Jiwa penolong merupakan modal besar dalam gerakan sosial kemanusian, seperti Lembaga Penanggulangan Bencana, Muhammadiyah Disaster Management Center (LPB-MDMC) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Namun, menolong tidak cukup dengan sekadar bermodal semangat, tetapi dibutuhkan juga metode atau cara yang benar dan efektif serta disiplin yang tinggi. Gagasan itulah yang menjadi pokok bahasan pada Rakernas LPB-MDMC PP Muhammadiyah di Bandung belum lama ini.
Lahirnya gagasan tersebut, dilatarbelakangi dari pengalaman panjang LPB-MDMC dalam perjalanannya menangani berbagai bencana alam di Indonesia. Terhitung sejak 2010 didirikannya lembaga tersebut, gerakan sosial kemanusiaan milik persyarikatan Muhammadiyah ini sudah ratusan kali turun lapangan membantu menangani korban bencana. Dari pengalaman panjang itulah, lahir prinsip menolong dengan benar.
Barangkali kasus meninggalnya Mbah Marijan Juru kunci gunung Merapi salah satu yang menginspirasi lahirnya prinsip tersebut. Andai saja saat itu penolong Mbah Marijan mentaati prinsip disiplin, mungkin bencana erupsi itu tidak sampai merenggut korban. Namun apa daya karena prinsip disiplin dalam memberikan pertolongan itu dilanggar, biarpun penolong yang diturunkan tahu betul metode pertolongan erupsi, jatuhnya korban tidak bisa dielakkan. Disinilah pentingnya mengerti ilmu, cara, dan disiplin tinggi dalam melakukan pertolongan. Hal ini dipaparkan Arif Nur Kholis Sekretaris LPB-MDMC Pusat saat diwawancari Suara Muhammadiyah.
Dari gagasan besar itu, melalui rakernas yang diselenggarakan, LPB-MDMC pusat membuat program pendidikan dan pelatihan (Diklat) penanggulangan bencana terstruktur dan terpusat. Bentuknya diklat berjenjang dan tematik dan sekolah bencana alam. Program tersebut kemudian disinergikan dengan beberapa amal usaha Muhammadiyah (AUM), baik perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) maupun PKU Muhammadiyah dan sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Menurut Arif, selain mengajarkan metode pertolongan yang benar, melalui sekolah dan diklat bencana alam yang diadakan, diharapkan juga memberi pengetahuan yang menyeluruh terkait penanggulangan bencana. Artinya tidak saja masyarakat khususnya warga persyarikatan yang mengikuti kegiatan MDMC itu hanya disiapkan untuk membantu korban bencana, namun lebih jauh lagi pelatihan yang diadakan bisa memberi pencerahan untuk meminimalisir terjadinya bencana. “Jangan-jangan datangnya bencana itu akibat kelalaian dan kesalahan kita yang kurang bisa bersahabat dengan alam,” katanya.
Selain itu, penguatan organisasi juga menjadi salah satu program LPB-MDMC Pusat selama kepengurusannya lima tahun ke depan. Penguatan itu dimasifkan mengingat belum semua Wilayah Muhammadiyah menjalankan kegiatan LPB-MDMC. Mungkin untuk LPB secara struktural di masing-masing wilayah sudah ada, namun kegiatan MDMC belum semua wilayah menjalankannya. Dari 34 wilayah yang ada, MDMC baru dijalankan di 24 provinsi. Dari tahun sebelumnya, jumlah tersebut mengalami peningkatan. Periode lalu jumlah wilayah yang menjalankan kegiatan MDMC hanya 19 provinsi. Jika dibandingkan dengan periode sekarang, jelas perluasan MDMC mengalami peningkatan. Atas dasar itu, penguatan organisasi dengan memperluas wilayah akan terus dilakukan MDMC sampai semua propinsi dipastikan menyelenggarakan gerakan sosial kemanusiaan itu.• (gsh)