Umat Berkarakter

Umat Berkarakter

Ilustrasi

Umat Islam semestinya mengikuti keteladanan Nabi Muhammad sebagai figur utama yang berkarakter al-akhlaq al-karimah. Nabi itu Uswah Hasanah (Qs Al-Ahzab: 21) dan berakhlak mulia (Qs Al-Qalam: 4). Dengan ajaran Islam dan ibadah-ibadah yang diajarkannya seperti shalat, puasa, dan haji harus menjadikan setiap Muslim berkarakter akhlak mulia, yang menampilkan sikap shalih secara otentik baik di ranah privat maupun publik.
Karakter akhlak mulia itu harus menjadi “mode for action”, yaitu patokan berperilaku yang benar, baik, dan patut dalam setiap tindakan orang Islam. Tidak ada agama yang demikian kuat karakter ajaran moral yang ditanamkannya kecuali Islam, yang segala acuan perilakunya demikian detail dan aplikatif dari cara makan sampai akhlak terhadap lingkungan, hewan, tumbuhan, dan sesama insan. Bahkan diajarkan akhlak terhadap Allah Al-Khaliq.
Namun kita juga prihatin bahwa di dunia nyata norma akhlak itu belum menjadi karakter yang menyatu dalam sikap, perilaku, dan tindakan yang konsisten dalam kehidupan setiap Muslim. Normatifnya tentu kuat, tetapi aplikasinya masih perlu pembelajaran dan pembiasaan terus menerus terutama akhlak secara kolektif. Hal itu dapat ditunjukkan dengan fakta perilaku yang masih menunjukkan jarak antara yang seharusnya dengan yang senyatanya.
Sebutlah perilaku korupsi, kekerasan, penyimpangan moral, dan hal-hal yang kurang patut dalam kehidupan sehari-hari di negeri Muslim terbesar ini. Belum termasuk kebiasaan hidup kumuh yang mengesankan tidak mampu merawat kebersihan dan lingkungan. Dari sejumlah contoh itu umat belum memiliki tradisi atau karakter kuat sebagai pemberi teladan hidup bersih, meski ajaran moralnya cukup lantang al-nadhafatu min al-iman, bahwa kebersihan itu bagian dari iman. Demikian halnya soal hidup tertib, disiplin, tepat waktu, kebiasaan antri, dan hal sehari-hari lainnya.
Perilaku amanah juga belum menjadi karakter yang meluas dari elite hingga umat yang awam. Kalau memperoleh jabatan kekuasaan, tidak sedikit yang kemudian tergelincir dalam korupsi dan penyimpangan. Sesama Muslim saling berebut kedudukan, yang menyebabkan konflik. Demi kepentingan kelompok atau golongannya berani melakukan segala cara. Sesama organisasi atau tokoh atau aktivis Muslim mudah bermusuhan kalau sudah menyangkut perebutan jabatan. Partai Islam gampang pecah.
Jika kata tak sejalan tindakan, maka orang lain akan berpandangan negatif, apa bedanya orang ber-Islam dengan yang sekuler dalam hal memegang kekuasaan. Jika dalam memegang kekuasaan dan berpolitik masih mempraktikkan cara the end justifies the mean, demi meraih tujuan berani menghalalkan segala cara. Jangankan kepada orang lain, terhadap sesama Muslim pun berbuat tidak adil dan sewenang-wenang. Politik kemudian menjadi faktor pemecah, bukan pemersatu untuk membangun kemajuan Islam.
Karakter elite dan warga umat berbasis akhlak mulia harus tercermin dalam berpolitik. Kalau musim Pemilu, Pemilukada, dan kontestasi politik praktis jangan terjebak politik uang atau mengkomoditisasikan umat. Politik memang penting tetapi idealisme, etika, dan kehormatan tidak boleh dikorbankan. Bersikaplah cerdas, bijaksana, dan mengindahkan prinsip. Politik tidak boleh menghalalkan segala cara, diskriminasi, menyimpang, dan menjadi alat permusuhan. Itulah pentingnya akhlak mulia dalam berpolitik.
Sikap puritan dalam beragama pun harus menampilkan karakter yang mulia dalam perilaku sehari-hari. Kata harus sejalan tindakan serta tidak mudah terbuai godaan hidup. Orang lain akan dengan cermat mengamati, apakah keteguhan dan keindahan kata-kata dalam beragama itu terwujud dalam tindakan yang serbabaik dan memberi manfaat bagi sesama. Kalau terjadi paradoks perilaku, maka orang lain tidak akan menaruh kepercayaan. Jika umat kehilangan karakter diri maka yang terjadi ialah murahnya harga kehormatan Islam.• A. Nuha

Exit mobile version