Haji Abdul Mu’thi lahir pada tahun 1889 di Jombang, Jawa Timur. Mendapat pendidikan di sekolah menengah Belanda, lalu memperdalam ilmu agama di beberapa pesantren di Jawa Timur. Tahun 1914, dia belajar ke Mesir, bertepatan dengan Perang Dunia I.
Abdul Mu’thi seorang muballigh yang menjadi ketua Muhammadiyah cabang Kudus pada tahun 1923. Kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah di Madiun pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim (1923-1932). Dia tinggal di Kudus.
Pidato-pidato dan ceramah-ceramah keagamaan Abdul Mu’thi dikenal keras menentang kebijakan kolonial Belanda. Sering mendapat teguran dari kepolisian kolonial karena pidato-pidatonya. Selain menggunakan pengajian, Abdul Mu’thi mengedarkan surat selebaran kepada umat Islam di Madiun. Karena kasus ini, Abdul Mu’thi ditangkap dengan tuduhan menghina pemerintah kolonial dan mengganggu ketentraman.
Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah Yogyakarta mengutus Haji Fachrodin untuk menyelesaikan kasus Abdul Mu’thi ini. Fachrodin berhasil menyelesaikan kasus ini dengan catatan bahwa pemerintah kolonial menghendaki Abdul Mu’thi keluar dari daerah Kudus. Dengan keluarnya Abdul Mu’thi dari Kudus, HB Muhammadiyah Yogyakarta kemudian mengambil alih kepengurusan cabang Muhammadiyah Kudus.
Atas usul Fachrodin, Abdul Mu’thi diminta menetap di Yogyakarta. Tetapi sebagian pengurus HB Muhammadiyah keberatan menerima kedatangannya. Fachrodin berhasil meyakinkan jajaran HB Muhammadiyah Yogyakarta agar muballigh yang telah berjuang ini diterima dengan baik.
Pada zaman pendudukan Jepang, Abdul Mu’thi menjabat sebagai ketua Masyumi di Jakarta (belum menjadi partai). Menjelang kemerdekaan, dia turut aktif menggerakkan kaum muda untuk merebut kemerdekaan.
Memasuki zaman kemerdekaan, pada masa Orde Lama, Haji Abdul Mu’thi mendapat tugas dari wakil presiden, Mohammad Hatta, agar mendapatkan obligasi nasional untuk dana pemerintah dan perjuangan. Abdul Mu’thi juga pernah masuk dinas militer dan menjadi tentara dengan pangkat Mayor Jenderal. Dia mendapat jabatan sebagai Kepala Kantor Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) di MBAD Yogyakarta.
Pada masa Orde Lama, Haji Abdul Mu’thi pernah dipenjara karena diduga terlibat dalam kasus PRRI bersama M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, dan lain-lain.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang terpilih empat tokoh yang duduk dalam penasehat struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah: A.R. Sutan Mansur, RH Hadjid, Abdul Mu’thi, dan Prof Dr Hamka.
Haji Abdul Mu’thi meninggal dunia pada hari Senin tanggal 20 September 1976 di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta. Beliau meninggal dalam usia 78 tahun karena sakit (Mu’arif).