Oleh; M Muchlas Abror
Kepemimpinan KH Ahmad Badawi membuahkan hasil. Meskipun fitnahan dan tuduhan miring kepada Muhammadiyah masih terus terdengar, tapi warga Muhammadiyah sudah berani menjawab dengan lantang tidak. Salah satu buktinya, Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung (1965). Muktamar Bandung memperlihatkan kebesaran potensi Muhammadiyah yang harus diperhitungkan. Presiden Sukarno pun hadir dan memberi sambutan pada pembukaan Muktamar. Pawai Muktamar itu jauh lebih panjang, indah, dan teratur daripada pawai KIAA yang diselenggarakan di kota yang sama tahun 1964.
KH Ahmad Badawi mendapat amanah dan terpilih kembali menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1965 – 1968 dalam Muktamar ke-35. Ini berarti kepemimpinannya pada periode 1962 – 1965 berhasil. Dalam dua periode kepemimpinannya (1962 – 1968), ia sering berada di Jakarta. Karena situasi menghendaki demikian. Tentu untuk keselamatan Muhammadiyah dan ia mesti tetap berpegang teguh pada keputusan Persyarikatan. Apalagi untuk memudahkan sewaktu-waktu bertemu Presiden. Presiden hormat kepadanya dan ia pun tetap santun dan menghormati Presiden. Jika ia memiliki kepentingan tertentu, ia menulis pada selembar kertas dari rumah secara baik, rapi, dan tertib. Nah, ketika ia bertemu Presiden, surat yang telah disiapkan itu lalu dimasukkan ke saku baju Presiden. Terhadap apa yang dilakukan oleh orang dihormatinya itu Presiden sudah paham. Baru kemudian, ketika sendirian, surat itu dibuka dan dibaca. Cara demikian justru banyak membuahkan hasil. Keberadaannya di Jakarta itu juga untuk mencermati apa yang sedang dan akan dilakukan oleh PKI.
Kepemimpinan KH Ahmad Badawi bukan hanya memikirkan Muhammadiyah dan keselamatannya. Tapi juga menolong lainnya agar selamat pula dari fitnah dan ancaman pembubaran, misal, HMI. Dalam sidang DPA (Dewan Pertimbangan Agung), PKI melalui anggota DPA bernama Utrecht memfitnah HMI dan mempengaruhi Presiden untuk membubarkannya. Dapat diduga rencana berikutnya akan mempengaruhi Presiden untuk membubarkan Muhammadiyah. Kemudian tanggal 17 September 1965, Dahlan Ranuwiharjo, SH dan dr Sulastomo, mereka mewakili PB HMI menemui KH Ahmad Badawi. Mereka melaporkan bahwa kedudukan HMI dalam bahaya. Apa yang dikeluhkan oleh PB HMI itu telah diperjuangkan oleh PP Muhammadiyah, ketika KH Ahmad Badawi bertemu Presiden dan berhasil.
Pada tanggal 30 September 1965, KH Ahmad Badawi dan H Djarnawi Hadikusumo, mewakili PP Muhammadiyah, di Jakarta memperjuangkan keselamatan GKBI. Sebab, Menteri Transkop Achadi telah mengobrak-abrik GKBI. Perjuangan PP Muhammadiyah akhirnya berhasil, meski tidak seketika. GKBI kembali seperti semula, seperti dimaksudkan PP Muhammadiyah, yakni mendudukkan GKBI dalam proporsi koperasi yang sebenarnya. Pada dini hari lepas tengah malam, tanggal 1 Oktober 1965, ketika KH Ahmad Badawi dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta dengan mobil, baru sampai setelah Semarang, terjadilah peristiwa Coup Gestapu/PKI. Sampai di Kauman, Yogyakarta telah dikuasai Dewan Revolusi.
Meletusnya Gestapu/PKI dan kegagalannya menambah kebangkitan Muhammadiyah. Perkembangan Muhammadiyah tambah meluas dan meningkat. PP Muhammadiyah tanggal 6 Oktober 1965 menyatakan, “Gestapu/PKI adalah bencana nasional”. Kiai Badawi dan Pak H Djarnawi mewakili PP Muhammadiyah, sebagai ormas pertama, yang berteguh janji dengan Mayjen Suharto, tengah malam tanggal 27 Oktober 1965 di Gedung Kostrad, untuk saling membantu menumpas sisa Gestapu/PKI. Muhammadiyah organisasi pertama pula yang mengadakan Konperensi Kilat tanggal 9 – 11 Nopember 1965 menuntut bubarnya PKI. Tuntutan tersebut sebagai dukungan kepada tuntutan Ketua PP Muhammadiyah kepada Presiden untuk segera membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya, yang tindakan pembubaran itu suatu ibadah. Tuntutan itu dikemukakan oleh KH Ahmad Badawi kepada Presiden di Istana Merdeka tanggal 27 Oktober 1965. Kemudian Angkatan Muda Muhammadiyah pun membentuk KOKAM.
Pada masa kepemimpinannya, KH Ahmad Badawi juga tetap dapat menjaga dan kokoh mempertahankan Muhammadiyah tidak menjadi parpol. Meskipun ada kesempatan dan peluang. Deras dan kuat pula tarikan dari kanan – kiri. KH Ahmad Badawi menjadi Ketua PP Muhammadiyah selama dua periode (1962 – 1968) di zaman banyak kesulitan dan kesukaran. Tantangan, baik dari luar maupun dalam, demikian kuat dan hebat. Salah melangkah, Muhammadiyah bisa pecah. Alhamdulillah, Muhammadiyah tetap utuh, bersatu, selamat, dan terus berkembang.
Itulah KH Ahmad Badawi, Sang Penyelamat Muhammadiyah. Pada masa kepemimpinan nya banyaklah pengorbanan yang diberikan secara tulus dan hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Segenap ibadah, amal, dan pengorbanannya dalam perjuangan yang panjang dalam Muhammadiyah akan mengantarkan dan menyertainya dalam kembali menghadap kehadirat Allah. Kini ia telah tiada, wafat di RSU Muhammadiyah Yogyakarta tanggal 25 April 1969 dalam usia 67 tahun dan dimakamkan di Karangkajen, dekat makam KH Ahmad Dahlan.•