Oleh; M Muchlas Abror
SUARA MUHAMMADIYAH, Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Negara Republik Indonesia. Setelah kemerdekaan, antara tahun 1945 – 1950, dua kali terjadi Clash. Tentara Belanda menyerbu dan banyak menduduki kota, termasuk Yogyakarta. Perang gerilya digerakkan, digiatkan, dan dipimpin oleh Jenderal Sudirman, putera Muhammadiyah, untuk melawan penjajah. Ulama Muhammadiyah bermusyawarah karena merasa berkewajiban membela dan mempertahankan kemerdekaan negara. Musyawarah yang dipimpin oleh Ki Bagus Hadikusumo, di Masjid Taqwa Suronatan, Yogyakarta, berhasil membentuk Angkatan Perang Sabil (APS) APS. KRH Hajid dan KH Ahmad Badawi disepakati oleh musyawarah menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pimpinan APS. Ki Bagus bersama KH Ahmad Badawi kemudian menghadap Sultan Hamengku Buwono IX melaporkan maksud pembentukan APS itu. Sultan pun merestui. Jenderal Sudirman juga menyambut baik dan menyanggupi mengirim pelatih. Berdirinya APS mendapat sambutan masyarakat.
KH Ahmad Badawi masuk menjadi PP Muhammadiyah sebagai Wakil Ketua dalam usia muda (35 tahun) dalam periode kepemimpinan KH Mas Mansur (1937–1942). Kemudian berturut-turut menduduki jabatan yang sama pada periode kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo (1942 –1953), Buya AR Sutan Mansur (1953–1959), HM Yunus Anis (1959– 1962). Setelah itu, melalui Muktamar ke-35 atau Muktamar Setengah Abad di Jakarta (1962) dan Muktamar ke-36 di Bandung (1965), KH Ahmad Badawi terpilih menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1962–1968).
KH Ahmad Badawi menjadi Ketua PP Muhammadiyah dalam situasi zaman yang sulit. Setelah Masyumi bubar, Muhammadiyah dari luar mendapat tekanan berat. Warganya digolongkan bekas anggota partai terlarang. Dicurigai, diawasi, disingkirkan dari segala kegiatan, dan dicap kontra revolusi. Geraknya ditekan, diintimidasi, dan disertai berbagai fitnah. Banyak pemimpin dan muballighnya ditahan. Sementara dari dalam, antar sesama mudah salah paham. Jika tidak hati-hati, gampang termakan issu dan berselisih. Ukhuwwah hampir terputus oleh selisih yang berpangkal pada perbedaan visi politik. Mereka sebenarnya tetap sayang dan menyayangi Muhammadiyah, menurut pandangan politiknya masing-masing.
Kekesalan hati warga dan kelesuan aktivitas dalam Muhammadiyah sangat terasa dan tampak pada awal kepemimpinan KH Ahmad Badawi. Tentu hal tersebut tidak boleh dibiarkan tanpa solusi dan penyelesaian. Sebab, jika tidak cepat diatasi, hal itu berakibat Muhammadiyah akan mengalami kemunduran dan kemerosotan. Padahal, waktu itu PKI hampir menguasai seluruh lini pemerintahan dan masyarakat. PKI selalu mendekati Presiden Sukarno untuk mempengaruhi dan membisikkan sesuatu kepadanya untuk kepentingan partainya. PKI suka mengadu domba golongan lain dengan pribadi Presiden, melemahkan peran partai-partai lain, dan menghabisi parpol lain yang menjadi lawan politiknya yang tangguh, misal, Masyumi.
Kepemimpinan KH Ahmad Badawi mulai melangkah membina kembali Muhammadiyah, sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid. Itu sudah merupakan kebulatan pendapat PP Muhammadiyah. Maka hal positif agar diambil manfaatnya. Pidato Presiden pada penutupan Muktamar ke-35 di Jakarta yang berjudul “Makin Lama Makin Cinta” tentu menjadi tamparan telak terhadap siapa pun yang tidak suka kepada Muhammadiyah. Apalagi pidato itu bersama hasil Muktamar Setengah Abad kemudian dibukukan, dicetak, dan disiarkan oleh Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani dengan judul “Makin Lama Makin Cinta”. Keputusan Muktamar ke-35 tentang “Kepribadian Muhammadiyah” harus menjadi pegangan dan landasan perjuangan Muhammadiyah. PP Muhammadiyah juga perlu melakukan pendekatan kepada Pemerintah, terutama Presiden. Usaha ke arah itulah yang diistilahkan mencari lampu hijau.
Selain itu, PP Muhammadiyah menggiatkan tourne atau meningkatkan kunjungan ke banyak Wilayah dan Daerah. Biaya tourne tentulah besar. Padahal keuangan PP Muhammadiyah waktu itu masih tipis. Tapi tugas harus dijalani dengan ikhlas. Bagi pimpinan Muhammadiyah sudah terbiasa kerja keras. Apalagi dalam keadaan tertekan dan kekurangan. Mereka dalam melakukan kunjungan sering hanya naik Kereta Api kelas III. Bahkan, Ketua PP Muhammadiyah pun dalam tourne sering naik gerbong barang dan di lokomotif. Terkadang naik bus atau truk. Tekadnya hanya satu asal sampai ke tempat tujuan untuk menggerakkan kembali Muhammadiyah dan membesarkan hati warga dalam ber-Muhammadiyah.
Kepemimpinan KH Ahmad Badawi membuahkan hasil. Meskipun fitnahan dan tuduhan miring kepada Muhammadiyah masih terus terdengar, tapi warga Muhammadiyah sudah berani menjawab dengan lantang tidak. Salah satu buktinya, Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung (1965). Muktamar Bandung memperlihatkan kebesaran potensi Muhammadiyah yang harus diperhitungkan. Presiden Sukarno pun hadir dan memberi sambutan pada pembukaan Muktamar. Pawai Muktamar itu jauh lebih panjang, indah, dan teratur daripada pawai KIAA yang diselenggarakan di kota yang sama tahun 1964.
KH Ahmad Badawi mendapat amanah dan terpilih kembali menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1965 – 1968 dalam Muktamar ke-35. Ini berarti kepemimpinannya pada periode 1962 – 1965 berhasil. Dalam dua periode kepemimpinannya (1962 – 1968), ia sering berada di Jakarta. Karena situasi menghendaki demikian. Tentu untuk keselamatan Muhammadiyah dan ia mesti tetap berpegang teguh pada keputusan Persyarikatan. Apalagi untuk memudahkan sewaktu-waktu bertemu Presiden. Presiden hormat kepadanya dan ia pun tetap santun dan menghormati Presiden. Jika ia memiliki kepentingan tertentu, ia menulis pada selembar kertas dari rumah secara baik, rapi, dan tertib. Nah, ketika ia bertemu Presiden, surat yang telah disiapkan itu lalu dimasukkan ke saku baju Presiden. Terhadap apa yang dilakukan oleh orang dihormatinya itu Presiden sudah paham. Baru kemudian, ketika sendirian, surat itu dibuka dan dibaca. Cara demikian justru banyak membuahkan hasil. Keberadaannya di Jakarta itu juga untuk mencermati apa yang sedang dan akan dilakukan oleh PKI.
Kepemimpinan KH Ahmad Badawi bukan hanya memikirkan Muhammadiyah dan keselamatannya. Tapi juga menolong lainnya agar selamat pula dari fitnah dan ancaman pembubaran, misal, HMI. Dalam sidang DPA (Dewan Pertimbangan Agung), PKI melalui anggota DPA bernama Utrecht memfitnah HMI dan mempengaruhi Presiden untuk membubarkannya. Dapat diduga rencana berikutnya akan mempengaruhi Presiden untuk membubarkan Muhammadiyah. Kemudian tanggal 17 September 1965, Dahlan Ranuwiharjo, SH dan dr. Sulastomo, mereka mewakili PB HMI menemui KH Ahmad Badawi. Mereka melaporkan bahwa kedudukan HMI dalam bahaya. Apa yang dikeluhkan oleh PB HMI itu telah diperjuangkan oleh PP Muhammadiyah, ketika KH Ahmad Badawi bertemu Presiden dan berhasil.
Pada tanggal 30 September 1965, KH Ahmad Badawi dan H Djarnawi Hadikusumo, mewakili PP Muhammadiyah, di Jakarta memperjuangkan keselamatan GKBI. Sebab, Menteri Transkop Achadi telah mengobrak-abrik GKBI. Perjuangan PP Muhammadiyah akhirnya berhasil, meski tidak seketika. GKBI kembali seperti semula, seperti dimaksudkan PP Muhammadiyah, yakni mendudukkan GKBI dalam proporsi koperasi yang sebenarnya. Pada dini hari lepas tengah malam, tanggal 1 Oktober 1965, ketika KH Ahmad Badawi dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta dengan mobil, baru sampai setelah Semarang, terjadilah peristiwa Coup Gestapu/PKI. Sampai di Kauman, Yogyakarta telah dikuasai Dewan Revolusi.
Meletusnya Gestapu/PKI dan kegagalannya menambah kebangkitan Muhammadiyah. Perkembangan Muhammadiyah tambah meluas dan meningkat. PP Muhammadiyah tanggal 6 Oktober 1965 menyatakan, “Gestapu/PKI adalah bencana nasional”. Kiyai Badawi dan Pak H Djarnawi mewakili PP Muhammadiyah, sebagai ormas pertama, yang berteguh janji dengan Mayjen Suharto, tengah malam tanggal 27 Oktober 1965 di Gedung Kostrad, untuk saling membantu menumpas sisa Gestapu/PKI. Muhammadiyah organisasi pertama pula yang mengadakan Konperensi Kilat tanggal 9 – 11 Nopember 1965 menuntut bubarnya PKI. Tuntutan tersebut sebagai dukungan kepada tuntutan Ketua PP Muhammadiyah kepada Presiden untuk segera membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya, yang tindakan pembubaran itu suatu ibadah. Tuntutan itu dikemukakan oleh KH Ahmad Badawi kepada Presiden di Istana Merdeka tanggal 27 Oktober 1965. Kemudian Angkatan Muda Muhammadiyah pun membentuk KOKAM.
Pada masa kepemimpinannya, KH Ahmad Badawi juga tetap dapat menjaga dan kokoh mempertahankan Muhammadiyah tidak menjadi parpol. Meskipun ada kesempatan dan peluang. Deras dan kuat pula tarikan dari kanan – kiri. KH Ahmad Badawi menjadi Ketua PP Muhammadiyah selama dua periode (1962 – 1968) di zaman banyak kesulitan dan kesukaran. Tantangan, baik dari luar maupun dalam, demikian kuat dan hebat. Salah melangkah, Muhammadiyah bisa pecah. Alhamdulillah, Muhammadiyah tetap utuh, bersatu, selamat, dan terus berkembang.
Itulah KH Ahmad Badawi, Sang Penyelamat Muhammadiyah. Pada masa kepemimpinan nya banyaklah pengorbanan yang diberikan secara tulus dan hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Segenap ibadah, amal, dan pengorbanannya dalam perjuangan yang panjang dalam Muhammadiyah akan mengantarkan dan menyertainya dalam kembali menghadap kehadirat Allah. Kini ia telah tiada, wafat di RSU Muhammadiyah Yogyakarta tanggal 25 April 1969 dalam usia 67 tahun dan dimakamkan di Karangkajen, dekat makam KH Ahmad Dahlan.