YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah–KAMASTU (Kajian Malam Sabtu) yang diadakan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY pada Jum’at (4/11), membedah buku dr Najih Ibrahim berjudul Bahaya Mimpi al-Baghdadi: Seruan Menggagas Fiqh Moderasi. Jika Imam Syafi’i terkenal dengan adanya qaul qadim (perkataan terdahulu) dan qaul jadid (perkataan terbaru), maka begitu juga yang dialami dr Najih Ibrahim.
Dulunya dr Najih termasuk tokoh pendiri Jama’ah Islamiyah di Mesir. Pemikirannya saat itu banyak menggerakan umat Islam untuk berlaga di medan jihad. Akan tetapi karya ini merupakan buah pikir dr Najih yang termasuk kategori qaul jadid, yang ditulis setelah mengalami pergesaran pemahaman dan perubahan manhaj jihad. Kajian di gedung PWM DIY ini menghadirkan Mushab Muqoddas, yang menerjemahkan buku tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Mushab menjelaskan bahwa Jamaah Islamiyah Mesir telah beralih manhaj membentuk partai dan masuk ke parlemen. Jamaah Islamiyah pada mulanya menekankan pada manhaj jihad, sehingga pimpinan dan anggotanya banyak dijebloskan ke penjara. Hal ini memicu ketakutan umat dan menjadi hambatan dakwah. Kemudian manhaj barunya mengembalikan jamaah ke tengah umat Islam, bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat untuk memajukan masyarakat Islam.
Selanjutnnya Mushab memaparkan fenomena politik yang terjadi di timur tengah, termasuk persoalan mengenai ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Menurutnya, ISIS cenderung kepada dakwah organisasi, bukan agama. Dengan demikian, lanjut Mushab, muncullah dialektika takfir yang menganggap orang di luar organisasinya sebagai kafir.
“Ketika ada anggota mereka gugur misalnya, mereka mengatakan langsung masuk surga. Jika di luar anggota mereka, dikatakan langsung masuk neraka, seolah mereka lupa bahwa surge dan neraka itu milik Allah”, papar Mushab Muqoddas. Ia juga mengungkapkan bahwa mereka seolah lupa bahwa setelah kematian itu ada alam barzakh, kemudian dibangkitkan pada hari kiamat untuk hisab, barulah ke surga atau neraka, tidak langsung.
Diantara usaha yang dilakukan kelompok semacam itu ialah dengan teori konspirasi untuk mempengaruhi masyarakat umum. “Ya, meskipun sebenarnya teori konspirasi ini tidak hanya dilakukan oleh gerakan jihad semacam ini saja”, tegasnya.
“Beruntung Muhammadiyah mempunyai wadah pembinaan kader mulai dari tingkat ranting, di tingkat pelajar ada IPM, di tingkat Mahasiswa ada IMM, kemudian bisa masuk ke Pemuda Muhammadiyah maupun Nasyi’atul A’isyiyah dan begitu seterusnya, sehingga segala potensi kader dapet tersalurkan ke arah yang positif”, tutur pembicara yang merupakan Staf Politik Kedutaan Besar RI di Mesir itu.
“Tidak mungkin, selama pengajian-pengajian semacam ini masih ada”, jawab Mushab saat seorang peserta menanyakan tentang anggapan sebagian pengamat yang mengatakan bahwa Indonesia kemungkinan dapat menjadi seperti Suriah. Ia menambahkan bahwa kelompok ekstrim biasanya mencari target orang yang lemah dari sisi keagamaan namun semangatnya terlalu berkobar.
“Jadi, kita perlu dialektika dakwah hidayah, bukan takfiri. Dialektika kebaikan, bukan keburukan, serta dialektika persaudaraan. Setiap pergerakan ekstrim itu berhak dibina, dan setiap pembinaan perlu ketenangan” tutup Mushab (Rayhan).