Oleh; Budi Asyhari-Afwan
SUARA MUHAMMADIYAH, Jika Mu’tazilah disebut sebagai aliran yang mewakili golongan rasional, maka Asy’ariyah dianggap sebagai aliran yang mewakili golongan tradisional karena mengambil posisi antara ekstrim rasional dan salafiyah. Asy’ariyah dibangun oleh Abu Hasan al-Asy’ari, yang sebelumnya adalah murid al-Jubba’i, salah satu pendiri Mu’tazilah.
Semula, al-Asy’ari sering dipercaya untuk menggantikan sang guru dalam memberikan pelajaran. Al-Asy’ari adalah murid yang diakui kecerdasan dan kepandaiannya. Akan tetapi, al-Asy’ari kemudian keluar dari Mu’tazilah, dan menjadi tokoh yang dengan gigih menentang faham rasional Mu’tazilah. Ada silang pendapat tentang berbaliknya al-Asy’ari dari aliran Mu’tazilah. Salah satunya menyatakan bahwa al-Asy’ari kecewa karena faham rasional Mu’tazilah sudah tidak lagi sesuai dengan situasi pada saat itu. Al-Asy’ari merasa ragu dan tidak percaya pada kekuatan dan kemampuan akal (rasio).
Al-Asy’ari pun kemudian menyusun pandangan yang dilandasi pemikiran salafiyah dalam bingkai dialektika rasional. Karena keberpihakannya terhadap sunnah, belakangan pengikutnya menamakan diri sebagai Ahlu al-Sunnah. Ketika kelompok ini menjadi kelompok mayoritas di masa itu, maka dikenallah kelompok ini dengan sebutan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah.
Al-Asy’ari menyatakan diri bergabung dengan faham sunni yang dipelopori oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang sering disebut sebagai “ahl al-Hadis”. Faham yang condong kepada salaf, dan tentu saja berfaham sunnah. Faham yang sangat gigih menentang rasional Mu’tazilah sebelum al-Asy’ari. Dari sinilah kemudian kelompok ini disebut sebagai Ahlu al-Sunnah. Dan oleh karena dianut oleh mayoritas kaum muslimin, mereka pun dinamakan al-Jamaah. Penyebutan istilah ini tampak pada para pengikutnya yang secara terang-terangan menulis dalam hasil karya mereka, seperti al-Baqillani, al-Juwaini, al-Baqdadi, al-Gazaliy, al-Razi, dan sebagainya.
Bagi Asy’ariyah, Tuhan tetap memiliki sifat yang terpisah dari zat-Nya, sebagaimana hal itu dicantumkan dalam al-Quran. Misalnya, Allah mengetahui dengan ‘ilmu, berkuasa dengan qudrah, hidup dengan hayat, dan seterusnya. Berbeda dengan Mu’tazilah yang berpandangan bahwa manusia bertanggungjawab penuh atas perbuatannya, Asy’ariyah berpandangan bahwa manusia tidak akan dapat melakukan apa pun tanpa ada bantuan Tuhan. Bahwa ada dua daya dalam setiap perbuatan manusia: daya Tuhan dan daya manusia. Pandangan ini berdampak pada ketidaksetujuan Asy’ariyah terhadap konsep al-manzilah baina al-manzilatain di Mu’tazilah.
Masifnya konsolidasi faham sunni ini, masyarakat pun mengalihkan perhatiannya pada sunnah Nabi. Segera setelah itu dampaknya mulai kelihatan, di mana pemikiran rasional Mu’tazilah menjadi kurang diselami oleh awam. Apalagi kemudian Khalifah al-Mutawakkil membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara pada 848 M, dan mendukung Asy’ariyah. Akhirnya, Mu’tazilah menjadi kelompok minoritas, dan Ahlusunnah menjadi kelompok yang mayoritas.
Setelah merasa memperoleh dukungan yang mayoritas, kelompok ini bukan lagi hanya konsentrasi pada wilayah teologi, melainkan juga pada bidang hukum (fiqh). Dikenallah kemudian ada empat imam mazdhab: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan Imam Syafi’i. Di bidang tasawuf tampillah Imam al-Ghazali. Bahkan dalam bidang politik dapat dirujuk pada tokoh al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah. Bidang terakhir inilah yang membedakan antara faham Sunni dan Syi’ah.