YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah—Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Agung Danarto mengatakan bahwa Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia merupakan tafsir konstektual dari pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadis. Pancasila merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu, termasuk para ulama Muhammadiyah, semisal Kahar Muzakkir, Mas Mansur, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
“Pancasila merupakan tafsir konstektual dari nilai-nilai ajaran dalam Al-Qur’an dan Sunnah,” kata Agung dalam salah satu sesi Darul Arqam Madya (DAM) yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Sleman, di BLK PAY Yogyakarta, pada Kamis (8/9).
Agung berargumen bahwa dari segi nilai-nilai moral, kandungan Pancasila sangat sesuai dengan ajaran Qur’an. Misalkan sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, memuat dimensi tauhid atau akidah. Meskipun tujuh kata, “…dan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” ditiadakan, sama sekali tidak mengurangi esensi dari sila pertama itu.
Justru pengurangan kalimat yang berasal dari Piagam Jakarta itu, kata Agung, merupakan hal positif. Karena mengubah dimensi syariat ke dimensi akidah. Kalimat ‘Ketuhanan YME’ mengandung dimensi yang luas dan komprehensif. Sementara tujuh kata dalam Piagam Jakarta hanya memuat dimensi syariat atau esoterisnya saja.
Pancasila, kata Agung, merupakan ideologi terbuka. Sebagai ideologi terbuka, siapa saja bisa memberi alternatif tafsir. Tinggal tafsir mana yang bisa diterima dan memberi pengaruh. Oleh karena ini, Muhammadiyah harus merebut tafsir terhadap Pancasila. Jika tidak, maka dikhawatirkan justru akan diisi oleh berbagai kelompok yang mungkin tidak sepaham dengan Pancasila.
Secara garis besar, poin-poin Pancasila dianggap oleh Muhammadiyah sesuai dengan ajaran Islam dan sesuai dengan Muhammadiyah. Menurut Agung, Pancasila ditafsirkan oleh Muhammadiyah sesuai dengan nilai-nilai keislaman dan kemuhammadiyahan, untuk mewujudkan tujuan bernegara yaitu mencapai baldatun tayyibatun warabbun ghafur. Cita-cita negara dan cita-cita Muhammadiyah itu sama, dalam rangka mewujudkan negara sejahtera, adil, makmur sentausa.
Muhammadiyah, kata Agung, berpandangan bahwa NKRI dengan Pancasila sah saja diterima karena keberadaannya bisa menjamin manusia untuk melaksanakan dua tugas pokok kemanusiaannya. Pertama, untuk melaksanakan ibadah kepada Allah sebagaimana dalam QS. al-Dzariyat (51): 56. “wama khalaqtu al-jinna wa al-insa illa liya’budun” (Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku).
Tugas kedua, adalah untuk menciptakan rahmatan lil alamin. Sesuai dengan ayat QS Al Anbiya’: 107: “wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin” (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam). Realitas Indonesia yang multikultural, ujar Agung, sangat mendukung perwujudan pesan rahmatan lil alamin dari ayat ini.
Di Indonesia, kata Agung, semua umat Islam diberi kebebasan dan bahkan difasilitasi untuk menjalankan tugas kemanusiaannya itu. Atas beragam pertimbangan, Muhammadiyah kemudian memposisikan negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah. Yaitu negara hasil konsensus bersama dan merupakan tempat bagi semua golongan untuk saling memberi konstribusi dan dedikasi sebagai wujud kesaksian. (Ribas)