JAKARTA, Suara Muhammadiyah- Sekeretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyatakan bahwa penyebar berita bohong atau hoax sama dengan munafik. Hal ini terkait merebaknya berita bohong atau hoax yang sekarang terjadi dan tak jarang menimbulkan permusuhan. Menurutnya, dalam sudut pandang agama, berbohong dalam semua bentuk adalah dosa. Baik bohong dalam berperilaku ataupun menyebarkan berita bohong.
“Kalau kita lihat secara teologis, bedanya orang beriman dengan orang munafik itu pada tutr katanya. Kalau munafik, kalau bicara dia berdusta. Nah, kaitannya dalam menyebarkan berita-berita hoax seperti itu,” terangnya, jumat (30/12).
Penyebaran berita bohong, kata Abdul, bukan hanya persoalan agama saja. Tetapi juga budaya dan peradaban bangsa. Berita-berita hoax cenderung dianggap hal yang biasa. “Ini merupakan suatu simbol keadaban bangsa. Bangsa ini mudah terombang ambing dnegan informasi. Ada pihak tertentu yang menyebarkan kebohongan. Kemasan ilmiah dan religius untuk adu domba, untuk tebarkan kebencian kelompok tertentu,” tambahnya.
Senada dengan hal tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, sebelumnya juga mengatakan bahwa menyebar berita bohong adalah dosa. “Nabi pernah mengatakan kita ini bisa tergolong orang yang berbohong, orang yang berdosa, ketika kita menyampaikan apa saja yang kita tidak yakin benar. Itu riwayat Muslim. Semua yang kita dengar lalu kita ceritakan, itu artinya kita bisa termasuk golongan orang-orang yang berbohong dan berbuat dosa,” tuturnya.
Mu’ti menengarai bahwa berita-berita hoax akan semakin merajalela menjelang tahun 2019. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut akan digelar Pemilu dan Pemilihan Presiden. Tak jarang informasi lama didaur ulang untuk dikait-kaitkan dengan peristiwa yang terjadi saat ini. Menurutnya, hal ini akibat dari kesulitan menyebarkan berita bohong di ruang publik, sehingga diekspresikan lewat teknologi dengan asumsi tak akan ketahuan.
“Kalau dulu orang dari mulut ke mulut sifatnya lokal, atau media massa, televisi atau koran. Sekarang ini kan mereka tak lagi gunakan jalur ‘tradisional’, tapi menggunakan media sosial, cepat dan masif dan tak ada kontrol. Masyarakat kita senang saja mem-posting sesuatu yang belum tentu tahu sumbernya. Asal posting, ini yang memang menjadi problem,” tandasnya (bag/Yusri).