YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.id- Dalam Tanfidz Muktamar 47 telah disebutkan bahwa Misi Pendidikan Muhammadiyah salah satunya adalah membentuk kader persyarikatan. Namun, masih banyak pertanyaan yang berkelibat ketika melihat para lulusan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah ternyata hanya sekian persen yang kembali lagi ke persyarikatan dan menjadi kader. Lalu, di mana kader Muhammadiyah?
Demikian yang diungkapkan oleh Tasman Hamami dalam forum Pengajian Ramadhan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Jum’at (10/6) dalam sesi Sinergi Implementasi Perkaderan di Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Pendidikan.
Menurut Tasman, potensi kader yang dimiliki oleh Muhammadiyah sangat besar. Jika diperkirakan kini ada 1143 SMA/SMK/MA milik Muhammadiyah, dengan 25 lulusan per tahunnya, maka ada 28.575 kader lulusan sekolah menengah atas yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Belum lagi jika ditambahkan dengan lulusan 172 perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) yang jika setiap tahun menelurkan 150 lulusan, maka kader Muhammadiyah lulusan PTM akan bertambah 25.800 per tahun. Namun, ternyata dalam realitanya masih banyak pengurus AUM Pendidikan serta formulasi dosen dan guru yang tidak diisi oleh kader Muhammadiyah.
“Kita harus merumuskan bagaimana formulasi di lembaga pendidikan Muhammadiyah agar bisa mencetak lebih bayak lagi kader, karena kader adalah hidup mati Muhammadiyah,” ungkap Tasman.
Selama ini, salah satu indikator terjadinya proses pengkaderan di sekolah-sekolah Muhammadiyah adalah dengan keberadaan materi Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab (ISMUBA). Inilah yang menurut Tasman menjadi pembeda Lembaga Pendidikan Muhammadiyah dengan yang lainnya.
“Visi pengembangan pendidikan Dikdasmen sendiri adalah berkembangnya fungsi pendidikan menengah dengan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan sebagai core-nya,” imbuh Tasman.
Sedangkan, selama ini pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di berbagai sekolah Muhammadiyah, masih menghadapi problem, di antaranya pada kurikulumnya, sistem pembelajarannya, serta guru. Selain itu, menurutnya pola pendidikan di sekolah Muhammadiyah khususnya PTM, masih bersifat parsial dan belum secara holistic integrative. Sisem perkaderan utama yang dijalankan dalam bentuk baitul arqom, menurutnya juga belum mampu menjangkau anak didik secara keseluruhan dan luas.
“Pola perkaderan di beberapa sekolah belum terpola secara sistemik, masih bergantung kepada kepala sekolah masing-masing dalam menjalankannya,” paparnya.
Maka karena itu, Tasman menegaskan, bahwa secara Makro yang bisa dilakukan dalam menggenjot jumlah kader persyarikatan adalah melakukan sinergi antara Madrasah, Majelis Pendidikan Kader (MPK), Majelis Dikdasmen, MPK dan Ortom. Karena, selama ini dianggap pembicaraan mengenai pengkaderan belum secara optimal dilakukan secara bersama dengan Madrasah, MPK, Dikdasmen, dan Ortom.
“Salah satu bukti adalah, bagaimana di beberapa sekolah masih menggunakan Osis ataupun Pramuka, bukan menjalankan IPM ataupun HW sebagai bagian dari proses pengkaderan,” tuturnya.
Sedangkan secara Mikro, lembaga pendidikan Muhammadiyah harus menyelaraskan nuansa pembelajarannya, dengan salah satu syarat bahwa guru harus berasal dari kader Muhammadiyah. Ditambah dengan pembudayaan yang diselaraskan serta kegiatan ekstra kulikuler yang juga harus disinergikan agar mampu mencetak kader persyarikatan. “Kita harus terus punya target kenaikan pesentase jumlah kader persyarikatan setiap tahunnya,” tandasnya (Th).