YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.com– Konsepsi kenegaraan yang dimiliki Indonesia bukan hanya merupakan yang dimotori oleh founder negara, namun juga merupakan sumbangan para pemimpin-pemimpin Islam di masa lalu. Dalam mewujudkan negara yang berkemajuan, maka tugas umat Islam adalah mensublimasi nilai-nilai Islam ke dalam dasar-dasar berbangsa dan bernegara dalam wujud riil, baik sosial budaya, politik, penegakan hukum, dan ekonomi.
“Belum ada konsepsi yang unggul dari negara ini yang bertentangan dengan Islam. Pancasila adalah sebuah tata nilai pokok agama yang memungkinkan seluruh agama untuk berlindung dan mengembangkan dirinya untuk Indonesia,” papar KH Hasyim Muzadi dalam Forum Dialog Kebangsaan Kosolidasi Nasional, di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Senin malam (23/5).
Menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini (Wantimpres) ini, relevansi Islam berkemajuan adalah bagaimana cara kita menjalankan ajaran Islam secara proporsional, kontekstual dengan kebutuhan bangsa dengan keberadaan kepemimpinan yang memastikan penyelenggaraan Islam berkemajuan tersebut.
Dalam UUD 45, kita memiliki tugas untuk memformulasikan tata nilai ajaran Islam dalam masalah kebangsaan dan kerakyatan tanpa harus menyebut ‘agama’ secara eksplisit, melainkan sebuah tata nilai agama. Salah satu contohnya adalah politik yang dalam Islam dikatakan kuncinya adalah amanah. Menurutnya, tanpa keberadaan sifat amanah, politik hanya berisi nafsu, kemauan yang tak terbatas dan tidakadanya pertanggungjawaban tehadap apa yang dilakukan oleh para pemainnya.
“Para pemuka agama punya tanggungjawab bagaimana mensublimasi nilai amanah dalam sistem politik,” lanjutnya.
Dalam hukum, pun tidak berbeda. Penegakan hukum di bawah UUD 45 harus bisa melakukan justice, dengan kunci al-‘adalah. Menurutnya, penegakan hukum bisa dijalankan dengan prinsip tersebut meskipun dalam formulasinya tidak perlu disertai oleh beragam dalil, cukup substansinya saja.
Merambat ke pilar ekonomi, dengan adanya hukum yang adil, maka akan menciptakan kemakmuran lahiriyah dan kemakmuran di sektor-sektor ekonomi. “Tidak seperti kondisi saat ini yang kenyataannya masih hanya segelintir orang saja yang menikmati kemakmuran tanpa takut dengan hukum,” imbuhnya.
Dalam sosial budaya, posisi ahlakul karimah harus diperjelas. Apakah dalam konteks sosial budaya Indonesia mengutamakan karakter berbangsa dan bernegara atau hanya karakter yang terpecah belah. “Ini adalah masalah bagaimana kita memasukkan tata nilai dalam berbangsa dan bernegara yang sehat dan benar tanpa harus mengguncangkan sistem politik negara dan mengebiri kebebasan demokrasi orang lain,” lanjutnya.
Namun, secara eksternal, banyak gangguan-gangguan yang di sisi lain dianggap sebagai kebebebasan, namun sesungguhnya adalah hambatan bagi kemajuan bangsa.
“Ini adalah tugas kita bagaimana mengatur keseimbangan antara kebebasan, demokrasi dan penegakan tata nilai, sehingga melahirkan sebuah negara pancasila yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” tandasnya. (Th/Ns)