Oleh; Dr HM Busyro Muqoddas, MHum
SUARA MUHAMMADIYAH, Saya melalui Ikatan Pelajar Muhammadiyah, dan barangkali kader ortom persyarikatan lain juga, merasakan betul materi perkaderan saat itu menawarkan konsep Islam yang otentik, murni, sesuai Al-Qur’an dan sunnah Rasul dengan akal pikiran yang cerdas.
Dari berbagai materi perkaderan yang diberikan itu, muncul pertanyaan, apakah pelatihan-pelatihan yang diberikan Muhammadiyah itu mengajarkan wajah Islam yang beringas, keras, kasar, yang mengundang lawan dan membunuh kawan? Jawabannya tidak.
Kalau materi perkaderan yang diberikan Muhammadiyah itu mengandung kekerasan, tentu sudah sejak lama persyarikatan ini bubar, minimal terjadi perpecahan di internal Muhammadiyah. Fakta menunjukkan sudah 106 tahun hijriyah atau 103 tahun miladiyah, Muhammadiyah tidak pernah menyelenggarakan muktamar, bahkan sampai musyawarah di tingkat ranting, muncul muktamar tandingan atau muhammadiyah perjuangan sebagaimana organisasi Islam lain.
Itu belum pernah terjadi, syukur alhamdulillah. Karena memang peserta muktamar adalah produk dari pimpinan dan warga Muhammadiyah yang terseleksi dengan baik lewat Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD ART).
Selain mengajarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, materi perkaderan Muhammadiyah juga mengajarkan Islam yang membawa perubahan. Inna Allaha la yughayiru bi qaumin hatta yughayiru ma bi anfusihim. Artinya Islam yang dipahami Muhammadiyah tidak statis, tidak ajeg, dan terus melakukan perubahan-perubahan.
Lalu apakah pimpinan-pimpinan Muhammadiyah dari awal berdiri sampai hari ini membawa manfaat bagi bangsa ini? Jawabnya iya. Ada banyak bukti yang menguatkan itu. Salah satu bukti yang paling fundamental adalah peran sentral tiga serangkai pimpinan Muhammadiyah dalam menyusun dasar Negara Pancasila, yaitu Ki Bagoes Hadikusumo, Kahar Mudzakir, dan Kasman Singodimedjo.
Tanpa jasa mereka, negara ini tidak pernah ada jika mereka bersikeras tidak mau mengubah tujuh kata Piagam Jakarta. Setelah mengubah itu, Ki Bagoes menjelaskan kepada Bung Karno bahwa sila pertama itu artinya adalah tauhid. Itulah sumbangan terbesar Muhammadiyah kepada bangsa ini.
Jasa pemimpin Muhammadiyah tersebut adalah bukti bahwa persyarikatan Muhammadiyah cinta tanah air dan menjunjung tinggi toleransi. Toleransi kala itu dilakukan demi keutuhan bangsa yang memang butuh akan hal tersebut. Bahkan kemudian hari, cinta tanah air Muhammadiyah dikuatkan lagi dengan didirikannya kepanduan Hizbul Wathan, yang artinya Pembela Tanah Air.
Hari ini kita banyak menyaksikan dan mendengar berbagai pendapat seolah umat Islam yang menjadi mayoritas tidak toleran dengan minoritas. Hal itu adalah bagian dari upaya untuk mengaburkan sejarah sekaligus mendiskriptifkan Islam dan umat Islam sebagai terdakwa dalam kasus politik. Sampai detik ini upaya itu terus dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Parahnya pemerintah percaya akan hal itu. Sebagai contoh, akhir-akhir ini banyak kasus-kasus perampokan kekayaan negara yang dilakukan oleh partai politik secara sistematik.
Melihat maraknya kasus korupsi, kemudian ada sebagian orang yang tergerak untuk membela rakyat. Namun apa yang terjadi, para pembela rakyat ini justru disingkirkan pemerintah dengan alasan mengganggu kestabilan negara.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sengaja dijebak agar terjerumus pada kasus-kasus politik seperti kasus terorisme. Semua itu sengaja dibuat semata karena ingin menguras harta dan kekayaan negara.
Agar kader Muhammadiyah tidak menjadi korban yang dijebak, maka membaca kembali sejarah, membumikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin memang perlu. Selain itu, terus melakukan perubahan demi kepentingan umat dan rakyat adalah suatu keharusan (gsh)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 10 Tahun 2016