Oleh; Imron Nasri
Pimpinan Pusat Aisyiyah dalam salah satu tanwirnya pernah mengangkat tema “Gerakan Pendidikan Moral untuk Mewujudkan Masyarakat Antikekerasan.” Mengapa tema ini yang diambil? Dasar pemikirannya antara lain; karena krisis dalam kehidupan bangsa yang ditinggalkan oleh Orde Baru tidak hanya berupa krisis ekonomi dan politik semata. Tetapi juga berupa krisis moral yang ditandai antara lain, dengan semakin meningkatnya kekerasan dalam berbagai bentuk. Kekerasan yang dimaksud antara lain, kekerasan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, kekerasan politik, konflik, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering disebut dengan kekerasan struktural. Kekerasan tersebut baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang menimbulkan luka dan hancurnya sendi-sendi kemanusiaan, yang berdampak sangat luas dan traumatik bagi generasi mendatang.
Pemecahan terhadap kekerasan maupun krisis kemanusiaan pada umumnya tidak dapat semata-mata dilakukan melalui kebijakan-kebijakan jangka pendek dan praktis belaka. Tetapi, diperlukan penyelesaian-penyelesaian masalah yang bersifat menyeluruh dan jangka panjang, antara lain melalui pendekatan dan aspek pendidikan, khususnya melalui gerakan pendidikan moral yang seluas-luasnya. Artinya, melalui gerakan pendidikan moral ditempuh berbagai macam proses sosialisasi nilai-nilai sekaligus upaya-upaya pencegahan agar setiap orang dari warga Negara Indonesia benar-benar tidak lagi melakukan kekerasan. Selain melalui upaya-upaya penindakan dalam bentuk kontrol sosial dan sanksi hukum dalam melawan kekerasan. Dengan gerakan pendidikan moral semacam itu,maka secara tersistem dan terus menerus diusahakan terbentuknya masyarakat antikekerasan.
Untuk itulah, Aisyiyah sebagai organisasi otonom khusus Muhammadiyah memiliki komitmen pada setiap proses pendidikan, lebih-lebih pendidikan moral yang pada akhirnya akan melahirkan generasi umat manusia yang berkeadaban. Sesuai dengan tujuannya, Aisyiyah juga memiliki komitmen untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang anti terhadap kekerasan, sebagai bagian dari gerakan dakwah amar makruf nahi munkar menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Karena itu, Aisyiyah menghendaki adanya gerakan pendidikan moral yang lebih intensif guna mewujudkan masyarakat antikekerasan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Selain itu, Aisyiyah juga dituntut untuk bersikap dan berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Apalagi masyarakat kita saat ini berada di tengah-tengah pusaran kehidupan yang sangat rentan terhadap persoalan-persoalan akhlak atau moral. Aisyiyah yang bertujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (AD Aisyiyah, Psl 4) menjadi lebih berat.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, di era globalisasi seperti saat ini, di mana arus informasi dan teknologi semakin canggih menjadikan pola hidup berubah, yang mengakibatkan bentuk-bentuk atau pola-pola kehidupan keluarga juga bisa berubah. Persoalan-persoalan kewanitaan banyak muncul ditengah masyarakat. Persoalan feminism dan gender misalnya, merupakan tantangan bagi kehidupan umat. Lebih-lebih bagi organisasi-organisasi perempuan di tanah air ini. Feminisme dan gender sebagai gerakan, alat analisis, paradigm, faham, bahkan mungkin ideologi, kini telah menjadi realitas kehidupan.
Feminisme telah berkembang menjadi suatu stigma sosial, yang dibela mati-matian oleh para pendukungnya. Sehingga terkesan serba “sakral”. Sebaliknya, dikritik habis-habisan oleh para penentangnya, sehingga tampak serba buruk. Selain itu, feminisme liberal, feminism radikal, sosialis, cultural, sampai pada feminism pascastruktural tidak lepas dari paradigm tertentu baik dirujuk pada humanisme sekuler yang bermuara pada antroposentrisme, teori sosial positivisme konflik, maupun pada perkembangan zaman yang tidak luput dari kooptasi liberalisme-kapitalisme. Demikian pula feminisme dengan analisis gender atau perspektif sosial lainnya telah memberi ‘pelajaran’ tentang realitas ketertindasan dan ketidakadilan yang diderita kaum perempuan, baik karena faktor sistem patriarki maupun faktor-faktor struktural lainnya.
Dalam situasi yang seperti ini, tentu saja peran dan langkah konkrit dari para pimpinan dan seluruh jajaran Aisyiyah sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Pembelaan atau pemihakan Aisyiyah terhadap perempuan, khususnya dan rakyat kecil pada umumnya tentu saja sangat diharapkan. Agar supaya tidak muncul kesan bahwa Aisyiyah tidak mempunyai kepedulian terhadap kaum perempuan dan rakyat kecil, persoalan poligami yang akhir-akhir ini muncul dan menjadi wacana ditengah masyarakat, perlu mendapat perhatian serius dari Aisyiyah. Karena masalah ini bisa menimbulkan sikap pro dan kontra dan merendahkan martabat perempuan, kalau tidak disikapi dengan arif.
Tentu saja program-program yang berkaitan dengan persoalan-persoalan di atas, yang telah diputuskan di Muktamar perlu dijalankan. Sehingga tidak menjadi daftar keinginan dan daftar inventaris yang mengisi tanfidz keputusan Muktamar. Program pembinaan keluarga yang berisi antara lain; measyarkatkan nilai-nilai ajaran Islam mengenai perlakuan dan santunan yang baik sesuai dalam hal pola hubungan suami-isteri,orang tua dan anak-anak, antar anak, kebaikan anak terhadap orang tua, perlakuan terhadap orang tua lanjut usia, perlakuan terhadap pramuwisma/pembantu rumah tangga, dan hubungan-hubungan harmonis lainnya dan tindak kekerasan serta penindasan dalam seluruh anggota keluarga melalui berbagai media menuju terciptanya Keluarga Sakinah, serta program pembuatan pilot-pilot proyek Keluarga Sakinah di berbagai lingkungan Cabang, Ranting sebagai perwujudan program Keluarga Sakinah secara nyata dan terukur. Selain upaya-upaya lain yang bersifat pemasyarakatan di kalangan masyarakat luas untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, perlu diralisir. Sehingga gerak langkah Aisyiyah terlihat dan terasa ditengah masyarakat. Selamat Bermilad !!!***