Prof Dr Muhadjir Effendi (Ketua PP Muhammadiyah) :
Soal kitab kumal yg diklaim karya KH A Dahlan oleh Yth teman teman NU itu sudah lama menjadi perbincangan dan bahan pengajian di kalangan NU. Tentu misinya menyudutkan untuk Muhammadiyah. Di Malang yang saya tahu, yang paling getol mengkaji kitab kuning itu kyai Marzuki Mustamar. Dia memakai logika sederhana. Bahwa yang paling pintar di organisasi itu ya pendirinya. Kalau NU mbah Hasyim Asyari kalau Muhammadiyah Kyai Dahlan. Karena itu para pengikutnya harus taat mengikuti ajarannya.
Atas dasar kitab yang dia temukan itu, dia berkesimpulan Muhammadiyah itu sudah melenceng dari ajaran kyai Dahlan, karena di kitab itu misalnya kyai Dahlan memakai qunut dalam Salat subuh, tarawih 23 rekaat, dst dst.
Jelas mereka memakai logika yang (barangkali) seperti itu berlaku di NU dan logika semacam itu digunakan untuk “membaca ” Muhammadiyah. Padahal Muhammadiyah itu dibangun atas dasar logika yang berbeda.
Itu pun, kalau teman teman NU seratus persen taat kepada ajaran hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga tidak 100 persen benar. Misalnya, mbah Hasyim mengharamkan Haul, tapi mereka malah mengamalkan Haul. Bahkan Ponpes Tebu Ireng yang secara tradisional hingga kepemimpinan Pak Ud tidak pernah menyelenggarakan upacara Haul sekarang di gelar Haul untuk GUS Dur.
Mbah Hasyim pernah berfatwa haram hukumnya ada partai Islam selain Masyumi, justru sepeninggal mbah Hasyim NU tahun 1953 keluar dari Masyumi jadi partai sendiri. Justru Muhammadiyah yang taat kepada fatwa itu, hingga Masyumi bubar, Muhamnadiyah tetap menjadi anggota istimewa Masyumi.
Tulisan ini sekedar menambah tulisan tanggapan Pak Din Syamsuddin yg menurut saya sudah cukup memadai utk merespons isu kitab kuning yang isinya memang penting untuk dibaca tetapi bukan lagi waktunya untuk dijadikan pegangan.
Saya sebetulnya berusaha menahan diri sepanjang ada perbedaan NU dan Muhammadiyah, karena bagi saya ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat adalah segala-galanya.
Kalau Muhammadiyah dan NU terjalin ukhuwah yang kokoh bersatu dan menjadi satu kesatuan, untuk membereskan persoalan bangsa ini, alangkah dahsyatnya. Tetapi itu nyaris menjadi sebuah ilusi. Terlalu banyak pihak pihak yang ketakutan kalau NU dan Muhammadiyah bersatu karena berusaha menjauhkan bahkan menabrakkan satu sama lain. Disamping harus diakui di dalam dua organisasi ini ada yang semangat ashobiahnya berlebihan (***).