi mencantumkan dalam kitab sunan-nya pada bab al-Itqa’ min al-baul (hati-hati karena kencing) nomor 732. Hadits-Hadits ini hanya menyebutkan istilah namimah dan tidak menyebutkan istilah ghibah, sekalipun beberapa diantara sumber Hadits tersebut mencantumkannya dalam bab tentang ghibah.
Dampak Ghibah:
Menurut para ulama’, orang yang berghibah telah melakukan dua kejahatan; kejahatan terhadap Allah SwT, karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama dan kejahatan terhadap hak manusia (huquq al-‘Adami). Ghibah juga memiliki dampak yang sangat serius baik bagi pelaku ghibah maupun orang yang digunjing (korban ghibah). Di antara dampak-dampak ghibah adalah: Pertama: Dapat mendatangkan kemurkaan Allah SwT bahkan pelakunya diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya. Kedua: Merupakan salah satu bentuk kezhaliman kepada orang lain. Ketiga: Pelaku ghibah menjadi orang yang muflis (merugi) pada hari kiamat, karena pahala dan kebaikan yang dilakukan selama hidupnya menjadi penebus terhadap kezhaliman yang telah dilakukannya terhadap orang lain.
Beberapa Bentuk Ghibah yang diperbolehkan:
Pada dasarnya ghibah merupakan persoalan yang dilarang dalam agama. Namun ada beberapa bentuk ghibah yang diperbolehkan, antara lain: Pertama: Kesaksian seseorang di hadapan hakim (persidangan) dengan membeberkan kesalahan pihak yang bersengketa, dalam rangka menjelaskan mana pihak yang benar dan pihak yang bersalah. Kedua: Melaporkan suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak yang berwajib (kepolisian) atau pihak tertentu dalam rangka mencegah kemunkaran. Ketiga: Menyebutkan kelemahan yang dimiliki oleh seorang rawi dalam rangka menentukan kualitas suatu Hadits, dan lain sebagainya.