Oleh Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Kehadiran Majalah Suara Muhammadiyah adalah matarantai hadirnya Islam yang berwatak pembaruan. Majalah ini lahir langsung dari rahim pendiri Muhammadiyah Kyai Haji Ahmad Dahlan bersama para penggerak generasi awal yang sadar akan pentingnya publikasi dakwah yang membawa suara kemajuan. Ketika saat itu ide kemajuan atau pembaruan masih dianggap tabu dan di luar kelaziman, bahkan dianggap sebagai penyimpangan dari arus utama Islam yang tradisional, Muhammadiyah hadir di tengah umat membawa suara pembaruan.
SM lahir tahun 1915. Di majalan SM inilah ujaran Kyai Dahlan yang ditemukan sejarawan Prof Dr Kuntowijoyo tersaji secara otentik. Pendiri Muhammadiyah itu menyatakan dalam bahasa Jawa, yang intinya gerak Muhammadiyah harus “sejalan dengan ajaran Islam dan kemajuan zaman”. Gagasan kemajuan menjadi lekat dengan sang pencerah dari Kauman Yogyakarta ini, yang menjadi label utama Muhammadiyah. Karenanya Muhammadiyah disebut sebagai gerakan reformis atau modernis yang membawa misi Islam berkemajuan.
Spirit Awal
Majalah SM atau Suara Muhammadiyah sejak awal memang hadir untuk mempublikasikan pandangan Islam berkemajuan. Ketika itu kaum tradisional selain tertinggal dalam pemikiran dan kehidupan di segala bidang, pada saat yang sama masih menggunakan pranata-pranata lama dalam mengajarkan dan mengembangkan dakwah Islam. Mereka bahkan alergi dan menentang pembaruan. Ketika menawarkan gagasan pelurusan arah kiblat dan mendirikan sistem skolah, Kyai Dahlan dianggap sebagai “kafir”. Kyai Dahlan dan Muhammadiyah waktu itu dipandang sebagai pembawa agama baru.
Karenanya diperlukan media yang menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaruan Islam agar umat secara umum memahami. SM generasi awal masih berbahasa Jawa, kemudian bercampur dengan bahasa Melayu atau Indonesia. Dalam majalah yang juga menjadi Berita Resmi Muhammadiyah ini banyak digagas pikiran-pikiran maju. Dalam SM tahun 1922, satu tahun sebelum Kyai Dahlan wafat, SM dengan berani memuat bahasan “Islam Agamai Nalar”, dalam bahasa Jawa, yang artinya “Islam sebagai Agama berpikir”. Untuk ukuran saat itu merupakan lompatan berpikir yang luar biasa maju.
Majalah SM tahun 1917 sudah disebarluaskan ke luar wilayah Yogyakarta. Melalui kerjasama dengan jaringan Boedi Oetomo, majalah ini selain ikut memperkenalkan bahasa Melayu sebagai bagian dari semangat kebangkitan nasional, juga meluaskan daya jelajah penyebarannya ke daerah-daerah lain di Hindia Timur. Langkah tersebut diambil setelah Kyai Dahlan atau PB Muhammadiyah menjadi tuan rumah Kongres Boedi Oetomo di Kauman Yoguakarta. Sebuah langkah penting yang menunjukkan sikap inklusif Kyai Dahlan untuk bekerjasama dengan golongan terdidik “abangan” dan “sekuler”.
SM sebagai media publik Muhammadiyah satu matarantai dengan kesadaran memperluas jangkauan dakwah Muhammadiyah. Majalah ini membangun tradisi literasi di kalangan umat Islam dan masyarakat Indonesia yang tal terrdidik. Waktu itu dalan struktur organisadi PB Munammadiyah terdapat empat Bahagian (sekarang Majelis) yaitu Bahagian Pendidikan, Bahagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem, kini PKU), Bahagian Tabligh, dan Bahagian Taman Pustaka. Dua Bahagian yang disebut terakhir, yaitu Bahagian Tabligh dan Bahagian Taman Pusataka sangat erat kaitannya dengan publikasi, yakni dakwah bil-qalam di ranah umum.
Kesadaran dakwah di ruang publik secara proaktif melalui tulisan merupakan terobosan bagi gerakan Islam yang waktu itu belum mengenal tradisi media massa sebagai instrumen atau pranata modern untuk berinetaraksi memperkenalkan gagasan ke khalayak umum. Hal itu menunjukkan pikiran maju Muhammadiyah generasi awal. Di antara kaum muda yang memiliki tradisi menulis saat itu yang menemani Kyai Dahlan, yakni Fakhruddin adalah sosok paling produktif karena dialah satu-satunya penulis di media massa umum, selain di majalah Suara Muhammadiyah. Kesadaran literasi melalui SM dan Taman Pustaka itu merupakan aktualisasi Islam berkemajuan yang lahir dari spirit iqra yang membawa misi pembaruan.
Gerak Seabad
SM tumbuh pasang surut, sempat berhenti dan tidak terbit, tetapi bangkit kembali dan terus merambat. Hingga tahun 1980an majalah ini masih bergaya lama, tetapi sudah bercover lumayan bagus. Dua tokoh yang membesarkan SM menjadi lebih tampil bagus pada era tahun1970an hingga 1980an ialah Mohammad Diponegoro, HM Basuni, dan Adjib Hamzah, yang juga dikenal budayawan. Sejak masa Pak Amien Rais dan Pak Syafii Maarif perubahan signifikan tampak lebih berkemajuan, baik isi dan isu maupun tampilannya. Kedua tokoh ini membawa ide perubahan, sebagaimana ketika memimpin Majelis Tabligh yang ditaburi para cendekiawan muslim sebagai titik awal gerakan pembaruan dalam Muhammadiyah era Muktamar Surakarta tahun 1985.
Ketika penulis melanjutkan pembaruan SM pasca Pak Amien dan Pak Syafii yang dilanjutkan Pak Syukriyanto AR, oplah SM waktu itu menyentuh angka sekutar 13 ribu tiras. Saya dan tim dari redaksi serta perusahaan SM ketika mengembangkan pengelolaan SM berusaha memaksimalkan ikhtiar menjadikan SM sebagai media sekaligus perusahaan yang lebih berkemajuan. Alhamdulillah pelan tapi pasti SM sekarang terbit dengan oplah 30 ribu sampai 35 ribu, suatu pencapaian yang masih ingin terus dioptimalkan hingga 50 ribu kemudian 75 ribu, sampai 100 ribu. Jika segenap anggota inti Pimpinan Persyarikatan saja dari Pusat sampai Ranting berlangganan SM bisa mencapai angka sekitar 150 ribu, belum termasuk jika dimasukkan anggota Majelis, Lembaga, Ortom, dan amal usaha di lingkungan Muhammadiyah.
Sungguh tidak perlu muluk-muluk hingga mencapai satu juta eksemplar, bertahap mampu 15o ribu pun tentu sangat maju, karena SM tumbuh dan mekar nyaris tanpa proteksi pewajiban untuk berlangganan. Capaian 35 ribu itu murni dari hasil usaha peofesional merebut pasar secara normal, bukan dengan kebijaka. mewajibkan oleh PP Muhammadiyah. Orang boleh menganggap jumlah itu tidak seberapa dibandingkan proporsi jumlah anggota Muhammadiyah yang konon sekitar 35 juta orang. Tetapi dengan hadir secara profesional tanpa proteksi kebijakan, kecuali himbauan berlangganan, maka inilah satu-satunya media cetak Islam dalam bentuk majalah yang masih bertahan dan mampu berkembang. Majalah Sabili yang sempat hadir secara spektakuler akhirnya bernasib sama dengan majalah Islam lain yang lebih dulu berhenti seperti Panjimas, Kiblat, Risalah, dan Ummat.
Orang boleh melihat sisi kurang SM, tetapi untuk menjadi tumbuh seperti ini sungguh merupakan perjalanan panjang yang tidak mudah. Teori dan harapan boleh tinggi, tetapi untuk terus berkembang dengan kemampuan sendiri sungguh pekerjaan yang berat dan memerlukan kesungguhan, etos kerja tinggi, dan daya tahan yang tangguh. Mengelola majalah dengan bekal kemandirian merupakan suatu dinamika sendiri, yang boleh jadi orang luar hanya melihatnya ringan tetapi bagi mereka yang menjalankannya sungguh merupakan jihad yang tak berkesudahan.
Pelajaran berharga dari pengalaman SM yang masih bertahan dan mampu berkembang dibandingkan majalah Islam lain itu menunjukkan kemampuan manajerial para kru SM dalam mengelola majalah warisan Kyai Dahlan ini dengan seksama dan profesional. Dengan datangnya tenaga baru seperti saudara Deni Asyari yang memimpin perusahaan dan menjadi Dirut SCM (Syarikat Cahaya Media) maka SM berkembang menjadi perusahaan yang maju dan sehat. Insya Allah tahun 2016 ini jika izin mendirikan bangunan keluar, SM akan memiliki gedung baru yang cukup megah yang diberi nama Grha Suara Muhammadiyah sebagai titik tolak memulai abad kedua Suara Muhammadiyah sebagai kebanggan Muhammadiyah.
Kini usia SM 101 tahun. SM saat ini menghadapi era baru kehidupan masyarakat posmodern. Maka menjadi kewajiban semua warga, kader, dan elit pimpinan Muhammadiyah di mana pun berada untuk ikut membesarkan SM dengan cara berlangganan untuk merawat warisan sejarah pendiri Muhammadiyah yang penting dan strategis ini. Apa yang dirintis Kgai Dahlan dan generasi awal sesungguhnya menjadi tanggungjawab semua pihak di lingkungan Persyarikatan untuk ikut memelihara dan membesarkanya. Di tengah tuntutan zaman yang semakin kompleks dan sarat kompetisi, diperlukan daya pikir dan langkah antisipasi yang visioner pihak SM dan para pimpinan Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan pernah berpesan, “Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang”. Maka, bawalah Suara Muhammadiyah menjadi media pembawa panji Islam berkemajuan di tengah tantangan zaman baru abad kedua untuk menyebarluaskan misi pencerahan!