Dari desa ekonomi yang dijiwai oleh suasana desa sosial dan desa kulutral maka desa seperti ini dapat ditingkatkan kualitas dan keberadaannya menjadi desa santri, atau desa spiritual. Desa santri diwarnai oleh gemuruh semangat mencari ilmu. Semangat menjadi santri (cantrik) mewarnai kehidupan warga desa. Bahkan para kiai pun merasa sebagai santri, dia pun punya semangat mencari ilmu kepada gurunya, kiai yang lebih besar. Ilmu itu mirip semesta angkasa, mirip lautan, mirip benua luas. Menjadi desa santri berarti warganya memiliki semangat untuk menjelajah ilmu di alngit, lautan, di benua baru. Karena yang penting adalah mencari ilmu maka warga desa mudah menjadi rukun dan guyub.
Dari desa santri yang seperti itu, maka upaya mengolah dan memproses menjadi desa pendidikan atau desa pawiyatan menjadi relatif lebih mudah. Bagaimana caranya? Perlu dikaji alternatif-alternatifnya. Perlu dicari fokus kegiatannya. Ditambah dengan kegiatan pendukung. Setelah itu perlu diadakan sosalisasi ke dalam masyarakat setempat agar masarakat menjadi pendukung utama gerakan menuju desa pendidikan ini.
Ketika banyak desa ramai-ramai mendeklarasikan diri menjadi desa wisata atau desa budaya, maka kalau ada yang berani mendeklarasikan diri menjadi desa pendidikan bisa membuat masa depan desa menjadi tidak seragam. Bahkan desa pendidikan memiliki keunggulan karena yang digarap dan dikembangkan adalah sumber daya manusianya. Ciri khas desa ini adalah pendidikannya, bukan hal lain. Desa seperti ini dapat menjadi tempat persemaian para pemimpin masa depan.
Sebenarnya kalau kita mampu berfikir kritis, jangan-jangan desa santri dimana sebuah desa memiliki satu atau banyak pondok pesantren yang khas dan berkualitas, itu sebenarnya sudah merupakan desa pendidikan? Kalau tidak salah, dulu kita memiliki banyak model desa pendidikan yang demikian. Ketika sebuah atau beberapa buah pondok pesantren berkualitas menyatu dengan denyut kehidupan desa maka pada hakikatnya desa itu panats dihargai sebagai desa pendidikan. Terlepas di desa itu ada sekolah atau tidak. Sebab seringkali kita terkecoh oleh pendapat bahwa pendidikan itu adalah hal ihwal yang menyangkut persekolahan. Yang di luar persekolahan, meski di dalamnya ada aktivitas pendidikan dan banyak lembaga pendidikannya, sering tidak diakui sebagai penddikan.
Masalah baru sering muncul, khususnya belakangan ini, ketika banyak desa beruhah mengkota atau menjadi bayang-bayang kota maka pondok pesantren pun makin mengadopsi sistem persekolahan, lengkap dengan atribut keunggulannya. Ini menyebabkan pondok pesantren menjadi makin mahal dan pelan-pelan tercerabut dari masyarakat desanya. Sebab anak dari warga desa itu sendiri menjadi tidak mampu masuk atau menjadi peserta didik di pesantren itu. Desa yang demikian kemudian lebih pantas disebut sebagai desa ekonomi yang digerakkan oleh usaha jasa pendidikan ketimbang menjadi desa pendidikan. Kalau di kemudian hari terjadi kerusakan pada desa, maka upaya untuk ndandani atau memperbaikinya menjadi lebih sulit lagi.
Ini memang lebih mirip siklus sosial yang tidak semua warga desa mampu dan siap menghadapinya. Menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi karena siklus itu bergerak pelan-pelan menuju masa depan yang tidak jelas.
Lantas, apa yang perlu kita perbuat?