YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Beberapa hari yang lalu, saya berada di antara anak-anak Afghanistan yang merayakan akhir semester. Beberapa anak tampil di panggung menampilkan traian tradisional Afghanistan. Senyuman mengembang di wajah mereka. Gelak tawa memenuhi ruangan saat seorang pemuda tampil stand up comedy membawakan lelucon dalam bahasa Parsi yang saya tak mengerti. Tapi saya bisa merasakan kebahagiaan mereka. Walaupun sebetulnya ada cerita tragis di baliknya.
Ini bukan di Afghanistan, tapi di sebuah Cisarua Bogor. Anak-Anak Ini adalah adalah bagian dari 2000an pengungsi Afghanistan, Irak, Srilangka dan beberapa negara lain yang ditempatkan sementara oleh UNHCR di Indonesia.
Di indonesia Ada sekitar 13 ribu pengungsi Dari total 65 juta orang pengungsi di seluruh dunia. Jumlah Ini lebih banyak dari masa Pasca perang dunia kedua.
Lebih dari setengah abad, Afganistan menjadi area pertarungan kekuatan raksasa Amerika dan Rusia. Tahun 1953 Amerika gagal mencapai kesepakatan jual beli senjata dengan rezim yang berkuasa saat itu di Afghanistan. Tiga tahun kemudian Uni Soviet (sekarang Rusia) berhasil menjual senjata ke Afghanistan senilai 25 juta dolar.
Perang dingin AS-Rusia memuncak saat pecah perang tahun 1979. Invasi soviet ke Afganistan memicu perlawanan para mujahidin Afganistan. Ini adalah medan jihad yang melibatkan mujahidin dari berbagai negara termasuk Indonesia. Tapi bagi Amerika, ini adalah jihad mereka melawan rivalnya.
Dengan memanfaatkan semangat jihad umat Islam, Amerika mengucurkan dana 50 juta dolar saat pemerintahan Carter, dan 250 juta dolar pada masa kepemimpinan Reagen. Tak mau kalah, Uni soviet merogoh koceknya hingga 5 miliar dolar untuk melawan musuhnya. Jadilah Afghanistan pertarungan gajah melawan gajah. Sementara pelanduk mati di tengah-tengah.
Pelanduk itu di antaranya adalah anak-anak yang saya lihat di Bogor kemarin. Mereka terpaksa harus kehilangan keluarga dan harta benda. Menyerahkan uang terakhir kepada para calo penyelundupan manusia. Mendapatkan paspor palsu agar bisa berlayar meninggalkan negerinya menuju mencari tempat aman. Ada yang terdampar di Tailand, Malaysia, Indonesia hingga Australia.
Seorang bapak bernama Danish meninggalkan Afganistan memboyong keluarga ke Pakistan hingga akhirnya ke Indonesia. Saat saya tanya tentang kondisi politik negaranya, dia menggelengkan kepala. Yang dia tahu orang-orang saling berperang. Negara tak bisa melindungi rakyatnya. Ulama-ulama saleh sudah tak didengar. Kelompok-kelompok keras yang mengatasnamakan agama berbuat semaunya, bisa membunuh orang tanpa alasan yang jelas. Banyak pengungsi yang lari karena namnaya ada dalam daftar korban berikutnya. “Mereka mengatasnamakan agama, tapi banyak dari mereka tak bisa menerjemahkan Al-Quran,” kata Danish mengonmentari kelompok tersebut.
Meskipun berstatus pengungsi, Danish kini terlihat bahagia berada di Indonesia yang damai. Dia berpesan agar orang Indonesia menjaga kedamaian ini. Danish tahu persis betapa mahal harga kedamaian.
Pesan Danish selalu terngiang-ngiang. Mampukah Indonesia menjaga kedamaian. Apakah Indonesia tak akan jadi pelanduk mati karena dua gajah besar bertarung di atasnya?
Kini Surah sedang mendapat giliran menjadi pelanduk di antara pertarungan dua gajah. Hawa panasnya telah dihebuskan ke seluruh negeri, termasuk Indonesia baik di dunia maya maupun dunia nyata.
Menurut data SNA (social netwrok analysis) yang dilakukan Ismail Fahmi (ahli SNA), Indonesia dalah salah satu negara pengipor narasi sektarian yang dihembuskan media mainstrem seperti CNN, BBC, dan Independent. Propaanda ini telah berhasil menebar curiga, dan membuat jurang antar warga Indonesia di dunia maya. Perdebatan serta ujaran kebencian mewarnai linimasa.
Bukan hanya hawa panas yang dihembuskan dari Suriah. Kini kelompok itu telah mengirimkan apinya. Dengan istilah amaliah, mereka menggerakkan rangakain aksi terorisme yang muncul di beberapa kota. Kata Ali fauzi, mantan teroris, kini sudah banyak stok “pengantin” yang Siap melakukan aksi bom bunuh diri. Bukan hanya laki-laki dewasa, kini perembuan dan remaja menjadi sasaran rekrutmen mereka. Mungkin apinya sekarang masih kecil. Tapi kebakaran besar biasanya mulai dari api kecil.
Jika api membesar, maka pesta pun dimulai. Nun jauh di sana, Bruce Tanner Executive Vice President Lockheed Martin (perusahaan senjata terbesar di Amerika) mengumumkan peningkatan omset perusahaannya sebagai “indirect benefit” dari perang Suriah (tahun 2015 mereka membukukan revenue senilai 46,13 milyar dolar). Dia akan berbahagia jika ada perang lain yang dapat melipatgandakan profit perusahaanya. Tapi jangan salahkan mereka, mereka hanya menjalankan tugasnya sebagai pedagang. Salahkanlah diri kita, yang mudah tertipu rayuan maut mereka.
Mungkin kita tidak bisa memadamkan api peperangan, tapi kita bisa memadamkan api kebencian di hati kita. Menyalakan lilin akal sehat di kepala kita. Mengajarkan dan mempraktikkan nilai-nilai damai pada generasi penerus kita.
Semoga kedamaian bersama kita
Amiin
Desember 2016
Salam damai
Irfan Amalee
Co-founder
Peace Gen Indonesia