YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.com– Kalimat judul di atas merupakan salah satu kesimpulan dari kegiatan Bedah Buku Keragaman dan Perbedaan, Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia karya Al-Makin, yang diselenggarakan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada Jumat (13/5). Acara yang berlangsung di ruang sidang pascasarjana itu menghadirkan penulis buku Al-Makin, serta Bernard Adeney-Risakotta dan Muhammad Azhar sebagai pembedah.
“Saya berusaha berijtihad membangun argumen untuk menunjukkan keragaman. Niat saya berdakwah. Dakwah tentang keragaman. Keragaman merupakan fakta sejarah yang tak bisa dipungkiri,” ujar Al-Makin, dosen UIN Sunan Kalijaga mengawali diskusi buku.
Menurutnya, berdasarkan informasi historis dan fakta ilmiah, umur dunia sudah lebih dari 6 milyar tahun. Sementara manusia sudah ada sejak 6 juta tahun yang lalu. Agama Islam sendiri baru ada sejak 1.500 tahun yang lalu. Artinya sudah ada banyak budaya dan agama yang telah menghinggapi manusia selama jutaan tahun sebelumnya. Sepanjang sejarah itu, manusia mengalami berbagai proses perjumpaan tradisi, akulturasi tradisi, hingga adanya keberlanjutan sejarah.
Pada masa kekhalifahan, sebenarnya merupakan suatu masa yang dicirikan sebagai kosmopolit. Ketika itu di Baghdad dan Damaskus sebagai ibu kota dan pusat peradaban Islam sudah mempraktekkan kehidupan yang inklusif. “Khalifah al-Makmun mengembangkan Baitul Hikmah dengan cara mengumpulkan para filosof dari berbagai latar belakang agama. Kemudian para filososf dan ulama itu diperintahkan untuk menerjemahkan karya-karya filosof Yunani ke bahasa Syiriac dan kemudian ke bahasa Arab. Islam bisa jaya karena sifatnya yang akomodatif,” ungkapnya.
Sementara itu, Prof Bernard mengapresiasi buku yang mampu memperluas pandangan dan perspektif pembaca ini. Satu cerita yang berkembang dalam beberapa tradisi bisa dipandang berbeda. “Hal ini semakin menunjukkan bahwa wahyu itu dari Tuhan. Adapun pemahaman dan penerapan adalah fenomena sejarah yang dipengaruhi oleh banyak hal,” ujar Bernard.
Sementara itu, dosen FAI UMY Muhammad Azhar menyatakan bahwa buku ini menjadi relevan di tengah maraknya fenomena intoleransi. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa 60 persen dosen agama itu mengajarkan Islam yang monolitik kepada para mahasiswanya, sehingga cenderung melahirkan pemahaman agama yang tekstualis. Padahal menurutnya, seharusnya para pemuda berperan menjadi jembatan atau penghubung antara mereka yang berbeda.
Sementara itu, Zuly Qodir yang memandu diskusi buku ini menyatakan bahwa berbeda merupakan hal yang biasa dan semua orang bisa hidup bersama dalam perbedaan. Terpenting adalah adanya saling memahami tentang perbedaan dan memproteksi perbedaan. “Hidup harus toleran. Tidak perlu memaksakan persamaan terhadap perbedaan yang ada,” tutupnya. (Ribas)