Fatwa Tarjih: Shalat Jumat di Ruang Aula Sekolah

Fatwa Tarjih: Shalat Jumat di Ruang Aula Sekolah

Ilustrasi

Pertanyaan Dari:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Maaf saya mau tanya, karena ini berkaitan dengan hukum agar supaya mantap dalam beribadah. Saya guru di SMA Muhammadiyah, selama ini kegiatan shalat Jumat anak-anak dibebaskan di rumah, termasuk ada yang di masjid milik Muhammadiyah yang jarak dari sekolah kami ±100 meter, cuma mulai bulan Oktober 2014 shalat Jumat dilakukan di sekolah, padahal belum punya masjid masih sebatas ruang/aula di tingkat tiga, di atas aula adalah ruang band musik. Pertanyaan saya;

  1. Sah tidak pelaksanaan shalat Jumat di sekolah yang sebenarnya masih bisa dilakukan di masjid milik Muhammadiyah di sekitar sekolah?
  2. Apakah diperbolehkan dengan alasan untuk tarbiyah (pendidikan) siswa lalu mengadakan shalat Jumat di ruangan aula sekolah?
  3. Apa saja syarat terkait dengan tata cara shalat Jumat, baik dari segi tempat, jumlah, jarak dan sebagainya?
  4. Mohon munculkan dalil yang menguatkan jawaban ini, karena jujur yang saya pelajari membuat saya masih ragu untuk shalat di sekolah yang belum punya tempat ibadah khusus, ada masjid Muhammadiyah yang bisa digunakan untuk shalat Jumat.

Mohon jawabannya sesegera mungkin agar kami mantap dalam memutuskan hal ini! Jazakumullahu khairan sebelumnya.

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

AM Saba (disidangkan pada hari Jum’at, 22 Jumadilawal 1436 H / 13 Maret 2015)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Dari empat pertanyaan yang saudara ajukan, untuk menjawabnya akan kami urutkan dimulai dari nomor 3, nomor 1, dan nomor 2 yang sekaligus kami cantumkan dalil-dalilnya sebagai jawaban untuk pertanyaan nomor 4.

Pertanyaan 3:

  1. Orang yang berkewajiban dan cara melaksanakan shalat Jumat.

Orang yang diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jumat dapat dilihat dalam firman Allah Q.S. al-Jumu‘ah (62) ayat 9,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ .

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dalam ayat ini kewajiban melaksanakan shalat Jumat adalah bagi setiap orang yang beriman. Namun dalam hadis, shalat Jumat tidak diwajibkan bagi hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit, sebagaimana hadis berikut ini,

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ.

Dari Thariq ibn Syihab, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Shalat Jum’at wajib bagi setiap orang Muslim dengan berjamaah, kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit [H.R. Abu Dawud no. 1067]. Hadis serupa diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi no. 5578 dari jalur Abu Musa.

Berdasarkan hadis di atas, maka shalat Jumat diwajibkan kepada laki-laki muslim, merdeka, dewasa, sehat dan tidak bepergian atau berada di tempat dan dilaksanakan secara berjamaah.

  1. Waktu pelaksanaan shalat Jumat

Shalat Jumat dilaksanakan pada waktu zhuhur yaitu saat tergelincirnya matahari sampai dengan bayang-bayang sama dengan bendanya pada hari Jumat. Hal ini berdasarkan hadis,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ .

Dari Anas ibn Malik ra. (diriwayatkan) bahwasanya Nabi saw shalat Jumat saat matahari tergelincir [H.R. al-Bukhari no. 904].

Sedangkan tentang harinya telah diterangkan dalam surat al-Jumu‘ah (62) ayat 9, sebagaimana telah disebutkan di atas.

  1. Jumlah jamaah shalat Jumat.

Terkait persoalan jumlah minimal jamaah shalat Jumat, telah dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 2, cetakan ke-7, Suara Muhammadiyah, tahun 2013, halaman 66. Dikatakan bahwa hal tersebut merupakan persoalan khilafiyah di kalangan mazhab, yang dimaksudkan pada syarat sahnya shalat Jumat. Ulama Hanafiyah mensyaratkan sahnya shalat Jumat ialah tiga orang, selain imam. Dengan tiga orang dan satu imam yang berarti empat orang tersebut adalah sahnya shalat Jumat, sekalipun pada saat khutbah yang mendengarkan hanya seorang saja dan setelah melangsungkan shalat, makmum berjumlah tiga orang. Menurut ulama Malikiyah, jamaah Jumat itu paling sedikit dua belas orang kecuali imam dan semua anggota jamaah Jumat harus orang-orang yang memang berkewajiban untuk melakukan shalat Jumat. Oleh karena itu tidak sah kalau Jumat itu sendiri dua belas makmum, tetapi salah satunya wanita atau musafir atau anak kecil. Adapun ulama Syafi‘iyyah dan Hanabilah mensyaratkan shalat Jumat itu harus terdiri dari empat puluh orang, atau sebagian riwayat Hanabilah lima puluh orang.

Jelas bahwa shalat Jumat itu harus dilakukan secara berjamaah dan sedapat mungkin dilakukan dengan jumlah jamaah sebanyak-banyaknya. Mengenai batas minimum tidak disebutkan dalam hadis-hadis sehingga melangsungkan shalat Jumat tidak dibatasi jumlah minimal dan maksimalnya, yang penting berjamaah.

  1. Tempat pelaksanaan shalat Jumat.

Shalat Jumat dilaksanakan di masjid, sedangkan yang dimaksud dengan masjid secara etimologi adalah tempat sujud. Dengan demikian di manapun dapat dilakukan untuk bersujud (shalat) tidak terbatas pada masjid yang berupa bangunan yang khusus untuk shalat.

حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم  … وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا …

Telah menceritakan kepada kami Jabir bin ‘Abdillah dia berkata, Rasulullah saw bersabda: … Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri … [H.R. al-Bukhari no. 335, 438, 3122 dan 122].

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ .

Dari Abi Sa’id al-Khudriy (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Bumi ini semuanya merupakan masjid (tempat sujud untuk shalat) kecuali kuburan dan WC [H.R. al-Hakim no. 922 dan 923]

Dalam buku Perbandingan Mazhab karya H.M. Asywadie Syukur, cetakan ke-2, PT. Bina Ilmu, tahun 1982, halaman 289-291, dikemukakan bahwa para Fuqaha berbeda pendapat mengenai jumlah penyelenggaraan jamaah shalat Jumat di suatu daerah. Pada persoalan ini terdapat dua pendapat;

Pendapat pertama, diperbolehkan apabila memang dipandang perlu atau ada kemaslahatan (hajat) yang menuntutnya, yaitu sulit untuk berkumpul, masjid yang terlalu kecil sehingga tidak memuat banyak jamaah, berjauhan dan ada perselisihan yang sulit disatukan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Maliki, mayoritas mazhab Syafi’i, dan salah satu riwayat dalam mazhab Hanbali -yang diriwayatkan dari Ibnu Suraij, Abu Ishaq al-Maruzi, Muzanni, Muhammad– salah satu murid Abu Hanifah– dan mazhab Zahiri -yang diriwayatkan oleh ‘Atha-. Pendapat ini diperkuat dengan dalil,

  1. Apabila tidak diperbolehkan, tentu akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan, sedang sifat agama Islam selalu menghindarkan dari kesulitan dan kesempitan. Allah swt berfirman dalam surat al-Hajj (22) ayat 78.

… وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ …

… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”

Demikian juga sebaliknya kalau diperbolehkan tanpa ada suatu syarat yang harus dipenuhi, tentunya juga menyalahi apa yang pernah terjadi di masa Rasulullah dan para khalifahnya, yang mana pada masa mereka tidak pernah terjadi beberapa tempat shalat Jumat pada satu daerah atau tempat.

  1. Di kala daerah kekuasaan umat Islam bertambah luas ditambah lagi dengan pertambahan jumlah penduduk, kota-kota dan kampung-kampung sehingga diperlukan adanya beberapa buah tempat untuk melaksanakan shalat Jumat. Sampai saat ini tidak seorang ulama pun yang menolak kenyataan tadi sehingga  hal ini dapat dikatakan sebagai ijmak ulama.

Pendapat kedua, tidak diperbolehkan sama sekali. Pendapat ini dipegang oleh Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi‘i. Pendapat ini diperkuat dengan alasan;

  1. Secara etimologi lafaz Jumah berarti berkumpul. Shalat Jumat dinamai Jumat yang berarti berkumpul, memberi pengertian bahwa shalat Jumat harus dilaksanakan dalam satu tempat, agar makna berkumpul itu benar-benar dapat diwujudkan. Bagaimana bisa mewujudkan makna berkumpul jika shalat Jumat dilaksanakan dalam banyak tempat. Jika tidak ada makna berkumpul maka tidak disebut sebagai shalat Jumat, namun shalat
  2. Pada masa Rasulullah dan para khalifahnya tidak pernah diadakan beberapa tempat shalat Jumat dalam satu kota, kendatipun di kota Madinah saat itu sudah ada beberapa buah masjid.

Kesimpulan kami, berdasarkan Q.S. al-Jumu’ah ayat 9 dan hadits riwayat al-Bukhari serta al-Hakim di atas, menunjukkan bahwa shalat dapat dilakukan di mana saja kecuali pada tempat-tempat yang dilarang untuk melaksanakan shalat. Namun sebagaimana diketahui bahwa tempat pelaksanaan shalat fardlu yang sangat dianjurkan adalah masjid. Hal ini berlaku pula pada shalat Jumat yang memiliki tata cara tersendiri, karena berbilang shalat Jumat (ta’adud Jum’ah) pada dasarnya tidak boleh, tetapi menjadi boleh dengan syarat ada hajat, yakni sulit untuk berkumpul, masjid yang terlalu kecil sehingga tidak memuat banyak jama’ah, berjauhan dan ada perselisihan yang sulit disatukan. Jika hajat tersebut tidak ditemukan, maka penyelenggaraan shalat Jumat sebaiknya dilakukan di masjid dan pelaksaannya dilakukan secara berjama’ah.

  1. Jarak

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  الْجُمُعَةُ عَلَى مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ .

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Shalat Jumat diwajibkan atas orang yang mendengar seruan (adzan) [H.R. Abu Dawud no. 1056 dan ad-Daruquthni no.1590].

Hadis di atas dikategorikan daif, akan tetapi mengamalkan kandungannya cukup masyhur di kalangan mazhab Ahmad bin Hanbal, Maliki dan asy-Syafi‘i.

Kesimpulan kami, jarak yang dimaksudkan adalah jarak antara domisili seseorang dengan tempat shalat terdekat. Melihat realitas kondisi Indonesia saat ini, maka tidak akan sulit untuk menemukan masjid. Namun jika akses menuju masjid dirasa menyulitkan, maka boleh pelaksanaan shalat Jumat dilakukan di mana saja (sebagaimana pengertian masjid di atas) asal dilaksanakan secara berjama’ah, karena Allah menghendaki kemudahan bagi para hamba-Nya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا .

Dari Anas bin Malik dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Mudahkanlah oleh kamu sekalian dan janganlah mempersulit, serta berilah kabar gembira dan janganlah kamu menakuti [H.R. al-Bukhari no. 69 dan 6125]

Sebagaimana pula kaidah fikih berbunyi;

اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Kesulitan mendatangkan kemudahan

Pertanyaan 1 dan 2:

Berdasarkan keterangan di atas, maka penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah/pabrik/kantor/pasar/aula boleh dengan kebolehan berbilang shalat Jumat (ta’adud Jumat). Namun, kebolehan tersebut mengandung syarat yakni adanya kemaslahatan (hajat), yaitu sulit untuk berkumpul, masjid yang terlalu kecil sehingga tidak memuat banyak jama’ah, berjauhan, dan ada perselisihan yang sulit disatukan. Oleh karena itu, jika alasan penyelenggaraan shalat Jumat hanya karena pendidikan bagi para siswa, sedang masjid Muhammadiyah yang dimaksud tersebut masih mampu menampung para jamaah dari warga sekitar, para guru serta siswa SMA Muhammadiyah, maka alasan tersebut kurang dapat dibenarkan, sehingga pelaksanaan shalat Jumat seharusnya dilaksanakan di masjid yang telah ada. Apalagi rata-rata siswa SMA adalah para remaja yang sudah beranjak dewasa (mumayyiz), sehingga sudah termasuk mukallaf (terkena kewajiban hukum agama).

Jika memang alasan pelaksanaan shalat Jumat di sekolah adalah sebagai bentuk pendidikan bagi para siswa seperti latihan khutbah Jumat dan lain-lain, maka pihak sekolah dapat mengadakan pelatihan tersendiri di luar hari Jumat atau mengadakan kerjasama dengan pengurus masjid. 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Exit mobile version