JAKARTA. suaramuhammadiyah.com– Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Maarif, mengingatkan bahwa tindakan aparat TNI dan Polri merazia atribut dan buku yang dianggap mengandung unsur komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah langkah berlebihan. Seharusnya, pemerintah harus lebih fokus dalam hal yang lebih penting, yaitu penegakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi amanah Pancasila.
Guru Besar Ilmu sejarah itu menyatakan bahwa perhatian yang terlalu besar pada isu PKI justru menyebabkan waktu dan energi bangsa Indonesia terbuang percuma pada hal yang tidak penting. Bagi Buya, seharusnya yang perlu ditakuti dan diberantas adalah tindakan ketidakadilan yang telah merampas kesejahteraan rakyat Negara kepulauan ini. “Bukan palu arit, tapi ketidakadilan yang perlu dilawan,” ungkap Buya.
Menurutnya, ketakutan berlebihan terhadap kebangkitan PKI merupakan tindakan semacam ‘kegenitan’ yang tak berdasar. “(kekhawatiran) komunisme atau PKI bangkit lagi, itu politik agak kegenitan. Enggak lagilah,” kata Syafii dalam program televisi Indonesia Lawyers Club dengan tema “Benarkah PKI Bangkit Lagi?” yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV swasta pada Selasa malam, 17 Mei 2016.
Bagi Buya, hukum yang melarang penyebarluasan ajaran komunisme di Indonesia memang ada, yakni Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP. Dia tak menyoal jika konteksnya adalah penegakan hukum. Tetapi tak relevan lagi kalau muncul kekhawatiran kebangkitan komunisme.
Syafi’i menilai bahwa paham komunisme sudah usang, hampir tidak ada lagi orang yang menganut paham itu. Tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia. Kekhawatiran terhadap komunisme seperti situasi pada 25 tahun atau 30 tahun lalu, yang sudah tidak berguna di zaman sekarang.
“Riwayat komunisme sudah tamat. Hanya Korut (Korea Utara) yang ada, ini memang agak aneh. Itu yang sampai sekarang masih mengaku menjalankan Marxisme (ajaran utama/dasar komunisme),” ungkapnya
Di masa lalu, menurut Buya Syafi’i, komunisme memang menjanjikan karena banyak menawarkan perubahan, terutama bagi negara-negara jajahan seperti Indonesia. Para pendiri bangsa, seperti Sukarno, Muhamad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan lain-lain, membaca Marxisme dan memahami komunisme. Tetapi, paham atau ajaran itu bertentangan dalam praktik, terutama di negara yang dianggap kiblat komunisme dunia itu sendiri, yakni Uni Soviet. “Apa yang dipraktikkan di Uni Soviet, demokrasi diabaikan, hak asasi tak dihargai. Jutaan orang dibantai. Itulah yang membuat komunisme tamat,” ujar Buya. (Ribas)