SUARA MUHAMMADIYAH, Kongres Muhammadiyah pertama di luar Jawa diselenggarakan di Minangkabau pada tahun 1930. Kesuksesan kongres ke-19 ini merupakan jawaban terhadap tuduhan dan opini yang dibangun oleh pihak yang antipati bahwa Muhammadiyah hanya dapat hidup di Yogyakarta (Bintang Islam, No. 3/VIII/1930, h. 130-137). Penunjukan Minangkabau sebagai tuan rumah pelaksanaan kongres diawali dengan kunjungan Haji Fachrodin (1927) dan M Yunus Anis (1928) telah membawa opini baru bagi pemetaan kekuatan bahwa Muhammadiyah tidak lagi sebatas hanya ada di Jawa, melainkan sudah menyebar ke ranah Minang. Hal ini menjadi kekuatan kedua setelah di Yogyakarta. Percepatan dan perkembangan Muhammadiyah di Minangkabau dalam pandangan Haji Fachrodin—setelah melihat secara dekat pergerakannya di Minangkabau—mendorongnya untuk membawa kongres Muhammadiyah ke Minangkabau. Dalam rangka memperkuat dan menghilangkan keragu-raguan Pengurus Besar Muhammadiyah terhadap perkembangan Muhammadiyah di Minangkabau sebagaimana yang dilaporkan Haji Fachrodin, maka Pengurus Besar kembali menugaskan M Yunus Anis ke Minangkabau.
Hasil dari kunjungan kedua tokoh tersebut semakin yakin Pengurus Besar Muhammadiyah bahwa kongres akan dilaksanakan di Minangkabau. Oleh sebab itu, Kongres ke-18 di Solo tahun 1929 yang juga diikuti oleh Cabang Sungai Batang, Padang Panjang, Simabur, Bukittinggi, Padang (luar kota), Pariaman (Kuraitaji) dan Lakitan (Bandar Sepuluh) dengan menggunakan pakaian adat Minangkabau sebagaimana yang dianjurkan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah untuk memakai pakaian kebesaran daerah masing-masing. Beberapa utusan luar Minangkabau juga diikuti oleh orang Minangkabau karena mereka memimpin cabang Muhammadiyah di luar Minangkabau, seperti Ilyas Sutan Perpatih, ketua Cabang Muara Aman dan Abdul Wahid ER, ketua Cabang Pagar Alam. Keduanya itu berasal dari Sungai Batang (HAMKA, Muhammadiyah-Masyumi, h. 42).
Pada saat berlangsungnya kongres, khusus ketika membahas tentang agenda dan tempat pelaksanaan kongres ke-19 yang akan dilaksanakan pada tahun 1930, Haji Fachrodin yang sudah melihat secara dekat perkembangan Muhammadiyah, mengusulkan kepada anggota kongres supaya dlaksanakan di Minangkabau. Pada kongres yang dihadiri banyak cabang dari Minangkabau, Hamka menggambarkan bagaimana Haji Fachrodin meyakinkan anggota kongres agar kongres yang akan datang dilaksanakan di Minangkabau.
“Ketika Fachroddin naik kepodium mengemukakan alasan usulnya, Beliau telah menilai Minangkabau yang membuat hatiku terharu. “Itulah negeri yang dicita-citakan Muhammadiyah,” kata beliau. Beliau sebut kekayaan Minang dengan para ulama, tetapi bukan ulama yang mempertahankan faham agama yang jumud. Beliau terangkan ketaatan rakyat beragama, masjid-masjid yang bertebaran di setiap kampung dan desa, dan begitu cepat orang dapat menerima Muhammadiyah. Beliau meramalkan bahwa dalam masa yang tidak lama lagi, Muhammadiyah Minangkabau akan menjadi pelopor pengembangan Muhammadiyah di seluruh Sumatera, mungkin di seluruh Hindia Timur,” tulis HAMKA (h. 42).
Usulan Haji Fachrodin tersebut dapat dukungan pula dari Mohammad Yunus Anis, yang juga sudah melihat secara dekat perkembangan Muhammadiyah di Minangkabau. Usulan tersebut disambut baik oleh anggota kongres karena di Jawa sendiri perkembangan Muhammadiyah terasa agak lamban. Dalam pada itu, AR Sutan Mansur baru saja kembali dari Alabio dan Banjarmasin dalam rangka mendirikan dan memimpin Muhammadiyah di daerah tersebut. Pada saat itu, menurut Hamka, dilaksanakan rapat istimewa selain menyambut pulangnya AR Sutan Mansur, juga sekaligus membicarakan tentang usulan kongres yang akan dilaksanakan di Minangkabau. Ketika usulan tersebut sudah sampai pada permintaan pendapat kepada utusan Minangkabau sendiri, semuanya sepakat akan dibawa terlebih dahulu ke Konferensi Daerah. Ketika jawaban disampaikan kepada sidang kongres, secara spontan Haji Fachrodin tampil dan menyampaikan, “Kalau Muhammadiyah Minangkabau tidak sanggup mengadakan Kongres ke-19, Pengurus Besar akan mengadakan juga Kongres di Minangkabau, dan minta bantu kepada saudara-saudara di Minangkabau untuk jadi panitia!”
Kemudian putusan kongres tersebut dibicarakan Muhammadiyah Minangkabau pada bulan Juli 1929 ketika dilaksanakan Konferensi Daerah Muhammadiyah keempat di Simabur. Para anggota konferensi secara aklamasi menerima putusan kongres tersebut yang akan ditempatkan di Bukittinggi. Penyampaian penerimaan sebagai tuan rumah ini langsung disampaikan oleh utusan, yaitu Mohammad Saleh bin Haji Abdurrahim Sutan Mahmud, murid AR. Sutan Mansur ketika aktif di Nurul Islam Pekalongan asal Sungai Batang. Pada masa itu, Muhammadiyah di Minangkabau baru memiliki tujuh cabang, yaitu Sungai Batang, Padang Panjang, Simabur, Bukittinggi, Payakumbuh, Kuraitaji Pariaman dan Simpang Haru Padang Luar Kota. Sedangkan untuk konteks Indonesia, jumlah cabang telah mencapai 112 dengan 24.000 orang anggota. Pelaksanaan kongres di luar Jawa ini merupakan penghargaan yang diberikan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah atas perkembangan Muhammadiyah yang tumbuh secara pesat dibanding di Jawa sendiri.
Setelah positif pelaksanaan kongres Muhammadiyah ke-19 akan dilaksanakan di Bukittinggi pada tanggal 14-21 Maret 1930, para pimpinan Muhammadiyah dari tingkat konsul sampai ke ranting (groep) bekerja keras menyiapkan segala sesuatunya. Salah satu di antaranya adalah komitmen pengembangan gerakan. Dalam hal itu, hampir setiap bulan berdiri ranting baru terutama di kampung-kampung sekitar danau Maninjau mulai dari Tanjung Sani, Pandan, Galapung, Batu Nanggai, Muko Jalan, Sigiran, terus naik ke Airikir Koto Panjang dan seluruh nagari-nagari di Bukittinggi. Muhammadiyah Bukittinggi sendiri mendirikan Muhammadiyah Sibolga dan Sipirok.
Sedangkan Muhammadiyah di Lakitan, Pesisir Selatan didirikan oleh Haji Abdul Malik. Selain pergerakan pengembangan ranting dilakukan secara masif, syiar kongres juga semakin gencar dilakukan oleh kepanitiaan yang sudah terbentuk baik di Minangkabau sendiri maupun diperantauan. Dalam rangka kongres itu juga, para perantau Minang yang tersebar diberbagai daerah seluruh Indonesia juga membangun aliansi untuk pulang bersama sehingga arus informasi perhelatan akbar ini semakin membahana di mana-mana. Kemudian saat-saat akan dilaksanakan kongres, dalam catatan Hamka, Muhammadiyah sudah berdiri pada 27 tempat, cabang dan groep (HAMKA, h. 44). Dalam hal itu, ada yang menyebutnya tidak lagi kongres Muhammadiyah melainkan kongres Minangkabau. Kota Bukittinggi betul-betul menjadi ramai dikunjungi tidak hanya oleh anggota kongres melainkan oleh masyarakat Minangkabau sendiri melihat jalannya perhelatan Muhammadiyah terbesar tersebut.•
——————–
Bakhtiar, M.Ag, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat dan dosen IAIN Imam Bonjol Padang.