YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif mengaku resah dengan beredarnya spanduk yang berisi ancaman tidak menyalatkan jenazah yang semasa hidupnya memilih calon gubernur penista agama.
Menurutnya, ajakan untuk tidak menyalatkan jenazah pendukung penista agama adalah ajaran masa lalu yang bersifat primitif dan berbahaya jika dipelihara. “Itu cara primitif, orang yang tidak percaya diri. Menurut saya ini pandangan sempit dan sangat berbahaya,” katanya, dalam program acara salah satu TV Swasta, Minggu 13 Maret 2017.
Buya Syafii menceritakan bahwa ajakan untuk tidak menyalatkan jenazah pernah terjadi pada abad ke-7 masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketika itu kelompok Khawarij yang keluar dari Ali bin Abi Thalib merumuskan teologi kebenaran tunggal dan mencetuskan bahwa penganut di luar mereka adalah salah.
Jika kemudian ajaran itu hari ini muncul kembali, kata Buya, hal tersebut merupakan cara tak beradab dan merusak citra agama sebagai agama yang menebar kebaikan untuk semua. “Cara-cara seperti itu biadab, tidak benar,” katanya.
Ajakan untuk tidak menyalatkan jenazah pendukung penista agama berakibat pengkhianatan dan tidak lagi memandang agama sebagai rahmat untuk semesta alam hanya karena perbedaan pilihan politik. “Rahmatan lil ‘alamin tidak akan tercapai, apalagi menjadikan agama sebagai kendaraan politik sangat berbahaya walaupun sering terjadi. Ini harus dihentikan,” katanya.
Bagi Buya, ranah agama yang dibawa ke ranah politik sangat berbahaya. Apalagi ketika banyak partai politik yang ikut melakukan ini untuk kepentingan tertentu. “Agama menjunjung tinggi perbedaan pemahaman. Bangsa ini karya semua kelompok pengikut agama, kita jaga. Jangan memaksakan kehendak, merusak demokrasi dan citra agama,” jelasnya.
Buya Syafii juga menyerukan kepada pemerintah terkait untuk bertindak tegas dalam kasus ini. “Pemerintah jangan terlalu bertenggang rasa. Pemerintah itu bekerja memerintah bukan membujuk, keluarkan perintah tapi dengan alasan yang kuat,” katanya. “Kalau cara yang persuasif, tidak ada gunanya dalam situasi sekarang ini. Aparat harus tegas untuk segera menurunkan spanduk tersebut,” tegas Buya.
Beberapa waktu yang lalu, ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2015 Din Syamsuddin telah menyatakan bahwa menyalatkan jenazah muslim merupakan keharusan. “Menyalatkan jenazah sesama muslim adalah fardhu kifayah. Seyogyanya tidak ada larangan shalat atas jenazah seseorang yang tetap bersyahadatain,” tulis Buya Syafii melalui akun media sosialnya.
Hal yang sama dikatakan sekretaris umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Menurutnya, sebaiknya umat Islam tetap menyalatkan jenazah muslim, meskipun yang bersangkutan dituduh sebagai munafik atau pendukung penista agama. Hal itu termasuk hak atas sesama muslim yang harus dipenuhi. “Ada enam hak Muslim terhadap Muslim lainnya, salah satunya diurus jenazahnya,” kata Mu’ti di Jakarta, Selasa (28/2).
Sebelumnya, pada Selasa 7 Maret 2017, terjadi penolakan untuk menyalatkan jenazah bernama Hindun binti Raisan, (77 tahun), di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan dan Rabu 8 Maret pada warga Pondok Pinang, Jakarta Selatan bernama Siti Rohbaniah, 80, yang wafat pada Rabu 8 Maret. Jenazah Hindun akhirnya dishalatkan di rumah, sedangkan jenazah Siti Rohbaniah dishalati setelah keluarga menandatangani surat pernyataan mendukung salah satu calon gubernur yang disodorkan ketua RT. (Ribas)