YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Berbeda zaman akan berbeda metode. Berbeda usia tentu juga berbeda tantangan. Demikian yang harus disadari para guru generasi X dan Y yang hari ini mengajar anak-anak yang termasuk dalam generasi Z.
Ditambah dengan realitas era digital, mengakibatkan globalisasi dan keterbukaan informasi. Terutama para guru agama tidak boleh lagi kaku dalam mengajarkan pendidikan keagamaan. Namun harus lebih fleksibel dan mampu mengintegrasikan apa yang diajarkan dengan berbagai disiplin ilmu lainnya.
“Guru memang harus menjadi pembelajar, sehingga harus mampu menguasai perkembangan teknologi terutama di era digital seperti pada saat ini,” ujar Mu’ti.
Hal itu dikatakan Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) Abdul Mu’ti dalam Seminar Pendidikan Keagamaan dalam rangka HUT PGRI dan Hari Guru Nasional di Pendapa Dipokusumo Purbalingga, Kamis (24/11).
Menurutnya, guru agama tak boleh telmi (telat mikir). Tetapi harus mampu mengikuti perkembangan zaman. Sehingga pendidikan keagamaan yang diberikan kepada anak didik mampu menjawab tantangan moralitas di era digital. “Era digital menjadi tantangan utama bagi pendidikan agama dalam dunia global,” kata Mu’ti.
Mu’ti mengingatkan bahwa anak-anak sekarang semakin kritis. Mungkin saja seorang anak SD kemudian mengajukan pertanyaan kritis, semisal ‘kenapa poligami diperbolehkan tapi poliandri dilarang?’. Atau pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya yang sebelumnya sama sekali tak terpikirkan oleh para guru.
“Sekarang bagaimana guru agama bisa menjawab berbagai realitas beragama itu tidak tunggal. Bahwa orang beragama itu tidak hanya di Indonesia saja. Dan kemungkinan mereka akan tinggal di negara yang sama sekali tidak dibayangkan. Itulah tantangan pendidikan keagamaan di era moralitas masyarakat yang makin longgar,” tutur Mu’ti.
Dia menambahkan, dalam kaitannya bagaimana kita menyikapi dunia digital, anak-anak juga harus diberikan orientasi untuk bisa meraih pekerjaan dengan pendidikannya. Di antara kenapa pendidikan agama dinomorsekiankan oleh murid, sebagiannya karena pendidikan agama tidak menjadi materi ujian nasional. Bahkan tidak bisa digunakan untuk melamar di dunia kerja.
Dalam menyikapi kondisi tersebut, Abdul Mu’ti mengajak para guru dapat memberikan anak didik dengan keterampilan-keterampilan. Berupa akademik skill yakni kemampuan agar dia bisa belajar. Kemudian leadership skill atau kemampuan yang berkaitan dengan kepemimpinan dan religius skill atau kompetensi keagamaan.
Menurut Mu’ti ada beberapa kompetensi keagamaan yang penting dilakukan sehingga anak didik mendapatkan dasar-dasar keagamaan yang kuat. “Khususnya akidah, ibadah dan akhlakul karimah, dengan tetap memberikan ruang agar mereka ini siap ketika melihat adanya perbedaan,” katanya (Ribas).